“Aku ada kata-kata nih, coba dicek enak dibaca nggak?
‘seseorang yang sering bertanya memang harus ada, agar si serba tahu (bagian
ini yang susah pasnya) bisa berbagi ilmu.”
“Jangan Si serba atuh, kesannya sombong.”
“Oh! Nah, makanya kurang pas.”
“Yang rajin bertanya memang harus selalu ada, agar yang
lebih tahu, bisa berbagi ilmu.”
“Nahhhh, itu dia hahahaha...”
“Yang rajin bertanya memang perlu ada, agar yang lebih tahu,
bisa berbagi ilmu.”
“Okok....”
“Yang rajin bertanya memang perlu ada, agar yang lebih tahu,
juga berbagi ilmu. Kalau pakai kata ‘mau berbagi’ kesannya dipaksa ngebaginya.”
“Oh, jadi harus diperhatikan tiap kata-katanya.”
“Biar nggak ambigu, jadi kesannya secara tidak langsung
saling berbagi tanpa diminta. Ikhlas apa adanya.”
“Satu lagi... satu lagi... bagaimana mengajak orang lain ke
jalan kebaikan?”
“Cara yang paling tepat, ya, jadi jalan kebaikan itu
sendiri. Seseorang kan cenderung mengikuti apa yang ia sukai. Nah, biar ajakan
itu tepat sasaran, kamu sendiri harus bisa jadi ‘jalanan’ untuk dia, agar
sukarela ‘ngekor’ di belakang. Jadi nggak perlu ada istilah ngajak, tapi
sukarela ikut.”
“Caranya? jadi ‘jalanan’.”
“Contohin, kamu lakuin duluan, berasa di shaf paling depan.
Paling tepat waktu dan tidak plinplan. Biar yang nantinya ngikutin juga nggak
ragu sama keputusannya. Kamunya sendiri nggak ada perasaan telah mengajak. “
“Itu kan kalau dia satu keyakinan. Kalau buat yang beda
agama gimana?”
“Sama aja seperti Rasulullah, berdakwah dengan teladan.
Nggak ada unsur paksaan, mencontohkan dalam keseharian. Dan mereka pada
akhirnya berbondong-bondong masuk islam. Hidayah tetap ada di kuasa Allah, kita
hanya sebagai perantara. Dengan usahanya. “
“Mungkin aku harus banyak-banyak membaca kisah Rasulullah
saat berdakwah. Tapi awalnya aku harus jadi pribadi yang baik dulu ya intinya.”
“Tidak harus, tapi mau.”
“Iya iya.”
“kalau pakai kata ‘harus’ ada kesan paksaan. Tapi kalau
‘mau’ itu sukarela.”
“Hahaha itu ‘paksaan’ ada lagi.”
Bagaimana agar bisa kembali ke jalan kebaikan?
BalasHapus