Sudah sepuluh tahun aku bersahabat dengannya, masih tidak percaya
jalinan itu diikat dengan hal yang lebih serius. Pernikahan.
Aku dan Ra’ sudah bersahabat
sejak zaman SMP. Tidak ada yang terlalu spesial dengan kisah persahabatan kami.
Sekedar dua anak remaja yang suka tukar-tukaran mengerjakan PR di sekolah. Aku
lemah di pelajaran IPA dan ia tidak terlalu suka pelajaran bahasa. Bisa dibilang
awal terbentuk persahabatan itu tidak benar-benar tulus, ada kepentingan
terselubung di sana.
Hampir setiap minggu aku main ke
rumahnya untuk menukar lembar jawaban tugas sekolah. Dan kebiasaan itu terus
berlanjut hingga kami sama-sama sudah kuliah di kampus berbeda. Meski bukan lagi
karena tugas sekolah. Aku memang senang kerumahnya, orang tua Ra’ sangat
menyenangkan. Ditambah masakan ibunya yang sayang sekali kalau dilewatkan.
Aku dan Ra’ memiliki sifat
seperti bumi dan langit. Banyak sekali perbedaan di antara kami. Satu hal yang
mungkin sama payahnya, kami sama-sama memiliki rahasia ‘diam-diam sedang
menyukai seseorang’. Ya, kami termasuk golongan screat admirer, si penatap punggung seseorang. Ra’ mengaku sedang
diam-diam menyukai teman kampusnya. Aku pun sedang tertarik dengan salah satu
teman perempuannya Ra’. Sedangkan di antara kami berdua tidak pernah
menyinggung soal cinta. Kami murni hanya bersahabat.
Sampai pada malam itu, aku ingat
sekali jam delapan. Aku mengantar Ra’ pulang. Kami baru dari resepsi pernikahan
salah satu sahabat Ra’. Dan ketika hendak pamit pulang, tiba-tiba ayah Ra’
menanyakan sesuatu yang membuatku terkejut.
“Kalian berdua kapan mau menikah?”
Aku dan Ra’ reflek saling
pandang-pandangan. Aku mengerutkan dahi, sedangkan Ra’ langsung tertunduk. Malam
itu untuk pertama kalinya aku memikirkan ulang ikatan persahabatan ini.
Merenungkan apa perasaanku sebenarnya kepada Ra’.
Malam itu, 10 jam ke depan aku menimang-nimang
hati ini. Dan pukul enam pagi akhirnya memutuskan sesuatu. Aku memberanikan
diri melamarnya.
Melamar sahabat yang aku kenal 10
tahun lalu bernama Ra’.
***
Sepuluh hari berlalu setelah akad
pernikahan, aku masih tidak percaya pada akhirnya kami mengisi hari-hari di
bawah atap yang sama. Tidak ada yang berubah dengannya.Tidak ada yang berubah
dari kami. Kami masih menjunjung tinggi perbedaan sifat-sikap masing-masing. Termasuk
soal selera. Meskipun kami tahu harus sama-sama belajar beradaptasi, mencoba
melebur perbedaan itu agar tetap seimbang pada tempatnya. Tanpa menghilangkan
kenyamanan masing-masing dengan tetap menjadi diri sendiri.
Contoh sederhananya. Ra’
penggemar masakan pedas, tapi tidak terlalu suka dengan yang manis-manis. Sedangkan
aku tidak pernah bisa memakan yang pedas dan paling suka dengan makanan manis.
Ra’ pandai sekali menyikapi hal ini, ketika memasak ia selalu membagi dua bumbu
yang berbeda. Sesuai dengan selera lidah kami masing-masing. Katanya, biarpun selera
lidah kita berbeda, tapi lauknya tetap bisa sama. Dan aku mengacungi jempol
bangga atas idenya itu.
Itulah kisahku dengan sahabatku
Ra’ Dan aku mencintainya se jelas ujung lidah mengecap rasa manis.
huiiiiii dari sahabat jadi keluarga #uhuk...
BalasHapusarghhhh lama gak main kesini... hihiyy
bangg mau nanya" ni tapi fb lagi mati... emailiin no bang ujay pake j dong ke lainilaitu@gmail.com..
sankyuuuu
wahh, eksis banget nih Bang Uz. saya nggak kesini karena artikel Bang Uzay nggak tampil di daftar bacaan saya deh. koq bisa ya.
BalasHapus