Waktu itu, saat rembang petang.- waktu
kira-kira pukul lima. Aku dengannya menikmati sepotong sore, berbaring
merumput, memandang petala langit. Awan-awan sedang sangat cerah, tidak nampak tanda-tanda
akan hujan. Sudah lama kami tidak meluangkan
waktu bersama seperti ini. Tepatnya, ia baru saja kembali. – Menyapa sepi.
“Dua hal yang membuat seseorang
kembali, rindu atau sepi. Kalau kamu yan g mana?” Ia membuka obrolan, setelah
lebih dari lima belas menit kami hanya saling diam. Menikmati semilir angin
yang entah kenapa sore ini benar-benar sedang nyaman sekali. Tidak mengusik,
tidak pula membuat kantuk. Sejuk rasanya. – sampai ke hati.
“Naluri.” Kataku tanpa
mengalihkan pandangan. Tetap fokus memperhatikan wajah langit.
“Maksudmu?” Ia mengubah posisi
pandangannya, menoleh ke arahku.
“Kebutuhan nalurinya yang
mendorong ia untuk kembali.” Akupun merasa perlu menoleh ke arahnya.
“Tergantung niatan.” Ia kembali
memandang langit.
“Naluri nggak tergantung apapun,
mengalir spontanitas. Misalnya seorang ibu yang reflek menyambar tangan anaknya
yang hampir terjatuh.” Kataku ikut kembali memandang langit.
Ia terdengar menghela napas. “Campur
tangan Allah yang menggetarkan hatinya.”
Aku mengangguk setuju masih tanpa
menoleh.
Lengang sejenak tanpa ada lagi
percakapan. Beberapa burung melintas di atas kepala kami, mungkin akan kembali
ke sarang. – entah burung apa namanya.
“Bagaimana keadaan hatimu sudah
membaikkah?”
“Sedikit lagi.” Aku menelan
ludah, kenapa harus pertanyaan itu? Tak bisakah kesempatan ini tidak menyingung
dulu soal itu. Aku sedang ingin menikmati kebersamaan tanpa harus mengungkit
masa lalu.
“Ah kok sedikit, bukankah
seharusnya sebentar?”
“Bedanya apa?” Aku menoleh ke
arahnya.
“Ya beda kalau menurut aku.”
“Mungkin….” Aku kembali memandang
langit. “Sedikit itu soal jumlah. Sedangkan sebentar soal waktu. Kalau jumlah,
manusia bisa sedikit lebih memperkirakan, dari melihat sisa yang ada. Kalau
waktu, mana ada kuasa soal itu. Bisa saja menurut kita sudah sebentar lagi,
tapi kenyataan takdirnya lain?”
“Ah lagi-lagi dengan jawaban yang
rinci. Nggak pernah berubah ya, kamu tambah bijak.”
“Sayangnya kali ini aku tidak
berhasil bersembunyi dari kata-kata bijak.” Kataku lirih berharap ia tidak
mendengarnya.
“Maksudmu?”
“Ah tidak. Aku hanya bersyukur
kita masih punya waktu luang yang sama.” Aku menghela napas.
“Jadi intinya ini tentang
kesempatan.” Ia memejamkan mata.
“Aku lebih setuju tentang naluri.”
Aku ikut memejamkan mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)