Qum, bangunlah! bangunlah!
Aku terbangun dengan kepala
pusing. Barusan seperti ada yang meneriaki namaku, suaranya lembut tapi tegas. Ternyata
hanya mimpi.
Aku melirik jam beker, sudah
hampir adzan shubuh. Aku harus bergegas ke masjid. Ini perjalananku yang
pertama. Aku harus menepati janji kepada Ustadz Rizal yang memberi nasihat
kepadaku kemarin. Terutama janji kepada diriku sendiri. Ya, meski aku tidak terlalu paham akan
maksudnya, tapi aku sudah bulat menyanggupinya tanpa banyak tanya. Baiklah setelah
shalat shubuh nanti, aku akan jelaskan lebih lanjut. Tentang alasanku yang
tidak seperti biasanya sudah bangun di jam sepagi ini. Dan kenapa harus bergegas
ke masjid.
***
Setelah shalat shubuh, aku mengedarkan
pandangan ke sekeliling masjid. Masih ada beberapa jamaah yang beritikaf. Mataku
menatap seorang pak tua yang sedang menggilirkan biji tasbihnya di dekat
mimbar. Aku harus memastikan dulu apa pak tua itu yang dimaksud oleh Ustadz
Rizal kemarin, kalau dari ciri-cirinya memang sudah tepat. Rambutnya sudah
hampir putih semua, memakai peci berwarna putih. Berpakaian serba putih. Dengan
beberapa helai janggut putih di dagunya. Barangkali memang beliau pak tua yang
dimaksud. Seseorang yang akan memberikan nasihat pertamanya kepadaku.
Dengan sikap sesopan mungkin aku
menghampiri pak tua. Ragu-ragu menyapanya, takut mengganggu dzikirnya.
“Assalamu’alaikum Pak Haji. Maaf mengganggu
dzikirnya.”
Pak tua itu hanya menoleh
sebentar sambil mengangguk pelan menjawab salamku. Kemudian kembali fokus
melantunkan dzikirnya.
“Tolong berikan saya satu nasihat
Pak Haji.” Kataku mengutarakan maksudku.
Kembali pak tua menoleh sebentar
tanpa bicara apa-apa.
Aku salah tingkah, jelas sekali
kalau kehadiranku sudah mengganggunya. Memperbaiki posisi duduk. Tetap menunggu
sepotong nasihat itu. Bagaimana pun aku harus mendapatkannya agar bisa
meneruskan perjalananku yang kedua. Itu pesan Ustadz Rizal kemarin.
“Perbaharui Syahadatmu!” Ujar pak
tua sambil berdiri. Suaranya lembut tapi tegas. Lalu melangkah ke luar masjid.
Kedua alisku menyatu. Perbaharui syahadat?
Bukankah aku terlahir sebagai seorang muslim? Bukankah ketika shalat shubuh
tadi aku juga membaca syahadat ketika duduk di antara dua sujud? Aku menyusul
pak tua itu, langkahnya cepat sekali untuk seorang yang usianya sudah senja.
“Maaf Pak Haji, saya belum
terlalu paham.”
“Perbaharui Syahadatmu anak muda.
Perbaharui Syahadatmu sebelum azal memenggal lehermu.”
Aku terpaku, merinding
mendengarnya. Suara pak tua itu semakin tegas penuh penekanan.
***
Sepanjang perjalanan pulang dari
masjid tadi, aku terus-menerus melapadzkan dua kalimah syahadat. Sesekali diselingi
oleh artinya. Aku masih tidak paham maksud nasihat pak tua tadi. Tiba-tiba saja
aku jadi lebih banyak memikirkan kematian. Bagaimana jika perjalanan ini belum
selesai azal lebih dulu datang? Aku merinding.
Hari ini aku sengaja tidak pergi
ke kantor, dan meminta sekertarisku untuk mengurus semuanya yang diperlukan di
kantor. Baiklah sambil menuju ke masjid berikutnya, perjalananku yang kedua. Dan
letak masjidnya sangat jauh, aku akan menceritakan asal-muasal perjalanan ini.
Sekaligus menceritakan siapa diriku yang sebenarnya.
Namaku Qum. Aku terlahir dari
keluarga yang berkecukupan materi. Perusahaan ayahku banyak memiliki cabang hampir
di seluruh kota. Sejak kecil aku sudah dididik dengan baik agar bisa melanjutkan
bisnisnya. Dibekali dengan pendidikan yang tinggi dan terbaik. Sayangnya tidak
untuk hal yang menyangkut pengamalan agama. Hingga aku berhasil tumbuh sesuai
dengan keinginan ayahku. Kini aku yang memegang kendali perusahaan-perusahaan
itu. Dan berkat usahaku bisnis keluarga ini semakin berkembang.
Tapi akhir-akhir ini aku merasa
belumlah mendapatkan apa-apa. Banyaknya harta ini membuatku merasa miskin,
bukan miskin materi tapi sesuatu yang lain. Yang aku tidak mengerti apa sesuatu
itu. Jiwaku seperti kosong, selalu gelisah. Hal itu membuatku tidak bisa tidur
setiap malam. Hingga tidak sengaja aku bertemu dengan Ustadz Rizal ketika ia
mengisi kutbah jumat di masjid dekat kantorku. Sebenarnya ia adalah kawan
lamaku ketika masa kuliah dulu. Aku utarakan masalahku ini kepadanya.
“Maaf nih sebelumnya, Antum kapan
terakhir bangun shalat Shubuh?” ustadz Rizal bertanya degan tidak bermaksud
menyinggung.
“Saya sudah lupa Ustadz. Saya
selalu kesiangan karena pulang dari kantor larut terus.” Jujur memang begitu
adanya. Untuk urusan shalat jangankan Shubuh, empat waktu yang lain saja kadang
selalu dikerjakan hampir diakhir waktu karena kesibukan.
“Begini saja, kapan antum ada
waktu sehari penuh kosong? Nah kalau ada coba antum sekali-kali sehari itu
usahakan shalat di masjid tepat waktu. Kalau perlu bergerilya dari waktu ke
waktu shalat berikutnya, ke masjid-masjid yang lain. Biar suasana masjidnya
dapat. Insya Allah jiwa antum akan lebih tenang. Dan kalau bisa di hari itu
antum puasa sunah.” Tutur Ustadz Rizal memberi solusi.
Aku pun langsung membatalkan
semua meetingku esok harinya. Mencoba saran dari kawan lamaku itu. Sebelum pamit,
ustadz Rizal sempat berpesan untuk menemui seseorang yang berciri-ciri yang
sudah aku sebutkan tadi.
“Pintalah satu nasihat kepadanya."
Aku mengangguk dengan semua usulan itu. Seperti itulah asal-muasal
perjalananku hari ini.
Bersambung ke post berikutnya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)