Sya, semoga kau tidak mendengar
degup jantungku yang sedang tidak beraturan ini. Tentu saja tidak, aku hanya
berani memperhatikanmu dari jarak yang cukup jauh. Tapi bukan berarti kau tidak
menyadari keberadaanku bukan? Siapa sih yang tidak terganggu jika diperhatikan
berjam-jam oleh seseorang.
Aku berdiri, bersandar pada tubuh
pohon buni tua ini. Tempat kau dulu menangis sambil berlari menghampiri nenekmu.
Kemudian mengajakmu pulang, padahal jam sekolah masih berlanjut. Tempat di mana
aku terakhir kalinya melihat –tepatnya menertawakanmu menangis. Aku menahan
ketawa mengingat kejadian itu.
Sya, aku masih ingat betul
potongan kejadian itu. Ketika sedang belajar bernyanyi bersama, suara kau yang
paling menonjol berbeda. Jelas-jelas aku tertawa sendirian paling keras. Sambil
berteriak mengejek, “Si keriting gagu.” Semua orang menoleh ke arahku. Semua
anak riuh bak lebah ikutan tertawa. Dan kau berlari keluar kelas sambil
terisak. Sedangkan aku dihukum berdiri di depan kelas hingga bel pulang. Kata
nenek, lidahmu memang terlalu pendek. Jadi tidak berfungsi dengan baik ketika
bicara.
Suasananya tidak jauh berbeda
dengan waktu itu. Masih dengan riuh riang canda tawa anak-anak TK nol kecil. Masih
dengan bangunan lama, meski cat tembok lebih terlihat segar. Hanya saja saat
ini posisi kita yang bertukar, aku memperhatikanmu dari bawah pohon buni ini.
Hampir menangis, tak kuat menahan haru. Sedangkan kau tertawa bersama anak-anak
dengan riangnya.
Tapi entah apa yang sudah
dinasehati oleh nenekmu. –beberapa hari ini aku baru tahu rahasia nasehat
nenekmu itu. Esok harinya kau tidak menaruh dendam kepadaku. Tidak menangis
lagi ketika aku ejek “Si keriting gagu aa... uu... aa... uu...” Kau malah
membalas senyum. Tertawa meskipun tidak dengan suara. Aku jadi kesal sendiri,
senjata untuk mengganggumu tidak berhasil. Tidak kalah akal, aku sengaja benar
mematahkan semua crayon-crayonmu ketika sedang belajar menggambar. Agar kau
marah dan menangis lagi. Dan lagi-lagi kau hanya tersenyum memamerkan susunan
gigimu yang banyak bolongnya itu.
Aku juga pernah mempermalukanmu
di depan teman-teman dan bu guru. Ketika seorang guru menanyakan apa cita-cita
kita. Kau menulis sebuah kata GURU dan memamerkannya tinggi-tinggi. Spontan
saja aku berteriak, “orang gagu mana bisa jadi guru.”
Sya, betapa kalau ingat masa itu,
aku sangat badung dan menjengkelkan di matamu ya.
Sya, kini aku kembali dari
perantauanku ke negeri orang. Aku sudah menyelesaikan study-ku dengan baik. Usiaku sudah cukup matang untuk mulai
merencanakan masa depan. Mencari pendamping hidup. Entah kenapa sekelebat kenangan
masa kecilku datang. Tiba-tiba saja aku teringat dengan sosokmu. Penasaran
ingin tahu, bagaimana rupa si keriting
gaguku dulu. Ah, sudah lama sekali kita tidak berjumpa.
Kebetulan pula kita bertemu di
sekolah ini. Setelah bertahun-tahun lamanya. Jujur aku kaget sekali ketika
pertama kali bertemu denganmu lagi. Akupun menangkap hal yang sama di matamu. Aku
terkejut, sangat jelas kau sekarang berbeda. Aku seperti tidak mengenali lagi
sosok si keriting gaguku dulu. Yang ada
di hadapanku saat ini adalah Sya yang lain. Sya yang membuat aku lama tertegun.
Memang kau tidak menjelma menjadi perempuan yang sempurna cantik. Tapi sudah
lebih dari cukup menjadi alasanku untuk memandangmu sebagai perempuan yang
menarik. Apakah ini yang dinamakan energi cinta? seseorang akan melihat sosok
yang ia kagumi menjadi sosok yang lebih sempurna. Dengan kacamata cinta.
Berapapun kekurangannya.
Kau masih saja tersenyum
menghadapi kecanggunganku yang memberanikan diri menanyakan kabar. Seperti tidak memerlukan jawaban, aku mengangguk paham. Tentu saja kau sedang dalam
keadaan baik. Pancaran cahayamu mampu aku lihat dengan baik. Ah, jelas-jelas
itu adalah binaran mataku yang memendar ke arahmu.
Sya, aku tahu kapan pertama
kalinya kau memutuskan untuk berkerudung. Sejak masuk sekolah menengah pertama.
Kata nenekmu hari itu kau pulang dengan wajah yang memerah sekali. Bukan karena
habis menangis atau kesal. Kau hanya menahan malu. Malu diperhatikan oleh
teman-temanmu yang baru. Apalagi kalau bukan soal rambut keriting dan suaramu
itu. Tapi lagi-lagi esoknya kau kembali tersenyum ramah ketika mereka
mengganggumu. Hingga akhirnya mereka terbiasa dengan ‘kelebihanmu’ yang tidak
dimiliki oleh mereka. Dan mulai mengenalmu dengan julukan, si puteri tersenyum yang tak banyak bicara.
Darimana aku tahu soal itu? Tentu saja aku
tahu. Karena aku memutuskan untuk mencari tahu banyak hal tentangmu melalui
cerita-cerita nenekmu. Beliau antusias sekali menceritakan semuanya. Hmm....
sejujurnya aku belum berani mengutarakan langsung ke inginan itu di depanmu.
Takut kau keberatan.
Aku juga tahu kenapa di usiamu
sekarang –hanya selisih beberapa bulan denganku, dan sebagai seorang perempuan
seharusnya sudah menikah. Kau masih saja seorang diri. Bukan karena tidak ada
laki-laki yang tertarik kepadamu. Banyak sekali kalau kata nenek, hanya saja
mundur perlahan ketika tahu lebih dalam kekuranganmu. Ah mereka lelaki yang
payah menurutku, tidak bisa melihat dengan jelas sisi lain yang kau punya. Tapi
kau tetap tidak berkecil hati menanggapi hal ini. lebih memilih sibuk
mengajarkan banyak hal kepada anak didikmu.
Sya, di sinilah aku sekarang.
Bersandar pada tubuh pohon buni tempat kau menangis dulu. Karena ejekanku.
Memperhatikanmu dengan senyum berkembang. Lihatlah, kau pandai sekali mendidik
mereka semua. Seakan anggota tubuhmu kecuali lidah menjadi mulut kedua untukmu
menyampaikan materi. Dan mereka tidak terlihat kesulitan untuk mengerti apa
yang ingin kau sampaikan. Lihatlah bu guru Sya yang selalu tersenyum untuk
sekitarnya.
Sya, aku akan menunggu hingga bel
pulang berbunyi. Setelah meneguhkan hati beberapa hari ini, izinkan aku
meminangmu hari ini. Sebagai lelaki badung dan menyebalkan di matamu. Lelaki
yang memiliki banyak kekurangan sepertimu. Sebab bagiku, untuk menyempurnakan
kekurangan, seseorang tidak perlu mencari sosok yang memiliki kelebihan. Sama
saja itu tidak akan seimbang. Yang sempurna adalah dua orang yang saling menghargai
kekurangan dengan sama-sama belajar memperbaikinya. Saling mengukuhkan
kekurangan untuk kelebihan bersama.
Dan ternyata nasihat nenekmu dulu
begitu sederhana, jangan membalas perbuatan buruk seseorang dengan dendam.
Balas dengan senyuman ketabahan.