Ini kisah sebatang pena yang mengutarakan
perasaannya lewat kata-kata. Di secarik kertas yang tidak pernah dibaca oleh
seseorang yang spesial di hatinya. Tentang kisah secarik kertas yang diam-diam
bahagia selalu dibubuhi kata-kata oleh sang pena. Meskipun ia tahu perasaan
yang tertulis di sana, sama sekali bukan untuknya.
Begitulah kisah ini dimulai,
dilatarbelakangi oleh kebiasaan yang terbentuk nyaman. Hampir setiap ada
kesempatan untuk menyapa, sang pena selalu merasa perlu berterus terang tentang
perasaannya. Tentang seseorang yang belakangan ini membuat hatinya berbunga-bunga.
Membuat pikirannya penuh oleh angan-angan cinta. Sang pena langsung saja
menumpahkan semuanya itu kepada sang kertas. Tanpa perlu bertanya lebih dulu
sang kertas siap menerimanya atau tidak. Karena ia tahu sang kertas selalu
bersedia mendengar celotehan rasanya itu, meskipun selalu membahas hal-hal yang
itu-itu saja.
Sebenarnya sang pena hanya sibuk berasumsi
tentang perasaannya. Menerka-nerka perasaan yang sedang berkunjung ke dalam
hatinya. Dari seseorang yang belakangan ini menarik perhatiannya. Atau
akhir-akhir ini seperti sengaja menampakkan diri, bermain-main di zona
rasa nyamannya. Ia sama sekali tidak ada keberanian untuk menanyakan kepastian.
Atau sekedar memberitahukan perasaannya itu.
“Ah itu mah perasaanmu saja.” Sang Kertas
berkomentar basa-basi.
“Aku takutnya begitu. Tapi aku terlanjur
nyaman dengan perasaan seperti ini. Tapi aku takut juga kalau ternyata.......
Ah sudahlah aku hanya ingin menikmatinya.” Sang Pena terus berceloteh,
mengagung-agungkan perasaannya. “Biarkan aku sekedar menikmatinya.”
“Asal jangan berlebihan.... kau tentu
sudah lebih berpengalaman. Aku hanya mengingatkan.” Sang Kertas bersimpati. Ini
bukan pertama kalinya Sang Pena bertingkah seperti ini. Dulu pun demikian
dengan akhir kisah yang sangat memilukan. Bertahun-tahun harus berjuang
melupakan.
“Iya aku tahu. Tapi.... rasanya yang kali
ini berbeda. Meskipun aku juga tidak ingin kembali terkurung di labirin rasa
yang sama seperti dulu. Tapi bagaimana ya.... aaaaaaaaaa...... sungguh biarkan
aku sekedar menikmatinya.”
“Semua orang punya kecenderungan membuat
luka. Terlalu beresiko. Aku hanya ingin kamu lebih tahu diri. Dan tidak
memaksakan keberuntungan.”
“Tentu.... aku tahu.... sungguh aku
tahu....”
“Sebegitu menyilaukannya kah dia di
matamu? Hati-hati yang terlalu terang cenderung bisa membutakan.”
“Dia memang terlalu sempurna untuk bisa
dilewatkan begitu saja. Aaaaaaaa.... Ini memang sudah keterlaluan pesoananya.”
“Itu hanya perasaanmu.”
Ini
kisah sebatang pena yang mengutarakan perasaannya lewat kata-kata. Di secarik
kertas yang tidak pernah dibaca oleh seseorang yang spesial di hatinya. Tentang
kisah secarik kertas yang diam-diam bahagia selalu dibubuhi kata-kata oleh sang
pena. Meskipun ia tahu perasaan yang tertulis di sana, sama sekali bukan
untuknya.
Begitulah kisah ini dimulai, kebiasaan itu
pun ternyata mulai berefek untuk Sang Kertas. Ia ikut berasumsi tentang
perasaan. Menerka-nerka bagaimana jika dirinya yang ditakdirkan menjadi
seseorang yang spesial di hati Sang Pena. Bagaimana perasaannya menerima
pengakuan sebesar itu? Yang setiap hari selalu menjadi topik yang dibicarakan
oleh Sang Pena. Ah mungkin akan sangat bahagia mendapat pengakuan rasa sebesar
itu.Atau jangan-jangan hal yang demikian justru malah membakar hangus dirinya.
Yang bukanlah siapa-siapa. Hanyalah secarik kertas yang kebetulan dipilih oleh
Sang Pena untuk tempat mengutarakan perasaannya. Rahasia hati yang sama sekali
bukan untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)