Saat itu hujan turun sejak petang hingga menjelang Maghrib. Beberapa laki-laki yang berazam bahwa akan lebih utama shalat berjamaah di masjid, tetap berduyun-duyun menujunya. Tidak peduli sepanjang jalan baju taqwa mereka tampias karena hujan. Sarung mereka harus digulung menghindari kecipak air menggenang. Mereka tetap melaju memenuhi seruan muadzin. Bersimpuh berserah memenuhi panggilan Tuhan.
Dan ketika memasuki rakaat kedua, hujan mulai berhenti digantikan oleh aliran listrik padam. Shalat harus tetap berlanjut dalam kegelapan. Makmum tetap patuh pada imam. Tetap berkosentrasi agar tidak menyalahi gerakan.
Lampu baru menyala kembali saat imam menyeru mengucapkan salam yang pertama. Keselamatan untukmu. Diikuti serentak oleh makmum.
Saat itulah segerombol laron-laron mulai mendatangi ruang utama masjid. Terbang berseliweran mengitari cahaya lampu. Mereka menyerbu satu-satunya cahaya yang masih tersedia di rumah Allah itu. Sebab rumah-rumah penduduk setempat sudah kompak gelap gulita.
Saat itulah terdengar dua ekor laron berdiskusi. Tepatnya satu tengah mengeluh, satunya lagi mencoba menasehati.
"Hei, murung sekali wajah kau sobat? Ayolah bersemangat sikit. Selagi cahaya masih tersedia di ruangan ini." ujar laron pertama ketika melihat laron kedua nampak tidak bergairah sama sekali.
"Untuk apa sih kita terlihat bodoh seperti ini? Selalu mengejar-ngejar cahaya hingga tidak ada satupun yang tersisa. Hanya untuk menjemput mati." laron kedua mengeluh bernapas. Beberapa laron-laron lain sudah kehilangan sayapnya. Bersamaan dengan marbot masjid mulai mematikan saklar lampu ruangan. Dan menggantinya dengan cahaya lilin.
"Ah kau macam tak miliki iman saja. Itu memang sudah takdir bangsa kita. Tapi setidaknya kau tahu satu hal, meski usia kita hidup di dunia ini hanya sekejab saja. Setidaknya di akhir hayat kita masih cenderung mengikuti cahaya. Meskipun itu redup kita masih menjadi segelintir yang mengitarinya. Kau perlu bersyukur atas anugerah itu." laron pertama berkata panjang lebar.
Laron kedua menelan ludah. Ada yang bergetar hebat di hatinya. Cahaya yang tadinya mulai redup di hatinya, nasihat laron pertama itu seperti pematik yang berhasil membuat cahaya itu tetap menyala.
"Lah kau malah melamun macam laron kesambet jin lampu ajaib saja." laron pertama bergurau. "Ayo lekas terbang kita harus tepat waktu mengitari cahaya lilin itu. Cahaya terakhir yang ada di ruangan ini. Sebelum benar-benar padam. Beruntung sekali aku malam ini. Setidaknya ajal menjemput ketika aku berada di rumah Allah. Masih sempat memandang cahaya-Nya."
Laron kedua beranjak bangun dengan pemahaman yang lebih baik.
Seperti itulah kisah segelintir laron yang cenderung selalu menuju cahaya. Layaknya umat islam pada akhir zaman. Semoga kita termasuk segelintir ummat yang terasing, tetap berduyun-duyun memegang teguhnya iman. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)