Semua orang
pasti pernah mengalami hal ini :
Ada yang berusaha ia pertahankan, tiba-tiba di
luar kendalinya lepas dari genggaman. Cepat sekali, begitu saja. Sepersekian
detik. Tidak sempat menghitung-hitung kemungkinan
Padahal
boleh jadi sebelumnya sesuatu itu sulit sekali ia dapatkan. Mungkin sesuatu itu
adalah hal yang sangat berharga. Ia sengaja memeliharanya dengan hati-hati.
Ketika sesuatu itu begitu saja lepas, hilang dari genggaman, hatinya hanya
mampu ber-yaaaaaah penuh penyesalan.
Adapula yang
juga pasti pernah mengalami hal ini :
Kali ini sesuatu itu adalah yang sama sekali
tidak ingin ia genggam. Tidak merasa perlu untuk dipertahankan. Tapi entah
kenapa sulit sekali untuk melepaskannya. Seperti ada simpul kuat yang
mengikatnya. Seperti ada lem yang super canggih merekatkannya. Ada sesuatu
kekuatan dahsyat yang mencengkram hebat. Butuh usaha lebih giat lagi untuk
melepaskannya.
Padahal sungguh ia sudah tidak menginginkannya.
Sangat menjengkelkan. Membuat hatinya ber-aduuuuh kelelahan.
Sesuatu itu
kadang berbentuk rupa menjadi : Cinta.
Sore itu salah
satu toko buku terbesar di Kota Depok, seperti biasa dipenuhi oleh pengunjung.
Suasananya ramai oleh orang-orang yang sibuk memilah-milah buku. Atau sekedar
menunggu……. Entah apa. Bukankah terkadang kita memang tidak pernah menunggu
apa-apa. Tapi terlanjur biasa berlama-lama diam di tempat yang sama.
“Sudah kuduga kamu lagi di sini.” Deras
menyapa Rinai yang sedang duduk memegang buku di salah satu pojok toko. Paling
dekat dengan kaca. Hanya memegang buku. Tidak benar-benar membacanya.
Rinai hanya
menoleh. Tersenyum sekedarnya. Tidak heran Deras bisa menemukan dirinya di
sini. Tempat biasanya menghabiskan waktu untuk menunggu.
“Masih terusik
dengan masa lalu?” Deras basa-basi.
“Kamu percaya,
hati selalu tahu jalan pulang?”
“Mungkin.”
Deras tidak selera menjawab.
“Lalu kenapa
harus ada hati yang tiba-tiba mengaku ingin pulang. Padahal ia yang dulu
meninggalkan.” Rinai menghembuskan napas. “Kenapa ada hati yang tiba-tiba
kembali, dan kita selalu siap sedia menyambut kedatangannya lagi.”
“Aku nggak
tahu. Dan nggak mau tahu soal masa lalumu. Yang aku tahu, hal-hal yang perlu
kita genggam ataupun lepas. Semua memang butuh kesiapan.”
Rinai menelan
ludah. Terusik dengan perkataan Deras yang terus terang.
“Kalau
membicarakan masa depan, baru aku mau.” Deras menyeringai jahil.
Rinai
mengerutkan dahi. Maksudmu?
“Coba deh perhatikan
cermin besar itu.” Deras menunjuk sebuah cermin yang tergantung di salah satu
rak buku. Entah kenapa ada cermin terletak di sana. Deras tidak peduli.
Setidaknya ia jadi punya ide untuk menegaskan masa depannya di hadapan Rinai.
Mata Rinai
mencari cermin yang dibicarakan Deras. Sama tidak mengertinya kenapa ada cermin
di sana.
“Cermin. Ketika
kamu memandangnya, sejauh mata bisa melihat, sejauh itulah titik masa depanmu.
Tentu saja yang nampak jelas adalah sosok dirimu sendiri, karena masa depanmu
tergantung bagaimana cara kamu memandangnya. Bagaimana cara kamu
mengusahakannya agar tetap terlihat. Gapailah, sampai kamu bisa melihat jelas
bayanganmu sendiri.”
"Dan coba
balikan badanmu. Kini cermin itu bagaikan masa lalumu, masa lalu yang
tertinggal di belakangmu. Ingatlah satu hal, sekuat apapun usahamu tuk
melihatnya, niscaya kamu tidak akan pernah bisa melihat masa lalumu secara
utuh."
Rinai
terkesiap. Semua yang dikatakan Deras barusan masuk di akal.
“Jika kamu
bercermin sekarang ini. Aku yakin di sana bukan hanya bayangan dirimu yang
nampak. Tapi ada aku juga di sebelahnya. Bukankah masa depan kita berdua nampak
di sana?”
“Gombal.”
Rinai mulai bisa tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)