Jika sedang
malas bepergian, aku memilih menghabiskan akhir pekan dengan ‘rutinitas favorit’
di beranda rumah. Biasanya jika sedang bosan membaca, beralih dengan menulis.
Atau memilih opsi ketiga: berjam-jam menonton
ulang koleksi anime di laptop.
Es teh manis
yang kubuat satu jam lalu, sudah sisa separuhnya. Tapi kemajuan tulisanku masih
skak di paragraf pertama. Buyar.
Tidak ada ide sama sekali.
Tuk…. Tuk…
tuk….
Iseng aku
menjentakkan jemariku di atas meja. Mencari ide. Gregetan. Ayo apa saja yang bisa aku jadikan bahan tulisan.
Baru sadar
ternyata sekumpulan semut mulai mengerubuti kulanico[1],
semut itu kocar-kacir karena terusik oleh ketukan jemariku.
Seketika aku
tersenyum, mengingat banyak hal. Tepatnya teringat percakapan kita dua pekan
lalu. Ketika aku berkunjung ke rumahmu dalam rangka mengembalikan salah satu
koleksi bukumu yang aku pinjam. Aku ingat sekali, saat itu kamu sedang membaca
serial supernova: Gelombang. Karangan Dewi Lestari. - Salah satu penulis
favoritku kita.
Waktu itu
sebenarnya aku tidak ingin berlama-lama berada di rumahmu. –hanya mengembalikan
buku, tidak ada kepentingan lain. Tepatnya tidak ada ide, alasan apa yang bisa
membuatku lebih lama berada di sana.
Tapi hujan
tiba-tiba membuat ‘kepentingan’ itu ada. Berhubung aku tidak membawa mantel. Mau
tidak mau aku harus menunggu hujan reda.
Dan kamu tahu,
Fa. Ternyata hujan memang suka menahan seseorang ya. Seperti yang dikatakan
lagu-lagu tentang hujan itu. Rasa-rasanya aku perlu berterima kasih karenanya.
Hujan semakin
deras. Angin meniup daun-daun pohon rambutan yang tumbuh di halaman rumahmu.
Kita terjebak dalam suasana kaku di ruang baca. Lama tanpa ada yang memulai
percakapan. Kamu izin beranjak untuk mengambil air dan beberapa cemilan di
dapur. Sedangkan aku mulai memilah-milah buku di rak yang sedari tadi menarik
perhatian. Tentu saja koleksi bukumu banyak sekali.
Aku rasa
menunggu hujan reda sambil membaca tidak ada salahnya.
Beberapa menit
berlalu, kamu kembali dengan dua gelas teh hangat. Dan setoples wafer rasa
cokelat, cemilan kesukaan kita.
Satu menit
lagi berlalu. Kamu kembali menekuni bacaanmu sebelumnya. Aku melirik,
memperhatikanmu yang terlihat nyaman sekali membaca novel setebal 474 halaman itu. Ceritanya memang keren.
Karena aku sudah lebih dulu menamatkannya.
“Kenapa kamu
suka membaca?” aku iseng memulai percakapan.
Kamu menoleh
sebentar ke arahku yang langsung pura-pura melihat-lihat halaman buku yang
sedang aku pegang. Nibiru dan ksatria
atlantis: karangan Tasaro GK.
“Karena buku
mampu mencatat kenangan lebih abadi.” Katamu sambil membalikan halaman
berikutnya. “Kisah-kisah hebat. Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan. Dan apapun
yang tercatat di buku adalah kenangan masa lalu dari orang lain yang
menuliskannya pertama kali. Dan membaca membuat kita menemukan kembali kenangan
mereka itu secara utuh.”
Aku
mengangguk. Tanpa kamu melihatnya. Jawabanmu menarik sekali.
“Kalau kamu
kenapa suka menulis?” tanyamu kemudian.
“Eh? Aku?” aku
gelagapan tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan itu. Aku berpikir sejenak.
“karena….. suatu saat aku ingin tulisan-tulisanku itu ada yang membacanya.” Aku
berusaha memilah-milah kata-kata yang tepat. “Ummmm… walaupun yang baca cuma
satu orang sekalipun.” Setidaknya aku
tahu kamu suka membaca.
Semoga nada
suaraku terdengar normal-normal saja.
“Aku minum ya
teh-nya.”
Kamu menoleh.
Lalu mempersilakan dengan tersenyum. Entah ini efek gula dari teh-nya. Atau
memang senyummu saat itu manis sekali.
Fa, bicara
soal buku yang mengabadikan kenangan. Barangkali tidak hanya buku. Waktu, hujan
- yang waktu itu entah kenapa awet sekali. Dan bahkan kulanico dari dua cangkir teh hangat yang kamu hidangkan pun bisa
mengabadikan kenangan percakapan kita saat itu.
Seperti saat
ini, meskipun kita sedang tidak berada di ruangan yang sama sekalipun. Kenangan
itu tiba-tiba saja terbaca jelas dalam ingatanku.
Ah… rasanya
aku mendapatkan banyak ide untuk bahan tulisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)