Di musim penghujan seperti ini,
akan mudah sekali menemukan kerumunan orang yang berteduh. Terhenti perjalanannya
karena hujan yang menderas. Dan menarik sekali jika kita bisa mencuri dengar
apa yang mereka perbincangkan. Mengobrol dengan teman seperjalanannya –atau mungkin
orang asing yang beberapa menit lalu sudah seperti sahabat senasib, sesama
penunggu hujan di bawah atap ruko yang sejam lalu tutup. Mengusir kebosanan.
Seperti halnya dua orang yang memilih
tetap berdiri, meskipun ada bangku kayu yang masih kosong. Mereka teman
seperjalanan yang hendak menjenguk temannya yang sakit. Terpaksa menepi karena
salah satu dari mereka tidak membawa mantel. Tadi pagi ketika hendak berangkat kerja
kadung percaya diri kalau hari ini tidak akan hujan. Memang sepanjang siang
hari mataharinya terasa lebih menyengat. Tapi siapa yang bisa menduga cuaca,
hampir tengah malam ini saja hujan masih membumi.
“Menurutmu apa alasan mendasar
Tuhan menurunkan hujan?” Salah satunya memulai pembicaraan. “Selain untuk
menghidupi seisi bumi tentunya. Yang makhluk-makhluk di dalamnya memang sulit
hidup tanpa air.” Tubuhnya mulai gigil karena jaketnya sudah setengah basah
karena kecipratan mobil yang sembarang menerabas genangan.
“Hujan ya.” Temannya yang lengkap
terbungkus mantel menghirup udara, seakan menikmati aroma air yang turun dari
langit, sembari tangannya terjulur sengaja merasakan tetesan-tetesan itu
menyentuh kulitnya. “Tujuan persisnya hanya Dia yang tahu, tapi aku kira
seperti layaknya mobil itu.” Ia menunjuk mobil yang sebagian permukaan tubuhnya
dilapisi debu, sedang terparkir di garasi salah satu rumah. Tidak jauh dari
tempat mereka berteduh. “Bumi ini pun berdebu. Bahkan mungkin tidak lagi sekedar
diselimuti hamparan debu, tapi sudah berlumpur. Mengingat bumi semakin tua dan
rusak. Barangkali itu pemicu hujan turun. Tujuannya untuk pembersihan. Untuk
pemulihan.”
“Tapi kalau kadar hujannya selalu
tinggi seperti ini bukannya malah merusak bumi itu sendiri? Banjirlah, tanah
longsorlah.”
“Ya mungkin itu proses yang
diperlukan bumi untuk pembersihan tersebut. Aktivitas manusia yang membuatnya
lebih rumit. Sehingga ada debu-debu yang perlu dibersihkan lebih keras. Debu
yang sudah berkerak.”
Beberapa peneduh yang lain nekat
meneruskan perjalanan, mungkin sudah mulai bosan menunggu. Hujannya tidak jua
mereda, malahan semakin menderas. Bahkan ada yang sedang mendorong-dorong
motornya karena mogok ketika melewati genangan yang terlalu tinggi.
“Soal kadar, sepanjang yang aku
tahu dan aku pernah baca kadar hujan yang turun ke bumi selalu tetap, selalu
sama. Meskipun belum ada profesor dengan alat canggihnya yang mampu membuktikan
teori itu. Tapi aku sungguh yakin, karena tertera dalam Al-Qur’an demikian.
Kadar hujan yang turun ke permukaan bumi selalu sama. Sederhananya, jika di
Indonesia saat ini intensitas turun hujannya sedang sering, boleh jadi di
belahan bumi lain ada tempat yang sedang kekeringan.”
“Kalau untuk pembersihan, aku
kira tidak perlu selalu menggunakan air. Mengusir debu bisa dengan angin
misalnya.”
“Hei jangan lupa, membersihkan
rak yang kotor tidak cukup dengan hanya menggunakan kemoceng. Tapi lebih baik
dilap sama kanebo basah. Karena kemoceng sejatinya bukan alat untuk
membersihkan. Tapi ia cuma memindahkan debu. Begitu juga dengan angin. Jadi aku
rasa masih lebih tepat hujan untuk proses pembersihan bumi, bukan angin.”
Temannya mengangguk pelan,
penjelasan yang ia dengar cukup masuk akal. Hujan belum juga reda. Kini
keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali diselingi dengan suara
perut yang mulai keroncongan.
*di kasus yang lain, hujan pun bisa menjadi pembersihan kenangan #eh
*di kasus yang lain, hujan pun bisa menjadi pembersihan kenangan #eh
senyum bacanya...
BalasHapusmmeng benar ayat Allah, Allah akan menurunkan hujan ketika bumi ini benar2 kering kerontang.
Masya Allah ya :)
Hapus