Banyak yang menjuluki ia adalah
manusia kaku. Manusia yang direpotkan oleh peraturan yang dibuatnya sendiri.
Meskipun perlu juga diakui ia adalah manusia yang perjalanan hidupnya terencana
dengan baik. Lebih baik dari siapapun.
Aku salah satu orang yang
mengenalnya dengan jauh lebih baik, bukan dari sisi yang menjulukinya kaku.
Tapi dari sisi yang pergerakannya selalu terencana. Aku tahu salah satu
kebiasaanya, ia selalu menyempatkan diri menulis point-point penting yang akan
ia kerjakan besok, sebelum tidur. Baginya itu adalah jadwal kedisiplinan bukan
sekedar oretan pengingat.
Secara garis besarnya, ia harus
sudah tidur pada jam sekian-sekian. Harus bangun tepat waktu di jam
sekian-sekian. Lalu harus mengerjakan ini-itu sampai jam sekian-sekian. Bla bla
bla sampai catatan pada malam hari ini tercontreng sempurna. Itulah kebiasaan
uniknya. Itu untuk jangka waktu yang pendek. 24 jam. Lain hal kalau menyangkut
rencana seminggu ke depan, sebulan ke depan, se tahun ke depan. Harus mencapai
ini di usia segini, harus sudah punya ini ketika usia beranjak sekian. Catatan
itu lengkap tersimpan di file
pribadinya.
Sejauh ini ia mengaku
kebiasaannya itu sangat membantu ia mencapai apa yang sudah menjadi targetnya.
Minimal mengurangi intensitas kegagalan. Sebagai alarm untuk dirinya sendiri.
Meskipun ya itu, ia menjadi pribadi yang kaku. Seolah ada yang mengawasi dan
memarahi jika ia sampai ia terlambat melakukan aktivitas berikutnya.
Pernah kami janjian makan malam
bersama di luar kantor. Ada sekitar lima orang teman lain yang ikut. Malam itu
kebetulan ada yang baru promosi jabatan. Hingga ia yang ditodong untuk
mentraktir kita-kita. Setelah makan kami tidak langsung pulang,
mengobrol-bergurau sampai tidak ingat waktu. Tiba-tiba si temanku yang kaku itu
berdiri pamit duluan. Katanya dia harus bergegas pulang karena sudah terlambat
lima belas menit untuk tidur. Kami semua menggelengkan kepala, sampai segitunya. Meskipun mau tidak
mau menganggukkan kepala. Setuju ia pulang duluan.
Di hari minggu tidak terlalu
padat aktivitasnya. Semalam ia sudah menulis sembilan point yang akan ia
kerjakan/temui/kunjungi hari ini. Start
jam enam teng, finish jam sembilan
malam. Salah satunya, ia sudah janjian akan ketemu sahabat lamanya di salah
satu kafe jam sembilan pagi. Itu point ke tiga yang harus ia selesaikan hari
ini. Berarti masih sisa enam point kegiatan yang menanti.
Jam sembilan kurang sepuluh menit
ia sudah sampai di kafe yang sudah ditentukan. Sengaja datang lebih awal, ia
harus menyelesaikan tulisannya lebih dulu sebelum bertemu dengan sahabatnya
itu. Ya di sela-sela waktu senggang ia memang berusaha menyempatkan waktu untuk
menulis.
Pukul sembilan lewat lima belas,
yang ditunggu belum juga muncul. Mungkin macet, ia berasumsi sembali menyeruput
es teh manis yang tinggal setengah gelas. Kembali ia menekuri tulisannya.
Malang bukan kepalang. Si manusia
kaku ini memang lihai mengatur waktu harus ini itu dan sebagainya. Tapi tetap
saja ia juga memiliki kelemahan. Salah satunya rasa kecewa. Sudah satu jam
berlalu dari jadwal yang ditentukan, sahabatnya yang ditunggu tidak kunjung
datang. Padahal ia sudah memiliki harapan besar untuk pertemuan hari ini. Dan
selanjutnya bisa ditebak, dengan tidak jadinya pertemuan itu, dengan rasa
kecewa yang baru saja terbentuk di hatinya. Jadwal enam point ke depan sudah
pasti berantakan. Ia sudah tidak selera untuk melanjutkan aktivitasnya. Memilih
pulang dan tidur seharian.
Hahahaha
BalasHapussedang membicarakan diri sendiri ya? ;p
Lho? ini kan sengaja menceritakan kamu :P
HapusHm.. aku rasa cerita ini kamu sekali.
HapusAku tidak mungkin berbuat begini
Haha
aku peninjau!
Hapussudut pandangnya aku. dan aku adalah aku yang adalah orang pertama tahu segala.
cupicupi lamki