Tidak terasa waktu sudah hampir
Dzuhur, sebentar lagi mobilku sudah memasuki pelataran masjid yang menjadi
tujuanku berikutnya. Suara adzan menggema, ketika hendak mengambil wudhu
tiba-tiba sekretarisku menelpon. Melaporkan ini itu yang sedang terjadi di
kantor. Aku sempat marah-marah kepadanya, mengurus hal sepele saja tidak bisa. Jengkel
sekali rasanya, kantor baru ditinggal sehari saja sudah ada yang tidak beres.
Hampir saja aku ketinggalan
rakaat pertama, aku beres berwudhu -yang sekenanya- tepat ketika imam
mengumandangkan takbiratul ihram. Tiba-tiba alisku berkerut ketika menyadari
siapa yang menjadi imam masjid besar ini. Pak tua yang tadi shubuh aku temui di
masjid dekat rumah. Dengan memakai ciri-ciri yang sesuai dengan gambaran Ustadz
Rizal. Pikiranku pun tidak fokus selama shalat. Memikirkan urusan kantor. Bertanya-tanya
dalam hati siapa sebenarnya pak tua ini. kenapa bisa ada di masjid yang
berkilo-kilo jauhnya dari rumahku. Sengaja aku memilih masjid ini agar sampai
tepat waktu shalat.
***
Seusai shalat, ketika satu
persatu jamaah sudah meninggalkan masjid. Aku menghampiri pak tua yang sedang
bersandar pada dinding masjid. Ia sudah menyadari kehadiranku dengan wajahnya
yang tetap serius tapi teduh.
“Pak haji, mohon beri satu
nasihat lagi.” Kataku tanpa basa-basi.
Pak tua itu menatap wajahnya
sejenak. “Ambil Wudhu, dirikan shalat.” Nadanya tegas seperti memerintah.
“Saya masih punya wudhu Pak Haji.
Dan Alhamdulillah saya sudah shalat, ikut berjamaah tadi.” Kataku menjelaskan,
barangkali pak tua ini tidak melihat aku dibarisan shaf terakhir tadi.
“Anak muda. Ambillah Wudhu dan
segera dirikan shalat.” Ia malah mengulangi perkataannya dengan nada yang lebih
lembut.
Refleks saja aku mengangguk dan
berdiri hendak mengambil wudhu. Mungkin itulah nasihat kedua yang harus aku
lakukan. Sesuai pesan Ustadz Rizal, dengarkan saja nasihatnya, jangan banyak
tanya dan lakukan yang benar.
Aku pun menunaikan shalat dzuhur
sendiri. Hitung-hitung memperbaiki shalatku sebelumnya yang benar-benar tidak
fokus tadi. Atau jangan-jangan memang benar wudhuku tadi tidak sempurna?
***
Selesai shalat aku memperhatikan
sekitar, pak tua itu masih ada ternyata. Sedang membaca Al-Qur’an. Aku tidak
ingin mengganggunya kali ini. Lagi pula ini belum waktunya Ashar. Baiklah
sambil menunggu waktu Ashar yang masih dua jam lagi aku memilih berbaring. Aku
putuskan tidak menuju masjid berikutnya, aku akan bertahan di masjid ini hingga
Ashar. Setelah mendapat nasihat ketiga tentunya.
Aku pun menelpon sekretarisku
memastikan pekerjaannya sesuai dengan yang aku intruksikan tadi.
***
Hampir saja aku ketiduran di atas
sajadah, sayup-sayup kembali aku mendengar namaku dipanggil Qum! Bangunlah, bangunlah. Bertepatan dengan
muadzin melantunkan hayya ‘alasshalah.
Aku beranjak mau mengambil air wudhu lagi. Kali ini tidak dengan sekenanya. Aku
cari pak tua sudah tidak ada. Mungkin lagi siap-siap di ruang DKM untuk menjadi
imam shalat Ashar.
Tapi ternyata ia bukan imamnya. Pak
tua berdiri tepat di sampingku, sama-sama menjadi makmum. Setidaknya aku lega
ia masih ada di masjid ini. Jadi aku tinggal minta nasihat lagi.
***
“Bersihkan harta benda. Tunaikan
hak-hak orang lain.”
Itu nasihat pak tua yang ketiga. Seperti
biasa pertama-tama ia menyampaikan dengan nada yang tegas. Tapi kali ini aku
tidak bertanya lagi, aku langsung mengangguk. Mengerti arah pembicaraan nasihat
itu. Benar sekali aku sudah lama tidak meminta sekretarisku untuk menyiapkan
berkas pembayaran zakat penghasilan.
Setelah mengucapkan terima kasih,
aku pamit hendak ke masjid berikutnya. Jalanannya cukup macet aku harus
bergegas. Tidak lupa ketika diperjalanan aku menelpon sekretarisku untuk
secepat mungkin menyiapkan pembayaran zakat penghasilan. Sesuatu yang sangat
luput sekali dari perhatianku.
***
Hujan tiba-tiba turun, aku sampai
di masjid ke tiga untuk yang ke empat kalinya menjemput nasihat itu. Setengah
jam lebih awal dari waktu shalat Maghrib. Niatnya mau mencari makanan kecil
untuk buka puasa. Aku benar-benar terkejut ketika hendak membeli air mineral,
ternyata yang melayani seseorang yang seharian ini sering sekali aku temui. Pak
tua dengan orang dan ciri-ciri yang sama persis. Aku melongo. Sejak kapan ia
sudah berada di sini? Bukannya aku yang lebih dulu berangkat dari masjid tadi?
Hingga nasihat ke empat itu aku peroleh tanpa meminta.
“Berpuasalah anak muda.”
“I... Insya Allah Pak Haji. Hari
ini saya berpuasa.” Kataku terbata-bata masih dengan sisa keterkejutan.
Pak Tua malah tertawa mendengar
jawabanku. “Jangan berlindung dengan nama Allah untuk menutupi keburukanmu anak
muda. Sejatinya kau tidak sedang berpuasa. Kau hanya menahan lapar dan dahaga.”
Aku mengerutkan dahi. Jelas-jelas hari ini aku puasa. Meski memang tidak sempat sahur. Tapi aku tidak lupa berniat. Aku menggeleng benar-benar tidak mengerti maksud pak tua ini.
Aku mengerutkan dahi. Jelas-jelas hari ini aku puasa. Meski memang tidak sempat sahur. Tapi aku tidak lupa berniat. Aku menggeleng benar-benar tidak mengerti maksud pak tua ini.
“Kau tidak berpuasa dari menahan
hawa nafsu. Tidak pandai menahan emosi dan kesombongan diri. Bagaimana pula kau
sebut itu berpuasa?”
Pak Tua menutup warungnya dan
meninggalkanku yang masih melongo mencoba mencerna kata-katanya. Hingga shalat
Maghrib sudah selesai aku masih memikirkan perkataan pak tua itu. Apa benar
seharian ini aku hanya menahan lapar dan dahaga? Memang benar aku tadi sempat
marah-marah kepada bawahanku. Sempat merasa sombong kalau aku bisa dengan mudah
mengatasi itu sendirian jika ada di kantor. Lalu sebenarnya siapa pak tua ini?
kenapa seharian ini aku bertemu dengannya? rasa-rasanya aku perlu menemui
ustadz Rizal secepatnya. Setelah aku mendapatkan nasihat yang terakhir. Setelah
shalat Isya.
Senyumanku berkembang ketika
mengetahui Ustadz Rizal lah yang mengimami shalat Isya. Setelah selesai aku
buru-buru menghampirinya. Ingin menanyakan banyak hal.
Aku disambut dengan baik. Ternyata
Ustadz Rizal memang sengaja menungguku di masjid ini. Katanya ia mengetahui
keberadaanku dari sekretarisku setelah menelpon ke kantor. Aku langsung saja menceritakan
perjalananku hari ini dari mulai bangun tidur sampai bertemu dengannya. Lengkap
dengan nasihat-nasihat yang aku peroleh.
“Sudah tak perlu dicari lagi
orangnya sudah pamit pergi. Nasihat yang terakhir biar ana yang menjelaskan.” Katanya
ketika mengetahui aku mencari sosok pak tua itu.
Aku ingin sekali menanyakan siapa
sebenarnya pak tua itu. Tapi Ustadz Rizal keburu menjelaskan panjang lebar.
“Kalau antum perhatikan lebih
dalam sebenarnya nasihat-nasihat yang antum peroleh hari ini tidak lain adalah
rukun islam yang lima. Syahadat. Shalat. Zakat. Puasa. Tentu saja antum bisa
menyimpulkan sendiri apa nasihat yang kelima itu. Sekarang pertanyaannya
adalah, sudah pernah kah antum menyempatkan diri berziarah ke makam Rasulullah?
Menunaikan ibadah haji? Bukankah antum mampu menempuh perjalanan itu dari segi
biaya?”
Aku menelan ludah. Aku lebih
banyak ke tempat-tempat lain untuk perjalanan dinas maupun liburan. Betapa aku
tidak pernah merencanakan perjalanan rukun islam yang ke lima itu.
“Kalau menurut ana, sebenarnya
masalah antum itu sederhana. Jiwa antum merasa kosong karena antum terlalu
sibuk dengan urusan dunia. Sedangkan rohani pun perlu dikasih makan. Perlu
diperhatikan. Ana berharap perjalanan antum hari ini dari masjid ke masjid
sedikit banyak ada asupan untuk rohani antum. Untuk jiwa antum. Dan
mudah-mudahan itu bisa membuat antum jadi lebih tenang.”
Aku masih saja terpaku tidak
terlalu memperhatikan penjelasan Ustadz Rizal. Ada sesuatu yang lebih mengusik
hatiku. Betapa aku memang merasa sangat jauh dariNya. Merasa miskin keberanian
untuk menghadapNya kelak.
Qum! Bangunlah! Bangunlah!
Perbaharui syahadatmu.....! perbaharui syahadatmu.....!
Suara itu bersahut-sahutan di
pikiranku. Seketika aku ingin bersujud. Menangis sejadi-jadinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)