Alkisah ada keluarga sederhana
yang tinggal di pinggiran kota. Meski keadaannya susah dengan suami yang sudah
lebih dulu pergi, sang ibu selalu mengajarkan kearifan hidup kepada empat
anaknya. Ia pun sudah mulai sakit-sakitan. Dan berpesan kepada anak-anaknya
satu kalimat sederhana :
“di manapun dan dalam keadaan apapun kalian nanti, belajarlah meneladani
sifat-sifat manusia pilihan. Genggam teguh sifat baik itu. Niscaya hidup kalian
akan selamat.” Sang ibu berujar sambil batuk-batuk. “Ingat Siddiq, Amanah, Tabligh dan kau Fatanah, ayah ibu punya alasan
khusus waktu kalian lahir dinamai sifat-sifat manusia pilihan itu. Agar kalian
pandai menempatkan diri dalam keadaan bagaimana pun.” Kembali ibu yang
mulia itu terbatuk.
Ke empat anaknya mengangguk
mengerti. Dan mulai saat itu juga mereka berjanji dalam hati masing-masing
untuk menjaga kepercayaan orang tua mereka.
Bertahun-tahun berlalu setelah
mereka mendengar pesan mulia itu. Kini mereka sudah menjalani kehidupan
sebenarnya masing-masing. Terpisah jarak dan kesibukan yang berbeda.
Siddiq, si anak sulung dengan
kepandaiannya kini menjadi karyawan yang memiliki kedudukan cukup penting di
salah satu perusahaan besar di jakarta. Menjadi supervisor di salah satu tempat
makanan siap saji.
Bersusah payah ia bekerja keras
hingga mencapai posisi yang sekarang. Hanya bermodalkan ijazah SMP. Nekat
melamar kerja ke sana kemari. Banyak yang menolak, karena perusahaan sekarang
banyak yang memiliki syarat harus berijazah minimal D3. Siddiq tak pernah patah arang, meskipun banyak
bisikan-bisikan temannya yang memberi jalan keluar dari masalahnya itu. Kata
temannya, mudah saja kalau mau diterima dan dapat posisi yang enak. Tinggal
bikin ijazah palsu, banyak temannya yang bisa membantu. Siddiq sempat hampir
tergiur dengan tawaran itu, apalagi melihat teman-temannya yang sama hanya
berijazah SMP sudah dapat posisi yang enak. Pekerjaan yang lumayan.
Tapi Siddiq ingat janjinya kepada
sang ibu. Terlebih janji kepada diri sendiri untuk selalu berkata benar apa
adanya. Tidak pernah berbohong dan membohongi hati nurani sendiri. Hingga ia
memilih menjadi seorang Office Boy
saja selama bertahun-tahun.
Adalah benar orang yang
bersungguh-sungguh dalam berusaha dan bersabar akan ada kesempatan yang tidak disangka-sangka.
Beberapa tahun kemudian karena kerajinannya Siddiq diangkat menjadi pramusaji
di tempat makanan siap saji itu. Berubah status dari pegawai yang banyak
mengurusi dapur, bersih-bersih dan disuruh beli ini itu kini tampil melayani
konsumen.
Siddiq banyak belajar dan pandai
bersosialisasi kepada konsumen yang datang. Tidak hanya sekedar melayani tapi
menyambut mereka dengan baik. Hingga kesempatan yang lebih baik itu datang lagi
sampai ia berada di posisi sekarang ini.
Di tempat yang cukup jauh dari
tempat tinggal Siddiq, kakaknya. Amanah pun berjuang keras untuk masa depannya.
Ia lebih beruntung dari kakaknya karena pernah berkesempatan sekolah hingga
SMA. Memberanikan diri untuk melamar di salah satu Bank swasta, dan diterima
menjadi kasir. Setiap hari berurusan dengan nasabah yang menabung atau
mencairkan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Tidak mudah menjalani profesi
itu, harus teliti dan cermat. Kejujuran pun harus dipegang kuat-kuat. Alih-alih
karena keteledoran ia bisa saja harus mengganti selisih transaksi di kasir. Ia
selalu pegang teguh pesan orangtuanya untuk selalu memegang amanah di manapun
berada. Sesulit apapun keadaannya. Sesuai dengan makna namanya. Menjadi yang dapat
dipercaya.
Lain hal dengan Tabligh, sejak
kecil ia lebih memilih untuk mendalami ilmu agama. Belajar di pondok pesantren
di luar jawa. Menjadi penyampai kebaikan itulah tekadnya. Sesuai namanya
Tabligh, bahkan nama keduanya Akbar. Ibunya bercerita ia lahir ketika di masjid
dekat rumahnya sedang mengadakan Maulid. Langsung saja menamai anak ketiganya
dengan nama Tabligh Akbar.
Setelah dirasa cukup mendalami
ilmu agama, Tabligh kembali ke kampung halamannya. Mulai sedikit demi sedikit
menyampaikan ilmu yang ia sudah dapat di majelis-majelis pengajian. Mengajak warga
setempat untuk menghidupi kembali Masjid untuk shalat berjamaah. Bertilawah
Al-Qur’an dan mengerjakan sunnah-sunnah yang lain. Tabligh menyampaikan yang Ma’ruf
dan mengajak untuk menjauhi yang Munkar.
Dan si bungsu Fatanah memilih
menjadi ibu rumah tangga yang bijaksana. Membesarkan kedua anaknya yang masih
kecil-kecil dengan keteladanan manusia pilihan. Sesuai dengan yang pernah
diajarkan orang tuanya dulu. Berbakti kepada suami dan senantiasa belajar
menjadi istri yang solehah untuk keluarga kecilnya.
Suatu ketika ke empat anak ibu
yang mulai dalah kisah ini berkumpul. Menengok makam kedua orang tuanya. Alangkah
syahdunya mendengar mereka melantunkan doa sambil terisak haru. Penuh rasa
syukur dan berterima kasih kasih karena sudah dibesarkan oleh orang tua yang
hebat. Orang tua yang senantiasa mengajarkan kearifan hidup. Mengingatkan
selalu untuk jangan lupa meneladani sifat manusia pilihan. Sifat-sifat mulia
yang mengajarkan arti kehidupan yang sebenarnya.
Dan ke empat anak itu kembali
berjanji untuk menjadi orang tua yang baik untuk anak-anaknya. Orang tua yang
bijaksana untuk keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)