Kota Jakarta sedang diguyur
hujan siang itu. Tanpa hujan pun, pengguna jalan raya sudah berdesak-desakan.
Titik kemacetan berada di mana-mana. Hujan dan genangan air menambah ‘drama’
itu semua.
Berteduh di bawah kolong flyover menjadi pilihan yang paling
diminati para pengguna roda dua. Tidak ada genangan air. Bebas dari tampias.
Dan cukup ‘lega’ tempatnya. Ketika hujan reda, bisa langsung melanjutkan
perjalanan.
Satu persatu penggendara motor mulai merapat. Parkir
sembarangan. Tidak searah. Menghabiskan hampir separuh bahu jalan. Dan
sayangnya hal itu justru menambah titik kemacetan. Tapi siapa yang peduli. Sejauh
ada tempat berteduh agar tidak kebasahan akan jadi sah-sah saja. Termasuk aku ikut-ikutan
menjadi ‘penghuni’ sementara di bawah flyover
itu.
Meskipun banyak orang senasib sepenanggungan. Sama-sama
menunggu hujan sedikit reda karena tidak punya atau lupa membawa mantel. Kami
sibuk dengan kepentingan masing-masing. Ada yang sibuk dengan gagetnya. Asyik mengobrol berdua saja
dengan pasangan seperjalanannya. Banyak juga yang asyik benar mengepulkan
rokok. Mendengarkan musik mp3. Dan beberapa orang terlihat basa-basi
menyinggung Jakarta yang semakin panas blablabla…..
Sebenarnya aku membawa
mantel di dalam jok motor. Cuma kadang malas saja memakainya. Lagi pula aku
sedang tidak terburu-buru. Jadi aku memilih ikut ‘berkumpul’ di sana. Sambil
berharap hujannya kali ini tidak akan lama.
Dan ketika aku sibuk
bermain games di hp untuk mengusir
kebosanan. Suasanya tempat kami ‘menongkrong’ semakin gaduh. Mobil-mobil yang
melaju tidak sabaran. Membunyikan klakson gandeng
sekali. Ah… sudah biasa aku tidak peduli. Menyumpal telinga dengan hedset.
Saat itulah beberapa kepala
menoleh. ‘keributan’ yang ini tidak lah biasa. Aku menduga, mungkin ada
pengendara yang tidak sengaja menyenggol pengendara lain. Kemudian marah-marah
tidak terima. Bukankah hal seperti itu sudah tidak asing lagi di Negara ini?
Tapi dugaanku ternyata
salah. Suara keributan itu semakin mendekati tempatku memarkirkan motor. Ini
bukan suara marah-marah biasa. Ini seperti orang yang sedang orasi dengan geram
karena tidak ada yang mau mendengarkan dia bicara.
Semua kepala ‘penghuni’ sementara
flyover ini mulai menoleh. Semua
bertanya-tanya sebenarnya ada apa. Suara ‘orasi’ itu semakin lantang bertenaga.
“APA KALIAN SEMUA TAKUT
SAKIT KARENA AIR HUJAN?”
“APA KALIAN PIKIR AKAN
LANGSUNG MATI GARA-GARA HUJAN? ADUUUH BAPAK-BAPAK, SAUDARA-SAUDARA URUSAN
SAKIT, URUSAN MATI BISA DI MANA SAJA.”
Aku mengerutkan dahi.
Bertanya-tanya apaan sih maksudnya? Apa tiba-tiba digelar siraman rohani di
‘komplek’ peneduh ini? Aku membenak.
Saat itulah seorang laki-laki berusia sekitar
empat puluhan. Dalam keadaan basah kuyup, berjalan sambil teriak-teriak
menyampaikan keluhannya. Seolah ingin memberitahukan kepentingannya.
“BAPAK-BAPAK NGGAK TAHU
WAKTU PADA BERHENTI DI SINI. MEMBUAT MACET JALANAN. BAPAK-BAPAK NGGAK TAHU ADA
YANG HARUS SEGERA DI KUBURKAN. BAPAK-BAPAK NGGAK LIHAT ADA YANG HARUS SEGERA DI
BAWA KE KELUARGANYA.” Seorang laki-laki yang ‘berorasi’ itu memandang tegas
wajah-wajah ‘penghuni’ sementara flyover
satu persatu.
Demi menyaksikan itu semua.
Aku menelan ludah. Aku mengerti apa yang sedang terjadi. Ketika melihat sebuah
iringan mobil jenazah melewati kami semua. Lengkap dengan bendera kuningnya
yang sudah lusuh terkena air hujan.
Ternyata seorang laki-laki
yang tadi ‘berorasi’ putus asa melihat kemacetan Jakarta. Ditambah muak dengan
orang-orang yang berteduh sembarangan. Menghambat iringan-iringan. Termasuk
aku.
Sungguh aku tahu, kala
hujan turun. Benar-benar ada kepentingan masing-masing. Kepentingan yang boleh
jadi menghambat kepentingan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)