Udara di Kota Hujan ini semakin panas
saja. Sudah macet merata di mana-mana pula. Oh apa bedanya dengan ibu kota
kalau sudah seperti ini?
Aku mengeluh dalam hati sambil
tetap konsentrasi mengendarai motor. Mengucek mata yang sedikit ngantuk. Lampu
merah di sini lama benar berganti dengan warna hijau. Bising pula, bunyi
klakson di mana-mana. Rasanya setengah ion-ion dalam tubuh menguap sudah.
Setelah ada kesempatan melajukan
kendaraan, aku menggas motor cepat-cepat. Sepertinya harus mencari minuman
segar pelega tenggorokan. Perjalanan masih jauh, kondisi mengantuk tidak bagus
untuk keselamatan. Baiklah, sebuah kepala muda dengan es sepertinya pilihan
paling tepat saat ini.
Langsung aku mencari warung-warung
pinggir jalan yang menjualnya.
Wah ternyata yang bernasib
sepertiku banyak juga, terlihat di warung es kelapa ini sudah berjejer rapi
motor-motor yang parkir. Barangkali mereka dalam perjalanan touring.
Aku mencari sudut meja yang cukup
nyaman dijadikan tempat duduk. Tidak ingin ikut ‘nimbrung’ dengan kelompok
anak-anak touring itu. Syukurlah ada satu tempat yang kosong. Aku langsung
memesan satu kepala muda tidak lupa dengan es batunya. Rasanya sudah tidak
sabar untuk menikmatinya.
Sambil menunggu datangnya pesanan,
aku mengecek ponsel yang sejak tadi bergetar. Ada dua misscall yang tidak terangkat.
Ah abaikan dulu saja. Saat itulah aku terkejut tiba-tiba sebuah tas berwarna hijau
lumut tiba-tiba mendarat mulus di depan mejaku.
“Ups! Sorry.... tidak tahan panas
benar.” Ujar si pemilik helm. Sambil mengipas-ngipas bajunya. Menggeser tasnya
agar tidak terlalu berada di depanku. “Aku ikut gabung duduk di sini boleh ya?”
katanya kemudian sambil celingak-celinguk. Memang tidak ada tempat kosong yang
tersisa.
Iya langsung duduk saja tanpa
perlu menunggu persetujuanku. Aku menyeringai melihat tingkah gadis itu.
“Pak, kelapa mudanya satu lagi
ya!” aku berseru mewakili.
“Terima kasih.” Kata gadis itu
paham dengan maksudku. “Kalau tiba-tiba hujan mantap nih.”
“Sebentar deh, sepertinya kita
pernah bertemu?” Kataku sambil mengingat-ingat. Wajahnya memang familiar
sekali.
“Masa?” gadis itu mengerutkan
dahi. Terlihat ikut mengingat-ingat.
“Ah lupakan. Mungkin akunya yang salah
orang.” Kataku sambil menyeruput es kelapa.
Gadis itu mengangguk-angguk.
“Terima kasih pak.” Ia mengambil
sedotan ketika kelapa mudanya datang. Langsung menyeruput dengan antusias.
Lagi-lagi aku menyeringai melihat tingkahnya.
“Oooh.... kamu yang waktu itu ya?”
tiba-tiba ia berseru.
“Yang waktu itu?” jadi aku yang
malah bertanya.
“Bazar buku. Gramedia. Botani
Square.” Ia menyeringai.
“Ooooh.... iya iya. Kamu yang
waktu itu rupanya.” Kataku ikut berseru. Potongan ingatan itu lengkap sudah.
Pantesan tadi wajahnya seperti familiar.
Aku jadi teringat saat pertama
kali bertemu dengan gadis itu. Saat sama-sama sedang antusias mengubek-ubek stand
bazar buku. Yang bukunya selalu saja berantakan. Tidak tersusun dengan rapi.
Sampai gemas dengan penjaganya. Kenapa sih tidak sigap merapikan. Biar para
pengunjung mencari bukunya lebih mudah. Wajar juga sih kalau sedang ada bazar
buku banyak yang antusias. Jadi mana sempat dirapikan kalau sebentar lagi juga
sudah awut-awutan lagi.
Saat itu aku yang sedang merasa
beruntung karena menemukan judul buku yang sudah lama aku cari. Yang sudah
tidak banyak beredar di toko buku - toko buku besar. Saat hendak mengambilnya,
tahu-tahunya sudah keduluan sama tangan gadis itu. Ternyata dia juga sudah lama
mengincar judul buku itu. Singkat cerita akhirnya aku yang mengalah. Membiarkan
gadis itu memilikinya sambil berharap siapa tahu masih ada lagi buku itu di
stand buku yang lain. Tapi sayangnya
buku yang dipegang gadis itu adalah satu-satunya.
“Sebentar deh, sepertinya aku bawa
buku waktu itu.” Gadis itu mengubek-ubek tasnya. “ah ini dia.... ceritanya
memang bagus banget.”
Ia menyodorkan buku itu kepadaku.
“Baca deh.....”
Aku mengambilnya. Ah iya ini
memang bukunya waktu itu.
“Baca saja. Aku sudah selesai
membacanya.”
“Serius nih?” tanyaku ragu-ragu.
“Iyalah, buku kan memang untuk
dibaca.”
“Terus ke mana harus aku
kembalikan?”
“Tidak perlu. Di simpan saja. Atau
estafet lagi ke orang yang mau membacanya.”
“Baiklah... dengan senang hati aku
terima bukunya.” Aku menyeruput es kepalaku sampai habis. “Sepertinya aku harus
duluan.”
Gadis itu mengangguk. “Sampai
ketemu lagi.”
“Bazar buku bulan depan?”
“Ya... di tempat yang sama.”
Aku tersenyum. Berpamitan.
Udara Kota Hujan memang sedang
terlalu panas hari ini. Rasanya aku sudah ingin buru-buru sampai rumah. Ingin
buru-buru mulai membaca cerita di dalam buku itu. Ah aku lupa menanyakan
namanya. Siapa nama gadis itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)