Sepasang
manusia tidak saling kenal, duduk berdekatan di lokasi yang sama. Bertelanjang
kaki di atas pasir basah tepian pantai. Memandang lautan berjam-jam tanpa
tujuan. Tidak ambil pusing dengan keramaian di sekelilingnya.
Sedangkan
sekelompok orang-orang mulai membentuk lingkaran menghadap api unggun. Sambil
bernyanyi-nyanyi riang. Diiringi petikan gitar dan tabuhan galon. Sepasang
manusia tidak saling kenal ini menoleh pun tidak. Bergeming. Tidak peduli.
Pikiran mereka terlanjur ramai oleh sesuatu yang lain.
“Hah.” Perempuan itu melepaskan napas
perlahan. Wajahnya kusut masai. Ada sisa-sisa air mata di sana. Sedangkan
hatinya masih tetap menangis. Belum selesai merayakan kehilangan.
Laki-laki itu menoleh ke arah perempuan asing
itu. Baru tersadar ada orang lain berada tidak jauh dari tempat duduknya.
Tempatnya berjam-jam cemas menanti harapan.
“Hai.” Sapa laki-laki itu basa-basi.
Lalu memperbaiki posisi duduknya yang sudah mulai terasa pegal.
“Oh… ya.” Jawab perempuan itu
sekenanya. Hanya untuk menghargai laki-laki asing yang sudah peduli menyapa
kesendiriannya.
“Sering ke pantai ini?”
“Ini yang pertama.” Dan terakhir. Sambil merapikan ujung
rambutnya yang menyentuh mata.
“Oh….” Laki-laki itu kembali menatap
lautan. Deburan ombak memecah karang. Udara pantai semakin menggigilkan badan.
“Kamu?”
“Ya?” laki-laki asing itu mengerutkan
dahi. “Oh…. Baru juga.” Cukup malam ini
saja.
Hening
sejenak. Kembali sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sekelompok orang-orang
yang bernyanyi-nyanyi itu bertambah riang dengan banyaknya orang yang ikut
bergabung.
“Kenapa suka memandang lautan?”
tanya laki-laki asing itu tanpa menoleh. Iseng melempar jauh batu karang yang
terbawa ombak.
“Tepatnya suka melototinya marah.”
Perempuan asing itu menusuk-nusuk pasir dengan ranting pohon. Menyalurkan
kekesalannya.
“Boleh tahu kenapa?”
“Karena punggungnya semakin menjauh.
Dan aku tidak ada keberanian untuk mengejarnya.” Perempuan asing itu mengeluh.
“Makanya aku ingin sekali marah. Marah pada diriku sendiri. Karena meskipun aku
ingin sekali menggapainya. Tapi justru aku diam saja. Seolah membiarkannya
semakin tidak terlihat oleh pandangan mata.”
“Kenapa nggak coba dikejar?”
“Apa masih ada gunanya
mengejar-ngejar sesuatu yang sudah memutuskan sendiri untuk pergi?”
“Mungkin ada.”
“Apa?”
“Setidaknya dia tahu masih ada yang
mengharapkannya.”
“Untuk apa?”
Laki-laki asing itu mengendikkan
bahu. Tidak yakin.
“Kenapa suka memandang lautan?”
perempuan asing itu balik bertanya.
“Untuk memastikan ada yang akan
kembali. Seseorang yang sedang mendayung perahu kecilnya menuju ke sini.”
Laki-laki asing itu memungut rumput laut yang terbawa ombak.
“Harapan?”
“Ya. Meskipun aku juga nggak yakin
dia akan pulang.”
“Kenapa nggak coba dijemput saja?”
“Apa masih ada gunanya, menjemput
sesuatu yang sudah nggak ingin kembali?”
Perempuan asing itu ingin berkata.
Tapi ia tidak yakin dengan jawabannya.
Lautan terlihat sudah cukup tenang
dengan kesunyiannya. Kerumuman orang-orang yang bernyanyi-nyanyi tadi sudah
mulai berkurang. Hanya tinggal beberapa orang yang masih duduk menghangatkan
diri di sisa-sisa bakaran kayu. Sedangkan dua manusia asing yang tidak saling
kenal itu, kembali sibuk dengan pikirannya masing-masing. Entah sampai kapan
mereka akan duduk termangu memandang lautan.
“Lihat.”
Laki-laki asing itu tiba-tiba menunjuk ke arah air laut. Ada bayangan yang nampak
indah di sana membentuk seperti jalan.
“Mangata.”
Perempuan asing itu tidak kalah antusias. Wajahnya tersenyum lebih ceria saat
melihat bulan bersinar terang di atas bayangan itu. “Indahnya.” Lenyap sudah
kesedihannnya.
“Harapan akan
selalu ada.” Laki-laki asing itu bergumam. Perempuan asing itu ikut
mengaminkan.
“Oh iya. Kita
belum saling kenal.”
“Aku lebih
suka seperti ini.”
“Maksudmu?”
“Aku
memutuskan tidak akan lagi memandang lautan berjam-jam. Pantai ini pertama dan
terakhir. Perkenalan kita cukup dengan percakapan saja. Tanpa perlu menyebut
nama. Terkadang dengan mengenal nama seseorang, itu akan meninggalkan jejak
untuk banyak hal. Salah satunya ingatan.”
“Dan kenangan.
Baiklah, tanpa nama akan lebih mudah melupakan.” Laki-laki asing itu beringsut
bangun. “Terima kasih untuk percakapan kita malam ini. Gabung sama mereka yuk?”
laki-laki asing itu menunjuk arah segelintir orang yang bernyanyi riang tadi.
“Aku masing
ingin di sini. Sebentar lagi.”
“Baiklah. Aku
duluan ya.” Laki-laki asing itu melempar senyum.
Dibalas dengan
anggukan pelan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)