Kala petang. Ketika yang lain
sedang berduyun-duyun mulai memasuki sarang. Dua ekor semut hitam terlihat
sedang bermalas-malasan di tepian dahan pohon rambutan. Tidak memedulikan
langit yang sudah mulai gelap. Desiran angin meniup ujung-ujung daun. Menerbangkan
daun-daun kering yang sudah lepas dari tangkainya.
“Sedang
memikirkan apa, Ka?” seekor semut betina basa-basi memulai percakapan.
“Oh…
kamu, Dit.” Jawab Mu. Sambil mengusap ujung antenanya yang terkena debu. “Sedang
iseng mengingat masa lalu.”
“Ka
boleh bertanya sesuatu?” Ujar Dita ragu-ragu.
“Asalkan
bukan hitung-hitungan angka. Boleh laah.” Jawab Mu bergurau.
“Kenapa
sih perasaan itu bisa begitu rumit?” Dita merapikan ujung rambut yang menutupi mata.
“Wah
ini sih lebih rumit dari angka-angka.” Mu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Dita terlihat
merengut.
“Umm… karena
hati kita terlanjur mengharapkan yang baik-baik. Menanti-nanti yang
pasti-pasti.”
Dita
mengerutkan dahi. Tidak begitu mengerti.
“Padahal
perasaan itu kan sama halnya dengan kita sedang menduga-duga. Mencocok-cocokan.
Mengkait-kaitkan ini dengan itu. Kadang malah memaksa-maksa. Perasaan itu lebih
banyak menuntutnya. Daripada menerima.”
“Terus
apakah ada perasaan yang tidak lagi rumit, Ka?” Dita iseng memetik bunga
rambutan. dan mengurainya sedikit-sedikit. Putik-putik bunga itu terbang
bersama angin.
“Perasaan
yang tidak lagi rumit. Mungkin kita bisa sebut dengan jodoh. Tetap sesuai
dengan takdirnya. Mengikuti catatan
ketetapannya. Tidak lagi harus menduga-duga. Tidak lagi perlu memaksa-maksa. Tidak
lagi sibuk mencocok-cocokan. Kalau sudah jodohnya siapa yang bisa
menghalang-halangi, kan? Mungkin saat itulah perasaan itu sudah tidak rumit
lagi. Ibaratnya mah dua perasaan yang tadinya rumit pada akhirnya saling bertemu.
Klop deh."
Dita
mengangguk mengerti. “Apa karena pemahaman itu, kak Mu terlihat tetap
senyum-senyum saja melihat sang ratu dengan jodohnya hidup bersama. Ups! Maaf tidak
bermaksud mengingatkan.” Dita salah tingkah merasa tidak enak.
“Bisa
jadi begitu. Bisa juga tidak.” Mu tertawa, mengingat kepingan masa lalu. Kenangan
manis bersama sang ratu, semut betina cantik jelita yang dulu pernah menjadi
kekasih hatinya. Beberapa bulan lalu akhirnya resmi dipersunting oleh jodoh
sang ratu yang sebenarnya. Semut hitam dari koloni yang lain. Mu memang merasa
senang melihat sang ratu terlihat bahagia menjalani masa depannya. Kedua pasangan
itu sering mesra terlihat selalu jalan berdua. Ketika menuju sarang. Sedang mengumpulkan
makanan untuk persiapan musim hujan. Dan kegiatan-kegiatan bangsa semut hitam
lainnya. Dan Mu mengabadikan senyum sang ratu kala itu dengan bahagia.
“Kak,
kok malah bengong sih.” Protes Dita yang lama tidak ditanggapi pertanyaanya.
“Eh
maaf.” Mu merasa bodoh karena malah melamun. “Jatuh cinta itu pemberian, Dit. Sedangkan
patah hati adalah pilihan.”
Dita
menyimak antusias.
“Kamu
bisa terus tetap cinta, tanpa perlu merasa patah hati ketika sudah tidak
bersama seseorang yang kamu cintai sekalipun.”
“Bukannya
patah hati itu sakit ya, Ka?”
“Tentu
saja. Sakitnya tidak bisa disembunyikan. Tapi kan kita selalu bisa memilih. Lebih
tepatnya harus selalu mau memilih. Memilih merayakan patah hati itu dengan
sikap seperti apa. Dengam bersedih? Galau? Uring-uringan? Sakit-sakitan? Itu semua
pilihan yang memang masuk akal. Sesuai dengan situasinya.” Mu menghela napas
sejenak.
“Memilihnya menerima
dengan lapang dada. Dengan mencoba ikut merasakan bahagia. Mulai belajar
melepaskan. Itu bentuk pilihan yang lain. Memang sih jauh dari masuk akal. Tapi
layak juga dicoba. Butuh waktu yang panjang memang. Tapi ka Mu akhirnya
mengambil resiko untuk mengambil pilihan yang tidak masuk akal itu. Ka Mu
memilih merayakan patah hati dengan menerima. Belajar lebih bijak menerima
perasaan cinta yang datang itu. Dan mencoba memberinya dengan ketulusan.”
Mu tersenyum.
Dita menatapnya tidak percaya.
“Menurut ka Mu. Pilihan
itu tidak buruk-buruk amat. Alih-alih perasaan ka Mu jadi jauh lebih ringan. Ya
sudah tidak kusut-kusut amat lah.” Mu menyeringai.
Dita tertegun. Semua
yang dikatakan Mu terdengar tidak mudah untuk dilakukan. Dita bertanya-tanya
hal berat apa saja yang telah membawa Mu sampai pada titik ini.
“Kenapa kamu
tiba-tiba bertanya hal ini?” Tanya Mu ketika melihat Dita tampak cemas. Seperti
sedang memikirkan banyak hal.
“Aku sedang
menunggu kepastian seseorang, Ka. Entah sampai kapan.” Dita menghela napas
panjang.
“Jika memang jodohmu.
Biarkan dia yang bergerak maju. Kalau bukan, belajar lebih mengikhlaskan.” Mu
menepuk bahu Dita. “Ayo sudah waktunya kita masuk sarang.”
Dita mengangguk.
Mengikuti langkah Mu.
“Kak, apa semua semut
jantan begitu?”
Mu mengangkat
bahu.
Ps : Mudita
(perasaan bahagia melihat kebahagiaan orang lain)
Cerita fabel yang menarik. Menyampaikan perihal jodoh dg cara lain, fabel.
BalasHapus