“Jika sudah lima yang kau
tunaikan, tambahkan dua.”
Begitu nasihat ibuku jika aku
hendak kembali merantau. Sejak kecil aku memang sudah terbiasa jauh dari orang
tua. Ngekost di kota lain di luar tempat kelahiranku. Aku suka berpetualang
mencari tempat baru, suasana dan segala macam pengalaman yang membuatku
antusias. Karena itulah aku memilih sekolah jauh dari rumah sejak sekolah
dasar. Dan sejauh ini orang tuaku tidak keberatan. Mereka percaya aku bisa jaga
diri.
Aku mengangguk, menyelesaikan
tali sepatu kemudian menghampiri ibuku untuk mengecup telapak tangannya. Kelopak
matanya basah. Selalu begitu jika aku sudah harus berpamitan lagi.
Ibu tidak menasihatiku
macam-macam, seperti jaga pergaulan, cari teman dan lingkungan yang baik dan
sebagainya. Pesan ibu hanya kalimat sederhana, “Jika sudah lima yang kau
tunaikan, tambahkan dua. Biasakan tujuh itu jadi kebutuhanmu sehari-hari.”
Ya, sederhana ibu hanya
mengingatkanku untuk selalu menjaga shalat lima waktu di manapun aku berada.
Dan berpesan agar aku selalu menyempatkan waktu untuk menambah dua hal lagi.
Tahajud di sepertiga malam dan Dhuha ketika matahari mulai naik tujuh hasta
sejak terbitnya. Itulah tujuh waktu yang awalnya seperti kewajiban rutin yang
harus aku lakukan tiap harinya, dan lama-lama menjadi kebutuhanku sendiri. Seperti
kata ibu.
Sewaktu umurku masih lima tahun
aku pernah menanyakan alasannya. Kenapa kita harus shalat, kenapa harus bangun
sebelum shubuh. Ibuku menjelaskan, sembari memakaikan seragam sekolahku. Ibuku
paham, jika aku harus mengerjakan sesuatu, aku harus tahu lebih dulu alasannya.
Katanya,
“Jika kamu sudah besar nanti,
kelak kamu akan paham kalau shalat itu bukan sekedar rutinitas seorang muslim. Shalat
adalah cara seorang hamba bersyukur dan meminta perlindungan Allah.” Ujar ibuku
sembari mengancingkan bajuku.
“Misalnya shalat shubuh, kenapa
kita harus buru-buru bangun pagi-pagi sekali yang bahkan matahari pun belum terbit
untuk menunaikan shalat dua rakaat. Itu cara kita menyiapkan diri, jiwa dan
raga untuk menghadapi kehidupan satu hari ke depan. Karena kita tidak tahu akan
ada apa saja selama dua puluh empat jam ke depan. Bayangkan kalau orang bangun
tidur langsung kerja, beraktivitas. Pasti rasanya malas sekali. Tapi dengan
kita shalat pikiran kita akan lebih segar, raga kita akan lebih siap. Pagi-pagi
sekali kita sudah terbasuh air, menghirup udara segar. Berkonsentrasi untuk
sepenuh jiwa menghadapNya. Berdoa untuk meminta kemudahan. Insya Allah kalau
kita melakukan shalat shubuh secara teratur –tidak kesiangan terus. Langkah
kita akan lebih ringan, karena sudah sadar sepenuhnya. Sadar dari kematian
sementara yang kita kenal dengan tidur, sadar bahwa kita sudah diberi
kesempatan kembali hidup. Kamu ingat doa bangun tidur kan? Sering baca
terjemahnya juga kan?”
Aku mengangguk, sambil kedua
lenganku berpegangan pundak ibu karena harus mengangkat kaki kiri untuk memakai
celana.
“Seperti itu juga empat shalat
wajib lainnya, masing-masing memiliki manfaat bagi yang mengerjakannya. Pengetahuan
kita saja yang masih terbatas. Kalau sudah besar kamu nanti jauh lebih paham
dari ibu.”
Sampai usiaku sembilan tahun, aku hanya mengerjakan shalat lima waktu. Belum terlalu diperkenalkan dua shalat sunnah tambahan itu. Sama akupun menanyakan alasannya. Waktu itu aku sedikit jengkel karena sedang asyik bermain gundu, tiba-tiba aku disuruh pulang dulu karena harus mulai belajar membiasakan diri shalat Dhuha.
Sampai usiaku sembilan tahun, aku hanya mengerjakan shalat lima waktu. Belum terlalu diperkenalkan dua shalat sunnah tambahan itu. Sama akupun menanyakan alasannya. Waktu itu aku sedikit jengkel karena sedang asyik bermain gundu, tiba-tiba aku disuruh pulang dulu karena harus mulai belajar membiasakan diri shalat Dhuha.
“Kebutuhan manusia itu banyak,
tidak bisa seratus persen kita bisa berusaha memenuhinya. Untuk saat ini, itu
cukup jadi alasan buatmu mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat. Catat di hatimu,
Dhuha lah caramu meringankan kebutuhanmu yang tidak bisa kamu penuhi secara
sempurna. Dhuha penyeimbang usaha-usaha yang sedang kamu lakukan. Berharaplah diberi
kemudahan, selalu diberi jalan terang. Cukup itu dulu yang jadi alasannya,
pelan-pelan ketika kau sudah rutin mengerjakannya, ibu yakin kamu akan
menemukan alasan lain. Kamu akan pahami dengan sendirinya.
Sedangkan untuk Tahajud, baru
belakangan ini aku tahu alasannya kenapa ibu menasehatiku untuk selalu bangun
di sepertiga malam. Waktu masih sekolah aku jarang sekali bangun untuk shalat
Tahajud, karena di sekolah aku pasti menguap karena mengantuk. Makanya untuk
shalat malam ini, dalam sebulan bisa dihitung dengan jari. Hingga setelah kerja
inilah pemahaman itu mulai datang membawa alasan-alasan yang jiwaku
menerimanya. Ternyata aku memang membutuhkan shalat malam itu, membutuhkan
tempat untuk berkeluh kesah setelah seharian disibukkan dengan rutinitas yang
monoton. Membutuhkan waktu sendiri dalam sepi untuk perenungan, untuk
menyejukkan jiwa-jiwa yang mulai lapar oleh basuhan rohani. Dengan Tahajud jiwa
manusiaku kembali kepada fitrahnya, sebagai seorang hamba. Dialog diri sebagai
seorang hamba itu yang membantuku kembali ke tujuan semula aku merantau di bumi
ini. Setelah seharian penuh aku dibutakan jalan oleh dunia.
Dalam perjalanan kembali ke
kosanku, aku mengingat kembali pesan sederhana ibu. “Jika sudah lima yang kau
tunaikan, tambahkan dua.”
Lagi-lagi aku mengangguk meski
jarak ibu sudah berkilo meter di belakang. Mengangguk seolah ibu sedang berada
di depanku seperti ketika waktu kecil dulu. Akan
selalu aku usahakan menunaikan yang tujuh ini, sesibuk apapun itu. Aku
bertekad.
Dalam sekali maknanya, tiang dunia akhirat.. Semoga Ibunya sentiasa diberi berkah yg berlimpah Aamiin..
BalasHapusAamiin ya Rabb untuk ibumu juga. Tapi ini fiksi :)
HapusAlhamdulillah hirrabil alamin
BalasHapusAlhamdulillah :)
Hapus