Semua mimpi tertuang dalam pikiran, seluas dunia Lakaran Minda, di ruang yang lebih nyata.
Januari 20, 2019
CERMIN
Januari 18, 2019
BUKU T(J)INTA YANG BERCERITA
T(J)inta Yang Bercerita
Seberapa banyak tinta-tinta itu telah bercerita melalui tulisan-tulisan yang pernah kita buat? Dari tulisan yang benar-benar niat untuk dituliskan atau sekadar iseng dalam bentuk coretan, komentar atau bahkan keluhan.
Seberapa banyak cinta-cinta itu bercerita dalam keseharian, melalui orang-orang yang datang dan pergi dalam kehidupan. Dari yang menetap lama, hingga yang sekadar berseliweran, singgah atau bahkan 'nyasar' tak bermaksud bersinggungan dalam hidup kita.
Seberapa banyak tinta-tinta tulisan itu mewakili cinta dan perasaan. Minimal apa yang sedang terlintas dalam pikiran.
Aku tidak pernah benar-benar iseng menghitungnya. Tapi, tinta-tinta itu akan selalu ada dan tersedia bila ingin menuliskan suatu cerita. Cinta itu akan selalu ada dan tersedia bila ingin mengungkapkan rasa.
T(J)inta Yang Bercerita.... apa adanya... #30Haribercerita
#30HBC19
#30HBC1917
#Nulisyuk
#Tjintayangbercerita
#Kumpulantulisan
#Azurazie_
Januari 15, 2019
MENGAMBIL KEPUTUSAN
Januari 12, 2019
BAGAIMANA JIKA
#30haribercerita
#30hbc1912
#30HBC19Jika
#30HBC19
#30HBCjika
#bagaimanajika
#jika
#tulisan
#azurazie_
Januari 10, 2019
NAMA-MU YANG MANA, YANG MASIH AKU DUSTAI?
Suaranya merdu sekali. Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahiim, Ya Maalik, Ya Quddus, Ya Salam... Langkahku terhenti, hatiku terenyuh, sudah lama sekali rasanya aku tak lagi mendengar lantunan nama-nama itu. Dulu sewaktu kecil aku pernah berhasil menghapalnya. Kini.... entahlah aku tak yakin bisa melapalkannya dengan lancar sampai nama ke 99.
Salman melantunkannya dengan begitu khidmat hingga meresap ke relung hatiku. Mataku tiba-tiba merembas. Ada apa dengan keluarga kecil ini, lagi-lagi membuat kesadaranku terusik. Sadar, telah semakin jauh untuk bersungguh-sungguh mencinta-Mu.
Salman memandangi Nama-Mu, nenek menyebut-nyebut Nama-Mu. Sedangkan aku? Masih saja mendustai Nama-nama-Mu.
Sang Maha Pengasih... aku tak lagi sering berkeluh kesah kepada-Mu di sepertiga malam. Sang Maha Penyayang... aku tak lagi peka dan peduli dengan orang-orang sekitar ku. Terlalu sibuk dengan duniaku sendiri. Sang Maha Pemberi Rezeki... aku lebih sering mengeluh kekurangan dengan apa yang telah Engkau beri. Sang Maha Memberi Ketetapan... aku lebih sering tak terima dengan apa-apa yang telah terjadi dalam keseharian. Lebih sering bertanya, kenapa? Kenapa? Dan kenapa?
Semakin terhanyut dengan lantunan Salman, aku semakin bertanya-tanya. Nama-Nama-Mu mana lagi yang masih aku dustakan? Sang Maha apalagi yang membuat diri ini masih saja angkuh. Padahal tidaklah daya dan upaya tanpa KEMAHAAN-Mu.
Inikah yang membuat hatiku belakangan ini merasa sepi?
Siang itu, ketika aku sedang berkemas untuk melangkah pulang. Tiba-tiba saja anak kecil itu menghampiriku. Mungkin Salman merasa perlu berterima kasih karena kemarin aku membantu membenarkan genting kamar mandi yang bocor. Sesuatu yang belum bisa ia lakukan sendiri di usianya.
Selepas itu, aku dan keluarga kecil itu menjadi lebih akrab. Meskipun aku lebih banyak mendengarkan cerita nenek dan Salman hanya sibuk membaca terjemahan Al-Qur'an. "Sudah mau pulang, Bang?"
Salman kembali terdiam. "Tak apa, tak perlu dijawab. Abang cuma iseng bertanya. Jaga nenek baik-baik ya, Man. Insya Allah nanti abang kembali berkunjung." Ia mengangguk. "Bang, seberapa sering orang dewasa bertanya-tanya akan sesuatu. Padahal sebenarnya jawabannya sudah tahu." "Maksudmu?" Aku mengerutkan dahi.
Januari 05, 2019
MENYEBUT NAMA-MU
Selepas kemarin hatiku yang tiba-tiba bergetar hebat dikala memandang Nama-Mu. Rasanya aku mengerti, sepi ini bukan soal situasi di sekitar. Tapi, ketenangan hati yang kian hari semakin memudar.
Sepanjang perjalanan hari ini, aku bertemu banyak orang. Sekadar bertanya basi-basi, ingin tahu lebih banyak tentang situasi kota ini. Tiba-tiba saja aku melihat anak kecil kemarin sedang menjunjung sebuah tampah kosong di kepalanya. Jujur saja aku masih penasaran dengan anak ini. Aku buntuti saja, ingin tahu ia akan pergi ke mana. Untuk ukuran anak sekecil itu, langkah kakinya cepat sekali. Hampir saja aku kehilangan jejaknya. Hingga tiba-tiba ia berhenti di sebuah gubug sederhana di sudut gang kecil.
Ada seorang nenek yang sedang duduk di bale-bale kecil depan gubug itu. Sedang membuat anyaman tampah.
Aku pun memutuskan untuk bertamu dan memberi salam.
Salman keluar membawa segelas air putih dan beberapa potong gorengan. Melihat kedatanganku seolah biasa saja di mata anak itu. Tidak terganggu sama sekali, seperti kami sebelumnya tidak pernah bertemu. Ia pun kembali masuk ke gubug. "Ayo, silakan Nak Jim dinikmati ala kadarnya." Allah... Allah... Allah..
Aku mengangguk sembari mencicipi goreng pisang, ternyata rasanya enak sekali.
Nenek tersenyum meletakkan anyaman tampah yang selesai. "Menjaga wudhu dan shalat tepat waktu, Nak." Allah... Allah... Allah.... "Selepas adzan Salman pulang membantu mak untuk itu."
Januari 04, 2019
MEMANDANG NAMA-MU
Awalnya aku merasa heran, ketika melihat anak kecil umur kira-kira 7tahun. Berdiri mematung, memandang ke dalam masjid. Kala adzan berkumandang. Pakaiannya lusuh, rambut berantakan. Tidak beralas kaki. Sangat tidak ideal untuk dipakai melakukan shalat.
Ia sama sekali tidak bergeming ketika aku hampiri. Matanya tetap memandang lurus ke depan. Aku lihat sang muadzin masih lantang mengumadangkan adzan, berdiri di samping mimbar. Apa mungkin muadzin itu adalah sang ayah anak ini? Ia sengaja menunggu di depan teras, mungkin juga sesuai pesanan ayahnya. Itu yang aku kira di hari pertama aku menemukan anak itu. Berdiri mematung tak bergeming. Sayangnya, tidak sesuai perkiraanku. Setelah adzan selesai dikumandangkan. Anak itu berbalik arah dan pergi begitu saja. Membuat aku tambah heran. Kok bukannya malah mengambil wudhu? Ia malah pergi begitu saja meninggalkan masjid. Ah, sial! Aku sendiri malah ikutan belum wudhu.
Di hari kedua, ritual itu kembali digelar. Anak yang sama. Di waktu shalat yang sama. Dengan muadzin yang berbeda. Aku tambah yakin ini semua bukan tentang muadzinnya. Lalu sebenarnya apa yang dipandangi oleh anak itu? Kenapa ia begitu khusyu melakukannya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Meskipun beberapa kali aku penasaran bertanya. Hari kedua aku tidak terlalu ambil pusing. Kutinggalkan anak itu sebelum ia menyelesaikan ritualnya. Sebelum sang muadzin menyelesaikan tugasnya. Aku memilih ikut antri mengambil wudhu. Masjid ini selalu ramai. Aku tidak ingin bernasib seperti kemarin. Lalai berwudhu karena memperhatikan anak kecil itu.
Bagaimana mungkin aku dibuat penasaran oleh ulah anak kecil kumal ini. Sudah hari ketiga ia membuatku gemas dengan perilakunya. Hari ketiga aku ikut mematung memandang ke dalam sebuah masjid kota ini. Saking penasarannya, sebelum waktu adzan dzuhur, tadi aku sengaja mengambil wudhu lebih dulu. Dan sengaja pula berdiri lebih dulu di tempat anak kecil itu biasa mematung sendiri. Benar saja, tidak lama kemudian ia datang kembali tanpa basa-basi. Seolah tidak terganggu dengan keberadaanku. Pandangannya fokus ke depan, sejak kumandang adzan berlangsung.
Kini ada 2 orang yang tengah mematung memandang jauh ke dalam sebuah masjid kota ini. Barangkali sudah banyak mata yang merasa heran. Atau perasaanku saja, biasanya orang lain tidak terlalu peduli dengan orang-orang sekitarnya.
Satu menit bertahan, kakiku mulai pegal-pegal. Mulai merasa konyol dengan apa yang aku lakukan. Kenapa pula aku ikut-ikutan kebiasaan anak kecil ini.
Hingga tiba-tiba entah kenapa hatiku mulai bergetar. Aku tahu, apa yang ia pandangi dalam tiga hari ini. Ukiran nama-Mu, ya Rabb. Nama Agung itu menempel indah di dinding sebelah kanan dari posisi muadzin mengajak panggilan shalat. Masya Allah, sungguh hatiku tambah bergetar. Memandangi nama-Mu dengan fokus. Apa ini yang dalam 3 hari kemarin dirasakan oleh anak kecil itu? Seolah waktu berhenti berputar. Seolah ia sedang berdiri sendiri di dunia ini. Menikmati memandang nama Agung-Mu dengan begitu takjub. Meninggalkan hiruk-pikuk dunia di sekitarnya.
Tak sadar mataku mulai memanas. Rembas. Seolah baru saja diberi kesadaran, bukankah sudah seharusnya begitu bila ada panggilan adzan. Mendengarkan dengan fokus tanpa melakukan aktivitas apa-apa.
Saat sedang begitu terhanyut dengan perasaan yang baru saja terjadi. Aku sedikit terkejut ketika anak kecil itu tiba-tiba berlari meninggalkan teras masjid. Adzan sudah berakhir. Meninggalkan pertanyaan baru, kenapa ia tidak pernah ikut shalat di masjid ini?
Januari 02, 2019
KULINER LITERASI
#30hbc1902
#tulisan
#azurazie_
Januari 01, 2019
PELETAKAN KATA PERTAMA
Bismillah.
Waktunya peletakan kata pertama. Kata yang menjadi pondasi awal untuk permulaan semua. Tentang harapan, doa dalam kebaikan, tujuan-tujuan yang perlu diperjuangkan, terutama tentang konsistensinya. Tentang ke-istiqomahan-nya. Haruslah kokoh. Berazam yang kuat dan sungguh-sungguh.
Kata yang menjadi pembuka bab awal sebuah cerita. Tentang tulisan-tulisan yang kedepannya harus selalu ‘mengalir’ dalam ruang imaji. Mengalir dalam mengutarakan perasaan-perasaan. Katarsis yang baik dalam bentuk tulisan. Kata yang menjadi pengingat di kala nanti akan ada masanya kembali susah untuk berpikir. Block writer.
Peletakan kata pertama ini perlu dirayakan. Mengundang banyak orang untuk bantu mendoakan. Minimal harus selalu ada telapak tangan yang menepuk bahu itu, seraya berkata : bersabarlah! Pada waktunya kata demi kata itu akan selalu membentuk tulisan-tulisan yang bermanfaat. Minimal untuk dirimu sendiri. Alih-alih bisa untuk banyak orang. Maka, selesaikanlah apa-apa yang sudah dimulai.
Minimal akan ada yang mengingatkan bahwa selepas peletakan kata pertama itu, 'pembangunan’ ini barulah resmi dimulai. Membangun kebiasaan baik. Yang bagaimana pun caranya, bagaimana pun rintangannya haruslah selesai sesuai dengan tujuan semula. Peletakan yang tidak akan berakhir sia-sia. Sebatas seremonial belaka.
Waktunya peletakan kata pertama. Bismillah. La haula wala quwwata illa billah.
Bogor, 01 Januari 2019
@azurazie_