Kala remang petang, sebuah meja bundar di area dapur rumah sedang ramai oleh semut-semut yang bekerja. Mereka baru saja dapat makanan tambahan. Tadi anak usia lima tahun di rumah itu tidak sengaja menumpahkan sesendok gula ketika menaburi roti tawar yang dibubuhi juga dengan keju. Meninggalkan kaleng berisi gula pasir yang masih terbuka.
Tidak berselang lama Komandan semut menerima laporan dari petugas pencari makanan perihal insiden itu. Komandan tidak mau membuang-buang waktu, mulai mengintruksikan semua prajuritnya untuk menuju ke lokasi kejadian.
"Lekas kerja.... Kerja... Sebelum matahari terbenam." seru komandan semut dengan suara bertenaga.
Terlihat barisan prajurit semut mulai mengular. Setiap kepala berkewajiban memanggul butiran-butiran gula pasir itu.
"Ingat, pantangan para tetua desa. Cukup ambil yang berserakan di luar. Kita tidak boleh sama sekali mengambil yang masih berada di bangunan itu." komandan semut menunjuk toples gula tanpa tutup. Di mata mereka itu tinggi sekali. Tidak mustahil memang untuk mereka gapai, tapi belakangan ini tetua desa berwasiat tidak boleh sembarang mencari makanan di sumber yang berbahaya.
"Hei kau, berjalannya cepat sikit jangan macam bayi baru belajar merangkak kau." hadrik komandan semut melihat salah satu prajuritnya sedikit malas-malasan.
Meski mengkal dibilang seperti bayi. Prajurit itu langsung memperbaiki kinerjanya. Tahu diri tidak memiliki wewenang untuk membantah komandan semut.
"Jangan diambil hati kawan." satu temannya mengiringi langkah prajurit yang ditegor tadi. Mencoba membesarkan hati. "Aku perhatikan, hari ini kau memang tidak bergairah sekali. Ada apa kawan?"
"Entahlah, tiba-tiba saja aku merasa lelah sekali." prajurit itu menghela napas panjang. Sepertinya butiran gula yang sedang ia panggul memang lebih terasa berat hari ini.
"Ah, kau sakit kawan? Kenapa kau tak izin saja."
"Tidak, aku sehat. Hanya merasa lelah saja." prajurit itu memperbaiki posisi barang yang ia bawa agar lebih nyaman. "Kau tidak merasa jenuh dengan rutinitas ini?"
"Kenapa merasa jenuh kawan? Ini memang sudah tugas kita. Toh memang untuk kebaikan kita juga."
Prajurit itu terdiam.
"Aku beritahu kau satu hal, setiap hari apa yang telah kau upayakan. Jerih payah yang kau perjuangkan. Segala bentuk kerja keras itu, pastikan ada orang yang selalu akan menghargainya kawan. Dengan begitu kau tidak akan mudah jenuh."
Prajurit itu mengerutkan dahi. Justru dia merasa lelah karena merasa tidak ada yang menghargai kerja kerasnya selama ini. Kawan prajurit itu seperti menangkap ketidakmengertian kawannya itu.
"Orang yang aku maksud adalah diri kau sendiri, kawan. Minimal diri sendiri harus menghargai jerih payahmu itu. Dengan cara apa? Dengan tidak mudah mengeluh. Sebab ketika kau mengeluh kau sendiri yang menghambat jerih payahmu sendiri dalam berusaha. Kau akan merasa mudah lelah dan jenuh. Kalau anggapan orang lain peduli amat. Dihargai atau tidak kita tetap harus bekerja keras kan?"
Prajurit itu menelan ludah. Perkataan kawannya itu ada benarnya.
"Sudahlah, kudengar malam ini ada pesta. Jadi bersemangatlah kau sikit."
Prajurit itu mengangguk. Perjalanan mereka hampir sampai.
"Menurutmu, kenapa tetua desa melarang kita untuk mengambil makanan dari sumbernya? Kau lihat sendiri kan bangunan tadi berisi banyak sekali butiran gulanya. Itu persediaan yang akan sangat cukup untuk koloni kita."
"Apa kau tidak ngeri melihat media masa pagi ini? Banyak saudara-saudara kita yang tewas mengenaskan karena tertimbun butiran gula di bangunan yang mirip bangunan yang kita lihat tadi? Aku merinding melihatnya."
"Iya sih, tapi kan prajurit-prajurit kita jauh lebih berani dan pengalaman."
"Soal itu tidak perlu dipersangsikan lagi. Sejarah mencatat bangsa kita mampu memindahkan makanan seberat apapun ke dalam sarang. Kerjasama tim kita jelas-jelas teruji. Soal berita yang menewaskan saudara-saudara kita itu memang sudah nasibnya. Tapi aku simpatik dengan kebijakan tetua kita hari ini."
"Maksudmu?"
"Ya, seakan kita diingatkan untuk hidup tidak berlebihan. Sekiranya makanan yang kita peroleh hari ini cukup itu sudah lebih dari cukup. Tidak perlu mengambil semuanya. Toh apa-apa yang berlebihan tidak baik. Perut kita juga tidak akan menampung makanan sebanyak itu."
Prajurit itu mengangguk paham mendengar penjelasan kawannya.
"Satu hal lagi kawan, kalau kita serakah mau mengambil semuanya, apa bedanya bangsa kita dengan qorun?"
"Iya kau benar."
"Mari kita bergegas kawan, aku tidak mau disamakan dengan bayi yang baru merangkak." kawan prajurit itu menyeringai. "Tapi aku rasa orang itu berlebihan menyindirmu tadi. Macam komandan tak pernah jadi bayi saja."
Keduanya tertawa memasuki sarang.