Yang rumit itu, ketika orang lain terlanjur berpikir atau bahkan menuntut kita untuk SEGALA TAHU dalam banyak hal. Padahal dengan keterbatasan yang kita miliki, sejatinya kita tidak selalu TAHU SEGALANYA. @azurazie_
Semua mimpi tertuang dalam pikiran, seluas dunia Lakaran Minda, di ruang yang lebih nyata.
Oktober 18, 2020
Oktober 17, 2020
TANPA SYARAT
Barangkali di antara teman-teman
kita, satu atau dua orang ada yang memiliki sifat selalu ingin mengomentari
apa-apa yang ia lihat, apa-apa yang ia dengar. Sedikit-sedikit, ada saja komentarnya. Baik memang
itu penting atau lebih seringnya tidak membawa manfaat apa-apa.
Dan
pernah tidak di waktu-waktu tertentu, justru kamu bersyukur, karena komentarnya
itu tiba-tiba saja membuka pemahaman baru. Sudut pandang yang lebih baik.
Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehmu.
Jum'at
ke jum'at pesan taqwa itu tersampaikan kepada laki-laki soleh yang lebih
memilih menjaga imannya untuk mendengarkan dua khutbah, melaksanakan shalat
jum'at. Dibanding masih berkutat dengan kesibukan dunia, seolah-olah akan rugi
banyak, bila menunda pekerjaannya itu. Padahal tidak lebih dari 1 jam lamanya
untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Memperbaharui taqwa,
kemudian setelah itu bebas kembali bertebaran di muka bumi ini.
Di antara laki-laki soleh
itu, ada dua pemuda yang masih duduk santai di teras masjid. Kalau hari
jum’at memang jam istirahatnya lebih panjang dari hari-hari yang lain.
"Kenapa, Sob? Kok
sepertinya ruwet sekali pikiranmu?" Tanya Jim kepada Tahsin yang sejak tadi terlihat gelisah
memikirkan sesuatu.
"Ooh, bukan apa-apa,
Bro. Lagi nggak habis pikir
saja dengan manajemen masjid ini." Jawab Tahsin dengan sedikit helaan napas.
"Maksudmu? Memang apa yang aneh?" Jim
mengerutkan dahinya, sedikit penasaran. Ia paham benar dengan tabiat temannya
itu, kalau ada sesuatu yang dirasa kurang pas dengan pemikirannya, sesuatu itu
bisa jadi ‘ganjalan’ yang cukup berat untuk hatinya. Seperti ada yang harus
segera diluruskan. Meski seringnya itu hanya kerumitan pikirannya sendiri.
"Itu loh, kamu
dengar kan tadi ya, kalau saldo kas masjid
ini ada puluhan juta. Tapi, kok kemakmuran masjidnya nggak terawat begini. Misal,
kran-kran di tempat wudhunya saja pada rusak. Aku lihat ada lebih dari tiga
kran yang nggak berfungsi sama sekali. Padahal, berapa sih harga kran?"
Tahsin mengeluarkan unek-uneknya.
"Oooh,
maksudmu kenapa saldo kas banyak, tapi nggak dipakai untuk mengganti yang
anggarannya nggak butuh banyak keluar uang gitu, ya?"
"Betul,
Sob." Tahsin menyungging senyum karena temannya mengerti dengan apa yang
ia maksudkan.
"Oalaaah...
pantas tadi aku perhatikan kamu ragu-ragu waktu mau masukin uang ke
keropak." Kotak amal itu sempat lama terhenti di depan Tahsin, tapi tidak
ada selembar uang pun yang masuk ke dalamnya.
"Ya,
aku pikir lebih baik infak ke tempat lain daripada di sini yang ujungnya hanya
jadi saldo. Nggak dimanfaatkan dengan baik. Benar toh? Seharusnya kan bukan
jadi tabungan kas."
"Sebelum
aku menanggapi komentarmu itu, boleh aku tanya dulu. Kamu niat infak berapa
memang tadi?" Jim
menyeringai.
"Umm..." Tahsin
ragu-ragu.
"Hehe... becanda, Sob. Nggak perlu
dijawab.” Jim membenarkan posisi duduknya karena mulai kesemutan. “Aku mau cerita
nih, semoga ceritaku ini bisa
meringankan unek-unekmu itu.”
Tahsin
juga membenarkan posisi duduknya, terlihat antusias.
“Begini,
dulu ketika masjid ini sempat di renovasi. Kebetulan aku ini ikut bantu-bantu.
Waktu kami pada sibuk mengecor, mengaduk semen dan sebagainya, tiba-tiba ada
Pak Tua yang menghampiri DKM masjid ini. Mereka mengobrol lama dan terlihat
cukup serius. Pak Tua itu bertanya kepada DKM apa yang sekiranya ia bisa bantu
untuk pembangunan masjid ini. Membantu tenaga Pak Tua merasa nggak akan mampu,
membeli semen dan benda material lain pun rasanya berat untuk ukuran
pendapatannya sehari-hari. Tapi, Pak Tua itu ingin sekali punya andil dalam
pembangunan masjid ini. Ia juga ingin punya rumah di surga nanti meskipun
sederhana.”
“DKM
masjid ini pun sempat bingung menjawab pertanyaan si Pak Tua. Di sisi lain DKM
nggak tega menolak keinginan tulus itu. Singkat cerita akhirnya DKM masjid ini
mengusulkan agar Pak Tua membantu menyediakan kran masjid ini saja, kebetulan
saat itu memang sudah ada yang pedalnya patah.”
“Mbah
keberatan nggak kalau membantu membelikan kran satu atau dua buah? Nggak perlu
yang harganya mahal, yang biasa saja. Insya Allah, kran itu akan
berfungsi dengan baik dan membantu orang-orang yang akan bersuci sebelum
menunaikan shalat.” Begitu kata DKM masjid ini.
“Boleh,
Ustadz. Mbah, bersedia.” Cukup lama Pak Tua itu menimbang-nimbang keputusannya.
“Kalau sudah ada nanti krannya mbah bawa ke sini. Terima kasih, Ustadz.”
Tahsin
menghela napas, masih mendengarkan dengan baik cerita Jim.
“Sejak
itulah, masjid ini seperti punya ‘donatur’ tetap untuk penggantian kran-krannya
kalau rusak. Makanya, kalau diperhatikan kran-kran di tempat wudhu nggak
seragam warnanya, alias warna-warni. Nah, hari ini kamu masih melihat ada kran
yang belum diganti, mungkin karena tabungan si Pak Tua itu belum cukup.”
Tahsin
mengangguk mulai mengerti ceritanya.
“Kau
tahu nggak, siapa Pak Tua yang aku maksud di cerita ini, Sob?”
“Iya,
siapa, Bro? Sejujurnya sejak tadi aku sudah penasaran ingin menanyakan hal
itu.”
“Kau
tahu kan, Pak Tua yang berjualan tissue di pintu masuk stasiun Bojong
Gede?”
“Oh
iya, Pak Tua yang itu. Aku pernah membeli tissue-nya beberapa kali.”
Tahsin ingat betul dengan Pak Tua yang dimaksud. Karena hampir setiap hari ia
melihatnya.
“Nah,
Pak Tua itu yang aku maksud. Ia setiap hari berjualan tissue seharga dua
ribu perak. Sebagian keuntungannya ia tabung untuk membeli kran untuk masjid
ini. Sisanya ia gunakan untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Nggak
besar-besar amat kan pastinya keuntungannya? Tapi Pak Tua telaten untuk
menabung.”
Tahsin
tiba-tiba merasa takjub. Tidak menyangka sama sekali.
“Memang
benar setiap jum’at, kas masjid ini selalu dilaporkan saldonya puluhan juta.
Tapi, aku tahu betul amanah infak jama’ah Masjid ini disalurkannya dengan baik.
Salah satunya, pengurus DKM punya data anak-anak yatim piatu yang masih perlu
biaya sekolah, sekaligus memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Ada ratusan
anak. Salah satunya, cucu dari Pak Tua itu. Ia hanya tinggal berdua dengan cucu
yang usianya baru 10 Tahun. Namanya Alif. Anaknya cerdas dan kalau nggak salah
sudah hafal 15 juz.”
“DKM
Masjid ini pernah cerita kalau sebenarnya saldo kas infak dari jama’ah selalu
nyaris nol kalau sudah hari kamis. Di salurkan ke yang memang membutuhkan.
Sesuai dengan yang sudah dianggarkan tiap minggunya. Tentu saja juga digunakan
untuk perawatan masjid besar ini.” Jim menjeda ceritanya sejenak. “Tapi,
berkahnya Masya Allah, setiap jum’at malam selalu saja masuk lagi infak
baru ke rekening Masjid ataupun di antar langsung ke rumah DKM. Makanya jangan
heran kalau setiap jum’at yang dilaporkan saldo kas masih puluhan juta.”
“Tapi,
kenapa nggak pernah di umumkan rincian pengeluarannya, ya?”
“Untuk
apa? Menurutku nggak perlu-perlu banget hal yang itu dibacakan, selain butuh
waktu dan bisa mengganggu yang sedang berdzikir, shalat sunnah dan sebagainya.
Kalau soal rincian lengkapnya sebenarnya selalu dipasang di papan pengumuman
masjid. Kitanya saja yang kadang acuh, nggak tertarik untuk membaca
pengumumannya.”
Tahsin
mengangguk, ia mengakui termasuk jama’ah masjid ini yang tidak pernah mampir
untuk melihat-lihat mading.
“Hanya
soal pergantian kran yang rusak saja yang nggak pernah menggunakan uang kas,
karena DKM masjid ini ingin menghormati dan menjaga azam Pak Tua untuk berinfak
membantu kemakmuran masjid. Jadi, meskipun sudah rusak berhari-hari, kran tersebut
belum juga diganti. Begitu ceritanya, Sob.”
Tahsin
terenyuh. Mulai terbuka pikirannya dengan sudut pandang yang baru. Tanpa Jim
katakan pun ia mulai paham, bahwa infak itu sudah seharusnya tanpa syarat
apa-apa.
Jum’at
ke Jum’at pesan taqwa itu menjadi pengingat kita semua. Taqwa dalam artian
menjalankan setiap perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya.
Perintah
dalam artian sepenuh yakin dengan ketetapan Allah. Infak itu termasuk
perintah-Nya. Dan larangan-Nya dalam artian berprasangka buruk kepada-Nya.
Dengan terus bertanya-tanya apa yang sudah kita keluarkan, takut-takut tidak
disalurkan dengan baik.
Maka,
sudah seharusnya infak itu tanpa syarat apa-apa. Selebihnya biarkan skenario
Allah bekerja dengan kebijaksanaan-Nya. Biarkan Allah yang mengatur dengan
keindahan cerita dibaliknya.
@azurazie_
Oktober 14, 2020
PERAN
Tentang orang-orang yang tidak sadar, perannya sedang ditunggu. Dan orang-orang yang tidak sabar, menunggu orang lain sedang berperan.
Alangkah indahnya bila semua berperan dengan kesadaran dan porsinya masing-masing.
Tidak harus tergesa-gesa dalam menunggu.
Tidak mesti berleha-leha ketika ditunggu.
@azurazie_