Shalat maghrib berjamaah sudah hampir di mulai. Hampir saja aku
menjadi masbuk kalau tidak bergegas untuk mengambil wudhu. Sembari
merapikan gulungan celana, aku memperhatikan kejadian menarik itu. Di
antara orang-orang dewasa yang berduyun-duyun mengambil shaf terdepan,
ada satu anak kecil yang berantusias tidak mau kalah. Tapi, malang
nasibnya, ia terusir dengan mudahnya dari barisan shaf pertama.
Dibanding
dengan bocah-bocah lain yang masih sibuk bercanda, sikut-sikutan dengan
teman di sampingnya sambil berisik. Alih-alih tertib menyempurnakan
shaf. Dan sulit sekali untuk diatur. Anak kecil tadi dengan kopiah
putihnya, masih terlihat berusaha mendapatkan tempat di barisan shaf
kedua. Tapi, malang nasibnya, lagi-lagi harus terusir disuruh ke
belakang oleh orang dewasa.
Ia pun beringsut mundur mencari celah
dibarisan shaf ketiga. Sayangnya sudah keduluan oleh orang dewasa
lainnya. Aku yang sedari tadi memperhatikan anak kecil itu, merasa
kasihan. Ada kesedihan nampak di wajahnya. Aku pun memutuskan
memanggilnya, masih ada celah di sampingku di shaf ke empat. Dan kujamin
kali ini tidak akan ada yang mengusirnya untuk menyuruhnya ke belakang.
Ia pun mengangguk dan mulai fokus untuk melakukan takbiratul ihram.
Aku pun melakukan hal yang sama.
***
Mendidik
anak untuk membiasakan diri shalat tepat waktu dan berjamaah di masjid
memang sudah seharusnya tugas untuk orang tua. Tapi, kenyataan yang
sering terjadi anak-anak itu disuruhnya pergi ke masjid tanpa didampingi
langsung oleh ayahnya. Ya itu dampak yang terjadi, lebih banyak
becandanya daripada benar-benar belajar menunaikan shalat dengan baik.
Makanya tak jarang banyak orang dewasa lain yang jengkel merasa
terganggu.
Aku salut dengan anak kecil di sampingku ini. Sepanjang
shalat tiga rakaat semua gerakannya sempurna. Tumaninahnya sempurna.
Seperti tidak tergiur sama sekali dengan teman sebayanya yang sibuk
becanda di barisan belakang.
Selepas shalat pun ia tak langsung
beranjak. Turut mengikuti untaian doa dari sang imam. Begitu khusyu
tanpa bersuara. Sedangkan anak-anak lain baru selesai salam pun langsung
belingsatan berlari keluar masjid.
Belum selesai sampai di situ
kekagumanku, anak kecil itu beranjak bangun pindah ke shaf pertama yang
sudah hampir kosong, untuk menunaikan shalat Ba'diyah maghrib.
Barangkali hatinya berkata inilah shaf yang paling aku idamkan. Shaf
pertama tak jauh dari imam.
Aku tersenyum, menerka-nerka, siapa nama anak ini? Dari mana asalnya? Bagaimana cara orang tua mendidiknya?
***
Saking penasarannya, tak pikir panjang lagi aku menghampirinya.
“Siapa namamu, dek?” Aku basa-basi bertanya.
“Alif, kak.” Alif tersenyum, bibirnya masih tetap bertasbih.
“Tadi kakak perhatikan kamu berusaha banget ya ingin di shaf pertama? Boleh tahu alasannya?”
“Kata ayah Alif, shaf yang paling utama itu yang paling depan, kak. Alif ingin sujud berdoa di shaf itu.”
“Alif sedih ya tadi nggak bisa dapat shaf pertama?”
“Nggak apa-apa, Kak. Setidaknya Alif sudah berusaha. Allah Maha Melihat.”
“Tapi Alif pernah dapat kesempatan di shaf pertama?” Tanyaku penasaran.
“Dulu sering, kak. Saat ke masjidnya bareng ayah.”
“Kalau boleh tahu, ayah Alif ke mana sekarang?” Aku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
“Sudah
hampir satu tahun ayah lumpuh karena kecelakaan. Jadi shalatnya di
rumah, kak. Ayah selalu meminta Alif untuk tetap shalat berjamaah di
masjid. Karena itu yang lebih utama untuk anak laki-laki. Lagi pula di
masjid doa Alif jadi lebih khusyu. Karena terasa lebih dekat sama
Allah.”
Tiba-tiba hatiku mencelos. Ada anak kecil yang setabah dan selurus ini hatinya.
“Memang apa yang Alif minta dalam doa?”
“Alif ingin cepat tumbuh besar agar bisa memapah ayah untuk pergi ke masjid. Biar bisa shalat jamaah lagi.”
Aku sempurna terdiam mendengarnya.
@azurazie_