Yakinlah, masih lebih baik USAHA LEBIH untuk mempertahankan apa yang sudah didapat, memperbaiki apa yang ada. Daripada harus LEBIH USAHA untuk mendapat apa yang hilang, apa yang belum didapat.
@azurazie_
Semua mimpi tertuang dalam pikiran, seluas dunia Lakaran Minda, di ruang yang lebih nyata.
Yakinlah, masih lebih baik USAHA LEBIH untuk mempertahankan apa yang sudah didapat, memperbaiki apa yang ada. Daripada harus LEBIH USAHA untuk mendapat apa yang hilang, apa yang belum didapat.
@azurazie_
Tidak selalu yang dipukul rata itu adil. Tetapi, yang dipikul bersama, rasanya itu lebih benar.
@azurazie_
Terkadang setelah bekerja keras mengupayakan sesuatu, mengejar target, menyelesaikan ini & itu. Yang ditunggu bukan lagi soal hasilnya, bukan lagi soal seberapa banyak akan dapatnya, bukan lagi soal apresiasi apa setelahnya. Yang lebih ditunggu adalah kapan ada waktu untuk istirahat, walaupun itu hanya untuk sejenak.
@azurazie_
Ketika apa yang tengah kamu upayakan, telah kamu perbuat tidak juga dihargai akan prosesnya, akan hasilnya, akan dampak setelahnya. Tak perlu berkecil hati, karena tugasmu sudah selesai dengan sebaik-baiknya berperan. Sedangkan justru mereka yang tidak seberuntung itu, lebih memilih baperan. Padahal boleh jadi mereka justru yang lebih sedikit, tentang apa yang telah mereka lakukan.
@azurazie_
Jika hidup sedang tidak sejalan dengan apa yang kamu mau, boleh jadi Allah sedang mengarahkan dengan apa yang kamu mampu. Maka, seharusnya itu jadi yang lebih baik.
@azurazie_
Teruntuk yang sedang berjuang di luar, bersemangatlah karena selalu ada yang menunggumu pulang, maka dirimu tenang.
Yang sedang menunggu di rumah bergembiralah, karena ada yang merindukanmu paling, maka kamu menang.
Tenang dengan doa-doanya, menang dalam hatinya.
@azurazie_
Ya Rabb, sebagaimana Engkau undang dan izinkan sebegitu banyak Hamba-Mu untuk menuju padang Arafah kota Mekkah Al-Mukarramah. Untuk berwukuf dengan penghambaan dan keimanannya. Dalam sukacita dan sepenuh cinta untuk mengharapkan berkahnya dalam manisnya puncak ibadah.
Semoga begitu pula Engkau undang dan izinkan Hamba-Mu yang lain, untuk berduyun-duyun mengunjungi Rafah di Palestina. Cukup dengan rasa aman karena pembebasannya. Dalam sukacita dan sepenuh haru akan kembalinya merdeka tempat kiblat pertama yang mulia.
Aamiin ya Rabb, itulah pengharapan dari sudut hati kami yang masih memiliki selemah-lemahnya iman dalam berupaya mengubah kedzaliman.
@azurazie_
Saat kulangkahkan kakiku dipagi hari untuk memulai beraktifitas, kuucapkan Bismillah... Biiznillah... Dan mulai berprasangka baik, bahwa apa-apa yang akan aku dapatkan hari ini, apa yang akan menjadi milikku hari ini, apa yang akan menjadi ketetapan-Mu untukku hari ini, apa yang akan menjadi bagian rezekiku hari ini, semua itu tidak akan pernah tertukar. Maka, aku tenang.
Dan ketika aku merenungi apa yang sudah terjadi kemarin, apa yang sudah kudapati kemarin, yang sudah menjadi rezekiku kemarin, sudah menjadi ketetapan-Mu untukku kemarin. Yang menjadi kabar baikknya kemarin. Aku berucap Hadza Min Fadli Rabbi. Maka aku bersyukur, terus menerus bersyukur hingga tak terukur. Dan yang menjadi kabar tidak terlalu baik, maka aku bersabar hingga kesabaran itu pun terbayar.
Dan ketika aku berhasil melakukan itu semua, maka aku menang.
@azurazie_
Ya Rabb, apabila kadar syukurku hari ini tidak lebih banyak dari hari kemarin. Maka, mohon tambahkan kebaikan-Mu untuk esok hari, agar kadar syukur itu semakin bertambah dan terus bertambah.
Apabila kadar sabarku hari ini tidak lebih baik dari hari kemarin. Maka, berikanlah kabar gembira di esok hari, agar sabar itu menjadi lebih bermakna. Sabar itu lebih bertenaga.
Sebab, sungguh ya Rabb.
Hanya kepada-Mu lah aku patut bersyukur. Hanya kepada-Mu lah aku patuh bersandar dalam sabar.
@azurazie_
Pintaku sederhana, bila hari ini belum bisa memiliki apa yang aku mau. Maka, mampukan aku untuk menjaga apa yang sudah ada. Dengan begitu semoga aku ada dalam golongan orang-orang yang amanah dan berharap apa yang ada selalu dalam berkah.
@azurazie_
Mungkin ada upayamu yang tidak bisa mengubah apa yang sudah menjadi ketetapan untukmu. Apa yang memang sudah diperuntukkan untukmu, yang menjadi milikmu. Pun, apa yang sudah menjadi jalan takdir untukmu. Sekeras apapun itu.
Akan tetapi, kesabaranmu bisa menjadikannya lebih baik. Kesabaranmu bisa membuat sudut pandang lain, bisa terlihat lebih jelas. Bukan dari sudut pandang yang mengeluh. Tapi dari sisi lain yang dinamakan bersyukur. Kesabaran itu bisa membuat segala upayamu menjadi lebih bermakna dalam tiap-tiap prosesnya.
Dan doamupun bisa mengubah situasi itu menjadi terasa lebih baik. Hatimu menjadi lebih lapang dalam penerimaan. Langkahmu bisa menjadi lebih ringan, karena menyadari tiap-tiap apa yang sedang kamu upayakan, allah bersamamu. Allah ada dalam untaian doa-doamu itu.
@azurazie_
Setidaknya ada 3 jenis panggilan yang menyapa dalam hidup kita.
*Pertama*, panggilan yang telah ditentukan waktu-waktunya. Sifatnya *WAJIB*. Mengikat kepada tiap-tiap muslim yang tunduk pada aturannya. Sudah kodrat sebagai seorang hamba. Untuk panggilan ini, seharusnya kita selalu *SIAP*, karena tidak ada alasan untuk meninggalkannya. Di manapun dan dalam keadaan apapun. Selagi masih diberi kesempatan untuk hidup. Akan tetapi terkadang justru kitanya yang tidak selalu *SIGAP* untuk memenuhi panggilan itu. Panggilan pertama adalah panggilan adzan untuk menunaikan shalat yang 5 waktu. Saking wajibnya tidak boleh ditinggal, apabila tidak mampu berdiri, maka lakukan dengan duduk, tidak mampu duduk, maka lakukan dengan berbaring, tidak mampu dengan berbaring, maka lakukan dengan isyarat mata, tidak mampu dengan yang terakhir itu, maka tinggal di shalatkan.
*Kedua*, panggilan yang sama sekali kita tidak mengetahui akan ketepatan waktunya. Rahasia. *WAJIB* juga sifatnya, karena tidak ada satupun makhluk yang bernyawa yang tidak luput dari panggilan itu. Semua ada jatahnya masing-masing. Ironisnya untuk panggilan yang ini, sepertinya kita tidak akan selalu *SIAP*. Dan untuk menyambutnya pun *SIKAP* kita lebih banyak *KHILAF*. Panggilan kedua adalah panggilan azal yang bisa datang sewaktu-waktu. Tidak melulu ketika sakit, boleh jadi ketika sedang sehat-sehatnya. Tidak melulu ketika sempit, boleh jadi saat sedang lapang-lapangnya.
*Ketiga*, panggilan yang prioritasnya ada pada hak Allah, sebagai penentu waktu terbaiknya. Sifatnya juga *WAJIB* karena termasuk dalam rukun yang lima. Dengan syarat khusus : *Jika Mampu*. Akan tetapi mampu di sini perlu *_digaris bawahi_* Mampu bukan dalam ukuran atau hitungan matematika manusia. Karena prioritas panggilan itu, tidak selalu didasari dari kacamata *MAMPU* dalam pandangan manusia. Akan tetapi sering terjadi didasari dengan sejauh mana ia *MAU* pada pandangan Allah. Panggilan ketiga itu adalah ke Baitullah. Berapa banyak yang menurut pandangan manusia sudah *MAMPU* dalam segi materi, segi kesehatan dan lain-lain akan tetapi kesempatan itu belum juga datang. Panggilan itu belum juga ada. Sedangkan yang sekadar bermodalkan *KEMAUAN* mau dalam kerinduannya, mau dalam keinginannya untuk menyempurnakan rukun dalam ibadahnya. Justru menjadi prioritas panggilan Allah. Allah *MAMPUKAN* dengan kehendak-Nya.
Maka, kira-kira mana dari ketiga panggilan itu yang kedepannya menjadi prioritas diri kita masing-masing.
Mari berharap, panggilan pertama akan selalu mampu kita tunaikan dengan *SESIGAP* mungkin. Panggilan kedua kita nanti sedang *SESIAP-SIAPNYA*. Setelah tuntas atau sedang memenuhi panggilan yang ketiga. Aamiin ya Rabb.
@azurazie_
Di iringi dengan sahut-sahutan takbir yang menggema, aku merenung. Sebenarnya yang sedang kita rayakan itu apa? Menyambut lebaran atau merayakan kepergian Ramadhan?
Rasanya untuk merayakan menyambut lebaran itu akan lebih bermakna, akan lebih mengena, atau lebih diperuntukkan bagi mereka yang sejak hari pertama hingga akhir Ramadhan konsisten bersungguh-sungguh dalam mengisinya, sepanjang siang dan malam. Mengisi dengan amalan-amalan terbaik. Dalam bilangan-bilangan yang terbanyak. Dengan tingkat kekhusuan yang teruji. Sungguh-sungguh menjalaninya. Sungguh-sungguh dalam mengupayakan keberkahannya. Mengejar keutamaan-keutamaan yang ada pada Ramadhannya.
Maka, akan pas sekali apabila mereka menyambut merayakan lebaran dengan suka cita. Setelah bersusah payah dalam ketaatan, untuk meraih gelar ketakwaan.
Sedangkan kita? Apa yang sejauh ini sudah kita kerjakan? Yang sejauh ini sudah kita upayakan? Yang bisa kita banggakan oleh diri kita sendiri?
Sebenarnya yang sedang kita rayakan itu apa? Menyambut lebaran atau merayakan kepergian Ramadhan?
Jangan-jangan kita cenderung sedang merayakan kepergian Ramadhan. Yang selama satu bulan penuh, merasa dipaksa untuk bangun malam, karena diharuskan sahur. Merasa dipaksa untuk menahan lapar dan dahaga, karena diharuskan berpuasa. Merasa dipaksa untuk membuka mushaf Al-Qur'an, karena ada target harian. Dan amalan-amalan ibadah lain yang sifatnya masih harus dipaksa, agar kita lebih rutin untuk mengerjakannya.
Tentang shalat wajib yang masih harus dipaksa untuk berjamaah. Tentang menambah shalat-shalat sunnah yang masih harus dipaksa untuk mengerjakannya. Dan tentang rutinitas ibadah lain selama bulan Ramadhan yang kita kerjakan bukan sekadar memang didasari oleh kebutuhan, tetapi masih sekadar untuk menggugurkan kewajiban.
Maka, rasa-rasanya yang sedang kita rayakan adalah tentang kepergian Ramadhan. Dari tahun ke tahun tidak ada perubahan. Merayakan dengan suka cita karena esok hari sudah kembali bebas melakukan ini itu. Tidak lagi harus berpuasa, tidak lagi harus bangun malam, tidak lagi harus membuka mushaf secara rutin. Naudzubillah..
Atau kita sudah mulai merenungi banyak hal, ternyata tanpa Ramadhan, kualitas ibadah kita bukanlah apa-apa. Kuantitas ibadah kita tidaklah seberapa. Dan mulailah kita merasa berduka, takut setelah kepergiannya tidak adalagi kendali atas perbuatan-perbuatan kita yang suka melampaui batas. Yang banyak lalainya. Yang banyak ditunda-tundanya. Ya, Rabb betapa nestapa rasanya.
Dan mulailah kita berdoa secara sungguh-sungguh, berharap dalam-dalam, semoga masih diberi kesempatan di tahun depan untuk berjumpa kembali dengan Ramadhan. Dengan kesiapan diri yang lebih baik dari tahun ini. Dengan kesehatan yang paripurna, kesempatan yang lebih leluasa. Umur yang barokah dan keluarga besar kita yang masih utuh. Aamiin ya Rabbal'alamin.
@azurazie_
Pintaku sederhana, bila apa yang aku mau sedang tidak sejalan dengan apa yang aku mampu. Maka, mampukan aku untuk selalu menerima apa yang Engkau mau, ya Rabb. Dengan begitu semoga aku selalu ada dalam golongan orang-orang yang bersabar dan bersyukur.
@azurazie_
Nak, kelahiranmu bukan sekadar menjadi qurrota 'ayun untuk kedua orangtuamu. Akan tetapi secara bersamaan, mulai menambah peran keduanya untuk menjadi orangtua yang utuh. Menjadi ayah yang berkewajiban membimbing, menasehati, menerapkan sifat haya-rasa malu sebagai perempuan untuk terjaganya marwah kehormatan. Dan puncak peran seorang ayah untuk keluarganya yang termaktub dalam firman-Nya adalah menjauhkanmu dari api neraka.
Pun demikian, berperan sebagai seorang ibu untuk menjadi madrasah terbaik sepanjang usiamu, tempat terbaik untukmu dalam mencicipi remah-remah bijak kehidupan. Yang sudah dimulai dari masa kandungan, dalam buaian, hingga dirimu pun kelak memenuhi takdir yang sama dengannya (menjadi seorang ibu).
Maka, bertumbuhlah dengan baik, dengan sebaik-baiknya pertumbuhan. Barakallah.
@azurazie_
*Tips Ramadhan malam ke-19*
Biasanya menjelang akhir Ramadhan, sudah mulai pada sibuk mencari pakaian baru untuk dipakai saat lebaran. Bahkan ada yang bela-belain puasanya sampai bolong cuma untuk menemukan pakaian sepotong, atau tarawihnya malah ditinggal karena mengejar diskon yang tinggal enggal.
Padahal lebaran itu seharusnya bukan hanya tentang siapa yang paling baru pakaiannya. Akan tetapi tentang siapa yang akhirnya menyadari isi lemarinya sendiri. Seberapa banyak baju yang tidak pernah dipakai lagi. Mubadzir loh!
Seharusnya lebaran itu bukan lagi tentang kuantitas pakaian baru yang dipunya. Akan tetapi tentang seberapa % bertambah baik kualitas pakaian yang ada untuk menutupi setiap lekuk titik auratnya.
@azurazie_
*Kisah Ramadhan malam ke-18*
Minggu ini bisa dibilang yang paling sering menerima pertanyaan yang sama, dari orang-orang yang berbeda. Tentang keberadaan bapak yang memang 'dayanya' sedang turun sehingga tidak memungkinkan untuk berjamaah 5 waktu seperti biasanya.
"Pak Haji ke mana?"
"Pak Haji ga ke masjid?"
"Pak Haji ga kelihatan, biasanya udah ada."
Bahkan ada yang tiba-tiba menghampiri sembari membawa sepiring berisi empat buras, kemudian bertanya. "Pak Haji ga ke masjid lagi? Padahal udah disiapin buat bukaannya."
Masya Allah, terharu rasanya. Karena apa? Benar adanya, sejarah itu berulang. Keteladanan itu dekat di depan mata. Tetiba teringat kisah sahabat-sahabat Nabi yang soleh, yang saling menanyakan ke mana si fulan, ke mana si fulan. Perhatian kepada saudara seimannya. Ketika tidak didapati berada dalam barisan shalat berjamaah di Masjid bersama Rasulullah.
Indah rasanya apabila keberadaan kita dirindukan karena kebiasaan baiknya. Di tempat dan keadaan yang memang baik dipandangan Allah maupun dipandangan sesama manusia.
Maka, bagi kita semua yang memiliki cita-cita ingin sekali dirindukan oleh syurga, setidaknya saat masih berada di dunia, saat masih hidup, minimal menjadi orang yang dirindukan oleh (jamaah) masjid. Oleh saudara-saudara seimannya. Dengan rajin shalat berjamaah di kala sedang gagah-gagahnya, pun di kala sedang payahnya.
@azurazie_
Doa malam Nuzulul Qur'an
Bismillah, ya Rabb dengan kemulian malam ini, pada bulan Ramadhan tahun ini. Semoga Engkau berkenan menghimpun setiap kebaikan-kebaikan dari huruf-huruf hijaiah yang sudah kami eja, sejak usia dini ketika belajar mengeja alif-ba-ta hingga ya. Hingga malam ini dan sampai akhir hayat, pada Al-Qur'an yang akan kami baca. Hendaknya Engkau berkenan menghimpun kebaikan itu, menjadi mahkota kemuliaan yang ingin kami anugerahkan kepada orangtua kami, kepada guru-guru kami, yang telah berjasa mengajarkan cara mengeja kalam-Mu dengan benar, membaca Firman-Mu dengan tartil. Dengan kebarokahan ilmunya. Kami berharap semoga mahkota kemuliaan itu, menjadi keberkahaan dari-Mu yang tidak akan terputus, pada masa hidup mereka di dunia sampai pada masa hidup di akhiratnya. Aamiin. Alfaatihah.
Dalam hal keberuntungan, tolak ukur kita melihatnya selalu yang berada di paling atas. Maka jadilah rumput tetangga selalu nampak lebih hijau dibanding rumput sendiri. Padahal kita tidak tahu seberapa besar perjuangan dan pengorbanan mereka hingga mampu berada di titik itu. Yang seandainya kita tahu, belum tentu juga kita mampu melakukan hal yang sama. Maka yang lebih tumbuh subur sifat iri. Dibanding qonaah.
Sedangkan dalam hal ketidakberuntungan, kita sendiri yang menempatkan di titik paling bawah. Seolah-seolah jadi manusia yang sedang paling nelangsa saat itu. Paling terpuruk keadaannya. Padahal lagi-lagi kita tidak tahu, yang kita anggap ketidakberuntungan itu. Bagi orang lain hanyalah kerikil di kaki mereka. Sebab sudah pernah melalui yang lebih dari itu. Sedangkan bagi kita kerikil itu saja sudah menghambat langkah untuk maju. Sudah terasa berat untuk dijalani. Menjadi beban yang berlebihan. Seolah tertumpuk di pundak.
Maka yang ada kita selalu mengeluh. Bukan bersabar.
Egois ya? Itulah kebanyakan dari kita.
@azurazie_
Sungguh mudah bagi Allah untuk membolak balikkan hati manusia. Maka, bersyukurlah ketika masih dibalikkan kepada yang hak, yang baik, yang benar dalam hidayah-Nya. Sekalipun mungkin karenanya itu, kita berada di antara golongan orang yang segelintir. Yang sedikit.
Tak apa jikalau harus kalah dalam perhitungan yang dibuat oleh sistem manusia. Tapi yakinlah kita sudah menang dalam keberpihakan yang lebih baik di hadapan Allah ta'ala.
Karena pejuang yang berpegang teguh bahwa : ketika menang berarti Allah izinkan, jika pun kalah itu artinya Allah selamatkan. Sejatinya kedua ketetapan itu apapun yang pada akhirnya ditakdirkan adalah sebenar-benarnya kemenangan yang nyata.
@azurazie_
Tentang kebaikan yang datang dan kemudahan-kemudahan dalam tiap-tiap urusanmu, maka itulah kasih sayang yang Allah berikan kepadamu.
Boleh jadi atas sebab terkabulnya doa tulus kedua orang tuamu dari sejak dalam kandungan sampai saat ini.
Boleh jadi atas sebab kebaikan-kebaikan yang lebih dulu kau lakukan kemarin-kemarin.
Boleh jadi atas sebab nilai sedekah yang telah kau keluarkan.
Boleh jadi atas sebab Shalawat-Shalawat atas nabimu yang setiap hari kau lantunkan dengan sepenuh cinta dan kerinduan.
Boleh jadi atas sebab amalan-amalan rahasia yang sengaja kau rutinkan.
Boleh jadi atas sebab doa-doa yang orang lain khususkan untukmu secara diam-diam.
Maka, bersyukurlah atas kebaikan-kebaikan dan kemudahan-kemudahan itu yang datang dari banyak pintu-pintu. Maka, jagalah pintu-pintu itu agar satupun tidak tertutup.
Dan tentang kemalangan yang datang padamu, sudah tentu itu akan selalu cenderung atas sebab dosamu sendiri yang kau telah lakukan. Pintu kemalangan itu justru seringnya dibuka atas sebab perilakumu sendiri. Yang karenanya bisa membuat pintu-pintu kebaikan itu menjadi tertutup satu persatu.
@azurazie_