Aku masih tertahan di salah satu bank konvensional, menunggu antrian yang benar-benar panjang. Ah, seperti biasa bank rakyat satu ini memang terkenal leletnya dalam melayani nasabah. Sudah tahu nasabah banyak, tapi hanya mengandalkan dua teller saja. Apalagi kalau yang satu tiba-tiba istirahat pula.
Sudah dua kali aku menguap, mulai mengantuk. Iseng menedarkan pandangan, melihat puluhan nasabah yang bernasib sama. Mataku melihat ada anak kecil yang lucu menggemaskan, rambutnya dikuncir dua. Sibuk mengisap lolipopnya. Anak siapa ini? Di sebelahnya tidak ada orang dewasa.
Pertanyaanku barusan langsung terjawab, ketika seorang gadis sepantaranku berkerudung biru telur asin menghampiri anak kecil itu. Tepatnya mengambil dompet di tas yang berada di sebelah anak kecil itu.
"Sebentar ya dek jangan ke mana-mana. Tunggu kakak di sini." Ia berkata pelan tapi berhasil kutangkap dengan baik kata-katanya. Aku jadi tahu, gadis yang kini ikut menjadi perhatianku itu adalah kakak anak kecil itu. Ya mereka memang mirip. Sama-sama berwajah manis. Aku tersenyum.
Iseng aku pindah duduk berdekatan dengan anak kecil itu. Semoga saja kakaknya nanti tidak menduga hal-hal yang bukan-bukan. Mengira ada om-om yang mau menculik adik kecil, misalnya.
Demi menarik perhatian anak kecil itu, aku mengeluarkan brosur sepeda motor yang aku dapat tadi di lampu merah. Aku mulai membuat origami bangau. Setelah jadi aku serahkan kepada anak kecil imut itu.
Tangan mungilnya menerima antusias. Sama sekali tidak takut dengan kehadiran orang asing yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.
Aku tersenyum senang. Kembali melihat nomor antrian di layar LCD yang belum juga berubah angkanya.
"Om bisa buat kodok tidak?" tanya anak kecil imut itu mengembalikan perhatianku.
"Bisa dong. Tapi jangan panggil om dong, panggil kakak saja ya." aku merogoh kantung barangkali masih ada kertas yang terselip. "Sebentar ya kakak buat dulu."
Anak kecil itu mengangguk senang. Ah wajahnya memang menggemaskan sekali. Aku melirik sejenak kakaknya yang masih terlibat transaksi dengan teller 1.
Aku mulai melipat uang sepuluh ribuan karena memang tidak menemukan kertas lain.
"Nah kodoknya jadi, awas lompat ya." aku menyodorkan origami katak itu. Berbarengan nomor urut antrianku disebut. Ah, akhirnya.
Aku langsung beranjak bangun menuju teller 2. Sempat beberapa menit bersebelahan dengan gadis berkerudung biru telur asin itu. Ia melihat ke arahku, tepatnya menengok mungkin merasa aku perhatikan. Aku basa-basi tersenyum sedangkan ia memasang muka datar saja. Wajahnya kelihatan sedang pusing dan lelah.
Transaksiku pun di mulai. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Sedangkan menunggunya nyaris dua jam. Teller di sebelahku sudah berganti nasabah. Aku tak sempat memperhatikan gadis berkerudung biru telur asin dan adiknya yang imut itu pergi. Sebab teller terus mengajakku bicara, bertanya ini itu untuk menunjang proses transaksi.
Aku baru selesai menyetor uang. Memutuskan mencari kantin terdekat karena haus. Tiba-tiba pundakku disentuh seseorang dari belakang. Seketika aku menoleh penasaran.
"Eh maaf mas kalau tidak sopan."
Amboi, ternyata gadis berkerudung biru telur asin itu yang menegorku barusan. Tangan kirinya menuntun si kecil imut yang masih saja mengemut lolipop.
"Eh iya ada yang bisa saya bantu?" kataku membalas sapaanya.
"Ini cuma mau mengganti uang mas yang tadi dipakai untuk membuat origami." Rupanya gadis itu sengaja menungguku keluar dari bank, setelah mendengar cerita dari adiknya yang tiba-tiba punya dua bentuk origami yang salah satunya terbuat dari uang sepuluh ribuan.
"Oh itu nggak apa-apa untuk jajan adik imut aja." aku menolak uangnya.
"Jangan begitu mas biar aku ganti saja uangnya." gadis itu merasa keberatan.
"Begini saja, bagaimana kalau mbak traktir minus saja dikantin. Kebetulan saya sedang haus." tiba-tiba terbesit ide itu di kepala. Ah semoga saja ia mau, kan jadi bisa mengobrol lebih lama dengannya.
"Aduh jangan panggil mbak. Panggil saja Rinai. Boleh kalau begitu." katanya sambil memperkenalkan diri.
"Saya Deras tidak pakai mas." kataku bergurau. "Kalau adik imut ini namanya siapa?" aku berjongkok mengusap lembut rambut adiknya.
"Afika om."
Waduuh om lagi. Gadis itu tertawa mendengar aku dipanggil om. Sekilas gigi kelincinya terlihat membuat tambah manis saja.
Kami pun berjalan menuju kantin terdekat. Memulai banyak obrolan seru tentang buku. Ah ternyata ada hikmahnya juga mengantri lama sampai berjam-jam. Rasanya aku perlu berterima kasih dengan bank itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)