Hei gadis yang lahir saat
musim hujan. Desember. Apakabar hatimu hari ini? Masihkah membuncah
harapan-harapan baik itu? Lalu kejutan apa yang kamu paling tunggu untuk
menggenapkan kegembiraanmu?
Hari ini jika kamu mampu
memandang seluruh wajah semesta. Niscaya wajah itu terlihat begitu cerah.
Terpancar jelas rona bahagia di sana. Tercermin dari wajahnya yang penuh rasa
syukur. Kedua bola matanya berbinar bercahaya. Lesung pipitnya terlihat
sempurna bersamaan dengan lingkar senyum yang merekah penuh.
Itu gambaran dari wajah semesta yang aku perhatikan hari
ini. Cukup lama aku terpesona memandangnya. Langit biru sejauh mata memandang
membuat aku terus bertasbih atas kebesaran-Nya. Dan sejujurnya aku tidak bisa lama-lama
memandang rona wajahmu saat ini. Aku tidak ingin terlihat kaku karena terpaku
tertawan.
Hari ini hari yang teramat bersejarah dari kelahiranmu.
Hari dengan lebih banyak doa-doa baik yang dipanjatkan. Hari dengan lebih
banyak derma syukur diungkapkan.
Jujur saja aku ingin sekali berada di dalamnya. Ikut
merayakan dan merasakan buncah bahagianya. Tapi aku tidak tahu caranya. Alih-alih
takut merusak suasana. Tidak ada setangkai bunga mawar. Tidak ada nasi tumpeng
yang menggunung. Aku memilih cara paling aman. Diam-diam akan selalu ikut
mendoakan.
“Menurutmu apa hal terbaik yang dilakukan ketika sedang
diingatkan tentang hari kelahiran?”
“Bersyukur dan muhasabah diri.” Katamu. Sembali
menuliskan sesuatu di secarik kertas. Entah apa.
“Itu pasti. Secara alamiah dua hal itu yang biasanya akan
kita lakukan pertama kali. Kalau untuk orang lain di luar dirimu sendiri?“
Sejenak kamu menoleh. Mungkin
merasa terganggu karena aku tanya-tanya.
“Berterima kasih dan balik
mendoakan mereka.”
“Ooh ok!” aku bergumam
pendek.
“Kenapa gitu?” kamu
meletakkan pulpen di atas meja. Mulai tertarik dengan percakapan kita.
“Hanya tiba-tiba terpikir. Sepertinya
sekali-kali juga perlu dibalik deh.” Aku menyeruput lemon tea yang kamu buatkan tadi.
“Maksudnya?” Kali ini kamu
antusias bertanya.
“Bersyukur atas hadirnya orang-orang
yang peduli dan sayang di sekitar kita. Muhasabah diri, sudah sejauh mana upaya
kita membahagiakan mereka. Dan sekali-kali kita juga perlu berterima kasih
kepada diri sendiri.”
“Ok! Untuk hal yang pertama
sependapat. Untuk yang kedua masih tidak ngerti.” Tanganmu mulai sibuk
membentuk origami hati.
“Banyak alasan untuk
berterima kasih pada diri sendiri. Sebab, siapa lagi coba yang setiap detiknya
berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Selain diri sendiri. Siapa lagi
yang setiap hari masih mau bersemangat. Berusaha tetap senyum ketika sedang
jenuh. Berusaha tetap berdiri tegak ketika sedang lelah. Selain diri sendiri.
Siapa lagi yang mau mengerti seberapa keras kepalanya kita ini. Setiap hari
mengikuti ego kita. Siapa lagi juga yang tahu sebenarnya kita sedang menyimpan
sedih, gundah, mencemaskan banyak hal. Selain diri kita sendiri.”
“Hah…. Kamu benar. Kenapa
baru kepikiran sekarang ya.”
“Sekarang cari cermin sana.
Senyum sambil mengucap terima kasih sedalam-dalamnya kepada yang nampak di dalam
cermin itu. Terus bilang deh, terima kasih banyak, sudah seusia ini masih mau
jadi diri sendiri.” Aku menghela napas sejenak. “Semoga yang sederhana itu bisa
menggenapi hari bahagiamu. Selamat hari lahir ya.”
“Huuuuu….. telat. Udah jam
berapa ini baru ngucapin.” Kamu pura-pura cemberut. Sambil beranjak bangun.
Sebelum pergi melangkah, kamu menyodorkan origami hati yang kamu buat tadi.
“Ini apa?” tanyaku tidak
mengerti.
“Baca aja.” Katamu sambil
berlalu.
Buru-buru aku membuka
lipatan origami itu. Ah kamu selalu pandai membuat origami dalam berbagai
bentuk. Lipatannya rapi sekali.
Ada sederet kata-kata
tertulis di dalam kertas itu. Kalimat sederhana yang membuatku kehabisan
kata-kata.
TERIMA KASIH.
Untuk sejauh ini Sudah mau menjadi bagian dari
hari-hari bahagiaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)