Namaku Sittah. Aku anak bungsu
dari enam bersaudara dan tahun ini genap enam tahun. Ah entah kenapa aku selalu
antusias jika ada yang berkaitan dengan angka enam. Seperti ikan mas koki yang
aku punya. Anak si manis kucingku yang baru melahirkan kemarin. Jumlahnya enam
dan lucu-lucu menggemaskan.
Dan hari ini, untuk pertama
kalinya aku dibolehkan oleh ibu pergi bersama paman Gopar. Pamanku satu itu
sudah berjanji menjemputku jam enam pagi. Katanya aku mau diajaknya memancing
di setu gede. Kata paman ikannya besar-besar. Tempat yang sama sekali belum
pernah aku lihat. Dulu aku selalu merengek dibolehkan ibu jika paman Gopar
hendak ke sana. Tapi ibu selalu melarang karena menurutnya aku masih terlalu
kecil.
Kecil-kecil begini aku pengingat
yang baik. Termasuk janji seseorang. Bagiku janji adalah janji, harus tepat
waktunya bagaimanapun keadaannya. Makanya sejak pukul setengah enam tadi aku
terus mondar-mandir melihat ke arah luar. Tidak menghiraukan panggilan ibu yang
menyuruhku untuk sarapan lebih dulu. Ibu tidak tahu sih kalau aku sedang
antusias menyambut hari ini.
Sudah hampir pukul enam. Setiap ada
suara aku langsung lari mengeceknya. Siapa tahu itu pamanku yang baru datang. Tapi
ternyata bukan, itu mang Rohim yang hendak ke pasar.
Belum, masih ada waktu. Pamanku
selalu menepati janjinya. Iseng aku menutup mata, memasang telinga baik-baik
agar tidak ada satu suarapun yang lepas dari pendengaranku. Mulai mengitung
dari satu sampai enam puluh untuk menit terakhir sebelum jam enam tepat.
Dan tepat hitunganku yang ke enam
puluh. Suara yang aku kenal itu sampai juga. Paman Gopar datang dengan tas
besarnya membawa peralatan yang dibutuhkan untuk hari ini.
“Paman hampir saja berhutang
cokelat kepadaku.” Kataku sambil tergopoh-gopoh menyambutnya di teras.
“Siapa bilang? Pamankan sampai
satu menit lebih awal.” Ujar pamanku sembari menurunkan tas dari pundaknya. “Siap
untuk hari ini prajurit kecil?”
Buru-buru aku melirik arloji
pamanku, menepok jidat. Aku baru ingat jam tanganku memang lebih cepat satu
menit. Aku terkekeh sendiri.
“Sudah pamitan sama ibu belum? Pamitan
dulu sana.” Paman mengacak-ngacak kepangan rambutku. Aku mengangguk. Ketika hendak
berlari ke dapur, ibu sudah lebih dulu datang membawa rantang makanan dan botol
air.
“Kalau hujan cepat-cepat meneduh
Gopar. Kau tahu sendiri Sittah ringkih sekali dengan air hujan.” Paman mengangguk,
Aku mengambil rantang makanan dari ibu.
“Habiskan sarapannya.” Kata ibu
sebelum kembali ke dapur.
“Sepertinya ibumu belum tahu, Sittah.
Betapa menyenangkannya memancing sambil hujan-hujanan.” Pamanku berbisik sambil menempelkan telunjuknya di bibir. Aku
tertawa setuju. Ah sudah pasti perjalanan hari ini akan menyenangkan.
***
Aku paling suka bepergian dengan
pamanku satu ini. Ia pandai sekali membuat mainan dari apa saja. Seperti
membuat peletokan dari bambu, kincir angin, gansing dari tutup botol, atau
membuat si cepot dari batang-batang daun singkong. Dan tentu saja ia gemar
sekali memancing. Kadang seharian baru pulang membawa ikan-ikan besar yang disindik menjadi satu ikat dengan tali
bambu.
Sesampainya di setu gede, kami langsung mencari tempat yang paling nyaman buat memancing. Ada batang pohon kelapa yang sengaja dijadikan tempat duduk oleh paman. Rupanya itu tempat favoritnya. Tidak ada orang lain selain kami di sana. Setunya besar sekali, airnya jernih dan memang banyak ikan-ikan kecil hilir mudik ke sana kemari mencari makan. Udaranya sedikit dingin, mungkin karena masih terlalu pagi.
“Sebelum ikan, perut kita dulu yang perlu dikasih makan. Ayo buka rantangnya, Sittah. Masakan ibumu sayang kalau harus dilewatkan kelezatannya.”
Aku mengangguk, cekatan membuka rantang ibu. Aroma sayur asem dengan lauk lainnya sangat menggiurkan. Paman menebas satu batang daun pisang sebagai alasnya. Kami pun langsung lahap menikmati sarapan.
Sesampainya di setu gede, kami langsung mencari tempat yang paling nyaman buat memancing. Ada batang pohon kelapa yang sengaja dijadikan tempat duduk oleh paman. Rupanya itu tempat favoritnya. Tidak ada orang lain selain kami di sana. Setunya besar sekali, airnya jernih dan memang banyak ikan-ikan kecil hilir mudik ke sana kemari mencari makan. Udaranya sedikit dingin, mungkin karena masih terlalu pagi.
“Sebelum ikan, perut kita dulu yang perlu dikasih makan. Ayo buka rantangnya, Sittah. Masakan ibumu sayang kalau harus dilewatkan kelezatannya.”
Aku mengangguk, cekatan membuka rantang ibu. Aroma sayur asem dengan lauk lainnya sangat menggiurkan. Paman menebas satu batang daun pisang sebagai alasnya. Kami pun langsung lahap menikmati sarapan.
***
Setelah sarapan, paman langsung
membagi jorannya denganku. Ada empat joran dengan kail sudah berisi umpan siap
digunakan. Aku antusias sekali memegang joran untuk pertama kalinya. Meniru paman
mengulurkan benangnya sampai menjulur jauh ke tengah setu. Tidak terlalu sulit
dan memang menyenangkan.
“Nah ini yang menarik dari
memancing, Sittah. Saat kita menunggu umpan itu di makan ikan. Seperti kebiasaanmu
kalau lagi menunggu orang menepati janjinya. Seperti menunggu perjalanan hari
ini. Bukankah itu membuatmu antusias? Seseorang akan sangat antusias jika
sedang menunggu, yang tahu ada harapan di sana.
Aku mengangguk, meski tidak terlalu paham dengan kalimat paman yang terakhir. Ini memang menyenangkan. Aku berharap umpanku akan di makan oleh ikan besar. Lebih besar dari yang paman dapat. Haha...
“Sekolahmu gimana, Sittah?” tidak sampai semenit satu kail paman sudah bergerak-gerak. Cekatan paman menyentak jorannya. Dan satu ikan mujair sebesar telapak tangan orang dewasa terjerat di sana. Aku sampai berdiri melihatnya. Itu ikan pertama hasil kami hari ini. Sudah aman tidak bisa ke mana-mana lagi di bubu yang sudah paman siapkan untuk menyimpan ikan hasil tangkapan.
“Ibu guru kemarin menyuruh kami menghafalkan rukun iman, Paman. Bahasa arab dan artinya.” Aku melihat kailku yang belum juga bergerak. Pasti masih ada ikan yang lebih besar dari itu.
“Waah penting itu, kamu sudah hafal di luar kepala bukan?” lagi-lagi paman menarik jorannya yang bergerak. Satu ikan tidak terlalu besar berhasil ditangkapnya. “kalau sudah besar kita ketemu lagi.” Kata pamanku sebelum melepaskannya kembali.
Aku tertawa mendengar gurauannya itu. “Sudah dong, Paman. Beriman kepada Allah dengan juga mengetahui dua puluh sifat-sifat yang wajib dan dua puluh sifat mustahil bagi Allah. Terus beriman kepada Malaikat. Ada sepuluh malaikat yang wajib diketahui dengan tugasnya masing-masing.” Aku menarik napas sejenak. “Terus beriman kepada kitab-kitab, ada Kitab Zabur, Taurat, Injil dan Al-Qur’anur Kariim. Terus beriman kepada Rasul-rasul Allah. Ada dua puluh lima Nabi dan Rasul yang diceritakan di dalam Al-Qur’an. Terus beriman kepada hari kiamat, yang tidak ada satu pun yang tahu kapan kejadiannya. Dan terakhir beriman kepada qada dan qadar, takdir yang baik dan buruk.” Aku menyelesaikan jawabanku. Pamanku tersenyum ia sudah paham benar kelakukan keponakan paling kecilnya ini. Selalu antusias jika diminta menjelaskan sesuatu secara detail.
“Keponakan siapa dulu.” Lagi-lagi joran paman bergerak, kita tidak hanya satu tapi dua joran. Aku membantu menarik joran satunya. Kami seperti sedang berlomba memancing, saling cepat-cepatan menggulung benang pancingan. Sungguh ini seru sekali, ada dua ekor ikan gurame yang sama besar sedang kami coba kuasai. Agar tidak lepas lagi ikannya. Aku dan paman sampai berdiri tidak sabaran.
“Waaah hari ini kita beruntung sekali, Sittah. Ibumu pasti senang melihat tangkapan kita sebesar ini.”
“Iya tadi seru sekali, Paman.” Aku senang sekali, meskipun joranku belum juga mendapatkan hasil. Pasti masih ada ikan yang lebih besar dari ini. Dengan cekatan paman menyimpan kedua ikan itu ke bubunya.
“Kembali ke hafalanmu tadi. Jangan cuma sekedar di hafal ya. Tapi benar-benar diyakini dalam kehidupan sehari-hari.” Kata pamanku sambil memasang umpan berikutnya.
“Iya Paman. Aku percaya, aku beriman sepenuhnya.” Kataku mantap.
“Seperti udara yang berhembus ini, Sittah. Meski kita tidak pernah melihat wujudnya. Tapi kita bisa tahu keberadaannya. Yang tidak terlihat belum tentu tidak ada.”
Lagi-lagi aku mengangguk meski tidak terlalu paham dengan kata-kata terakhir paman.
Aku mengangguk, meski tidak terlalu paham dengan kalimat paman yang terakhir. Ini memang menyenangkan. Aku berharap umpanku akan di makan oleh ikan besar. Lebih besar dari yang paman dapat. Haha...
“Sekolahmu gimana, Sittah?” tidak sampai semenit satu kail paman sudah bergerak-gerak. Cekatan paman menyentak jorannya. Dan satu ikan mujair sebesar telapak tangan orang dewasa terjerat di sana. Aku sampai berdiri melihatnya. Itu ikan pertama hasil kami hari ini. Sudah aman tidak bisa ke mana-mana lagi di bubu yang sudah paman siapkan untuk menyimpan ikan hasil tangkapan.
“Ibu guru kemarin menyuruh kami menghafalkan rukun iman, Paman. Bahasa arab dan artinya.” Aku melihat kailku yang belum juga bergerak. Pasti masih ada ikan yang lebih besar dari itu.
“Waah penting itu, kamu sudah hafal di luar kepala bukan?” lagi-lagi paman menarik jorannya yang bergerak. Satu ikan tidak terlalu besar berhasil ditangkapnya. “kalau sudah besar kita ketemu lagi.” Kata pamanku sebelum melepaskannya kembali.
Aku tertawa mendengar gurauannya itu. “Sudah dong, Paman. Beriman kepada Allah dengan juga mengetahui dua puluh sifat-sifat yang wajib dan dua puluh sifat mustahil bagi Allah. Terus beriman kepada Malaikat. Ada sepuluh malaikat yang wajib diketahui dengan tugasnya masing-masing.” Aku menarik napas sejenak. “Terus beriman kepada kitab-kitab, ada Kitab Zabur, Taurat, Injil dan Al-Qur’anur Kariim. Terus beriman kepada Rasul-rasul Allah. Ada dua puluh lima Nabi dan Rasul yang diceritakan di dalam Al-Qur’an. Terus beriman kepada hari kiamat, yang tidak ada satu pun yang tahu kapan kejadiannya. Dan terakhir beriman kepada qada dan qadar, takdir yang baik dan buruk.” Aku menyelesaikan jawabanku. Pamanku tersenyum ia sudah paham benar kelakukan keponakan paling kecilnya ini. Selalu antusias jika diminta menjelaskan sesuatu secara detail.
“Keponakan siapa dulu.” Lagi-lagi joran paman bergerak, kita tidak hanya satu tapi dua joran. Aku membantu menarik joran satunya. Kami seperti sedang berlomba memancing, saling cepat-cepatan menggulung benang pancingan. Sungguh ini seru sekali, ada dua ekor ikan gurame yang sama besar sedang kami coba kuasai. Agar tidak lepas lagi ikannya. Aku dan paman sampai berdiri tidak sabaran.
“Waaah hari ini kita beruntung sekali, Sittah. Ibumu pasti senang melihat tangkapan kita sebesar ini.”
“Iya tadi seru sekali, Paman.” Aku senang sekali, meskipun joranku belum juga mendapatkan hasil. Pasti masih ada ikan yang lebih besar dari ini. Dengan cekatan paman menyimpan kedua ikan itu ke bubunya.
“Kembali ke hafalanmu tadi. Jangan cuma sekedar di hafal ya. Tapi benar-benar diyakini dalam kehidupan sehari-hari.” Kata pamanku sambil memasang umpan berikutnya.
“Iya Paman. Aku percaya, aku beriman sepenuhnya.” Kataku mantap.
“Seperti udara yang berhembus ini, Sittah. Meski kita tidak pernah melihat wujudnya. Tapi kita bisa tahu keberadaannya. Yang tidak terlihat belum tentu tidak ada.”
Lagi-lagi aku mengangguk meski tidak terlalu paham dengan kata-kata terakhir paman.
***
Hampir setengah hari kami
memancing, bahkan kail paman sudah berkali-kali di makan ikan. Yang kecil
dilepas kembali. Yang cukup besar disimpannya di bubu. Aku mulai cemberut
karena kailku belum juga membuahkan hasil. Paman membesarkan hati agar aku
tetap antusias menunggunya, masih ada harapan besar di ujung kail itu. Aku hanya
diam tidak menanggapi apa-apa. Melihat aku yang sudah mulai murung, paman
berinisiatif mengambilkan aku buah kelapa muda. Ia tahu aku suka sekali air
kelapa.
Dan ketika kami sedang menikmati
buah kelapa, akhirnya kailku bergerak. Bahkan hampir joranku terbawa kalau aku
tidak cepat-cepat menariknya. Aku berseru-seru riang, sepertinya aku
mendapatkan ikan yang besar sekali. Aku menoleh ke paman, paman mengangguk
mantap. Aku terus berusaha mengalahkan tenaga ikan itu. Sampai hampir jatuh
terduduk. Pada akhirnya pamanku membantu menariknya. Dan satu ekor ikan patin
berukuran paha orang dewasa berhasil terjerat di ujung kailku. Besar sekali. Aku
baru melihat ikan sebesar itu.
“Waaah ini sih bukan hanya ibumu yang senang, Sittah. Pak RT juga bakalan senang, ikan ini bisa dibagi-bagi ke tetangga terdekat.” Dengan kecekatan paman Gober ikan itupun berhasil kami tangkap. "Paman selalu yakin setu gede ini memiliki ikan yang sebesar ini, bahkan lebih. Dan kamu berhasil mengungkapnya hari ini.
“Waaah ini sih bukan hanya ibumu yang senang, Sittah. Pak RT juga bakalan senang, ikan ini bisa dibagi-bagi ke tetangga terdekat.” Dengan kecekatan paman Gober ikan itupun berhasil kami tangkap. "Paman selalu yakin setu gede ini memiliki ikan yang sebesar ini, bahkan lebih. Dan kamu berhasil mengungkapnya hari ini.
Aku tertawa sedikit bangga. Sayangnya keseruan hari ini harus
usai. Kata paman hari ini cukup enam ekor ikan saja yang dibawa pulang. Katanya
sesuai dengan angka kegemaranku. Tiga ekor mujair, dua ekor gurame dan satu
ekor patin hasil tangkapanku. Bahkan paman harus menggendong ikan patin besar
itu di punggungnya. Dan aku menenteng ikan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)