Langit petang sedang begitu muram. Seakan malam malam datang lebih awal dari biasanya. Aku lihat seseorang sedang termangu di tepian kolam pengembangbiakan ikan patin. Entah sedang memikirkan apa. Baru kali ini aku melihatnya. Aku menghampirinya, bukan niat untuk mengganggu. Memang sudah jadwalku untuk memberikan makan ikan-ikan itu, sebelum langit kapiran menurunkan amunisi hujannya.
Ia hanya menoleh sepintas ke arahku. Ia tidak merasa terganggu, meski sepertinya tidak ada niatan untuk sekedar basa-basi menyapaku.
Aku berkeliling kolam menyebar pakan secara merata. Menyenangkan sekali ketika melihat ikan-ikan itu berenang ke sana kemari berebut jatah makanan dengan teman-temannya. Makannya lahap, aku rasa sekitar tiga mingguan ke depan sudah bisa dipanen.
"Boleh aku bertanya satu hal?"
Aku menoleh ke arahnya. Wajah itu kusut sekali seperti aliran darahnya tidak lancar. Aku mengangguk. Tentu, sejak kapan bertanya itu dilarang?
"Bagaimana kau menyikapi perpisahan?" Ia bertanya sungguh-sungguh. Ada helaan napas di ujung kalimatnya.
Aku menyatukan alis, meraba pertanyaan itu. Mencari kesimpulanku sendiri selama ini ketika sedang menghadapi perpisahan.
"Jangan kau anggap perpisahan itu sebagai batas kebersamaan. Sebab,
adakalanya perpisahaan adalah pembentuk alamiah pertemuan-pertemuan
selanjutnya dengan nuansa yang lebih hangat. Saling membuncahkan
kerinduan-kerinduan. Ada energi baru untuk merekatkan rasa bahagia,
pelukan sambutan." Aku menebar kepalan pakan yang terakhir. Pemberian makan untuk hari ini aku rasa cukup.
"Bagaimana kalau setelahnya tidak akan ada pertemuan lagi?"
Hmm... jelas sekali ia sedang dirundung pilu. Ada nada putus asa di kalimat terakhirnya. Aku rasa langit hatinya sudah lebih dulu turun hujan.
"Teruslah berharap akan ada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Dan jarak
ibarat permadani panjang yang perlu untuk kita jejaki. Di ujungnya lah
pertemuan selanjutnya akan digelar. Dengan begitu kau tidak akan
menangisi perpisahan dengan kesedihan begitu dalam."
Ia berhenti bertanya, hanya menghela napas berkali-kali. Baiklah sebelum berlalu tidak ada salahnya untuk memberi saran satu atau dua kalimat lagi. Meski aku belum tahu jenis perpisahan apa yang sedang ia alami. Aku membuka sandalku untuk alas duduk agar lebih santai. Ia ikut berjongkok di sebelahku, menjawil rumput yang tumbuh tidak jauh dari kami.
"Meskipun di dunia ini perpisahaan adalah keniscayaan sebagai batasan
usia. Tetaplah berharap akan ada kebersamaan selanjutnya di alam yang
berbeda, yang sama-sama sudah kita kenal bernama syurga. Untuk itu pastikan selama kebersamaan ini berlangsung, saling berdaya
upaya untuk membuahkan kebaikan-kebaikan. Merawat kerukunan dalam
kebersahajaan. Dan sekalipun ada sebab perpisahan, tetap rangkul ia
dengan doa-doa ketulusan." Aku menyunggingkan senyum. Merasa heran dengan kata-kataku sendiri. Dapat ilham dari mana coba?
"Terima kasih atas jawabannya. Mohon maaf sebelumnya tidak izin lebih dulu melamun di sini."
Hujan satu persatu sudah mulai turun. Aku bangkit berdiri mengepak celana dari kotoran yang menempel.
"Sepertinya hujan akan deras. Bagaimana kalau kita menghangatkan diri dengan kopi? kebetulan di gubug sudah ada air panasnya?"
Ia mengangguk penuh penghargaan.
Aku tidak cemas perihal pertemuan. Sebab jika
memang sudah waktunya aku jauh lebih siap untuk merentangkan pelukan
sambutan. Aku lebih mencemaskan perihal perpisahan. Meskipun sesuai juga
dengan waktunya, aku tidak tahu akan lebih dari siap atau tidak
meregangkan lepasan tangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)