Perjalanan masih cukup jauh, agar tidak terasa lelah kami memutuskan untuk berbincang-bincang. Sederhananya, jika kalian tidak sengaja berpapasan dengan dua orang yang berpakaian rapi, sedang terlihat bercakap-cakap sambil mata tetap memperhatikan jalan, itulah kami.
"Banyak sekali undangan bulan ini, kapan kau mengundangku juga?" Aku menyunggingkan senyum bertanya.
Sahabatku menoleh sepintas, berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaanku.
“Aku meminta sesuatu dengan tidak terburu-buru. Aku belajar melewati prosesnya dengan sabar. Sambil memupuk harapan dengan wajah paling berbinar." Ia menoleh lagi ke arahku. "Bukankah ketetapanNya selalu tepat waktu? Hingga ketika aku sudah peroleh apa yang aku mau, aku lebih pandai untuk bersyukur.”
Begitulah sahabatku yang satu ini. Ia agak pendiam, tetapi ia selalu menjawab pertanyaan dengan kalimat-kalimat panjang dan tidak biasa. Mungkin orang lain akan merasa bosan mendengarnya, menganggap sok tahu. Tapi bagiku tidak. Ini seru, akan selalu seru. Karena tidak jarang ia membuka pemahaman baru bagiku.
"Kau tidak resah, mengingat usia kita sudah cukup matang untuk merencanakan itu?" Aku mengusap dahi, agak berkeringat.
"Banyak sekali undangan bulan ini, kapan kau mengundangku juga?" Aku menyunggingkan senyum bertanya.
Sahabatku menoleh sepintas, berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaanku.
“Aku meminta sesuatu dengan tidak terburu-buru. Aku belajar melewati prosesnya dengan sabar. Sambil memupuk harapan dengan wajah paling berbinar." Ia menoleh lagi ke arahku. "Bukankah ketetapanNya selalu tepat waktu? Hingga ketika aku sudah peroleh apa yang aku mau, aku lebih pandai untuk bersyukur.”
Begitulah sahabatku yang satu ini. Ia agak pendiam, tetapi ia selalu menjawab pertanyaan dengan kalimat-kalimat panjang dan tidak biasa. Mungkin orang lain akan merasa bosan mendengarnya, menganggap sok tahu. Tapi bagiku tidak. Ini seru, akan selalu seru. Karena tidak jarang ia membuka pemahaman baru bagiku.
"Kau tidak resah, mengingat usia kita sudah cukup matang untuk merencanakan itu?" Aku mengusap dahi, agak berkeringat.
“Percaya pada janjiNya, karenaku yakin apa digenggamNya. Bahwa seseorang yang baik akan dipertemukan dengan yang baik. Saat ini yang bisa aku usahakan adalah berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, yang selalu memperbaiki diri.” Lagi-lagi ia menjawab penuh dengan keyakinan.
Aku mengangguk, sok paham.
"Memang sebenarnya apa yang kau tunggu? atau memang kau belum memikirkan itu? Atau belum terang siapa calonnya?“
Kami memang memiliki prinsip teguh untuk tidak mengambil jalan pacaran untuk menemukan jodoh. Hanya memegang kepercayaan bahwa akan ada jawaban atas doa-doa yang baik, akan ada balasan untuk usaha-usaha yang baik. Itu juga kesimpulanku ketika bercakap-cakap di lain kesempatan dengannya.
"Sesekali memang kita perlu menunggu. Jawaban terbaik, balasan terbijak, ketetapan yang akurat, pelengkap yang tepat. Yang sedang diproses waktu. kita hanya perlu percaya, segala hal yang baik memang ada waktunya.”
Kali ini aku mengangguk setuju. Gang tujuan kami sudah terlihat, ada janur kuning melengkung indah di sisinya.
"Sebentar lagi sampai, kau baik-baik saja? sekedar untuk memastikan." Kami berhenti sejenak. Aku menatapnya lebih lama. Ia mengangguk. Kemudian malah tertawa.
“Ketepatan waktu adalah kedisiplinan semesta memberi kabar baik. Aku tidak berhenti untuk terus menerus menemukan hati yang belum memiliki pemilik. Sembari menunggu waktu, siap menghadirkan sosok yang memang terbaik.”
Aku melega. Aku tahu ia memang akan baik-baik saja. Meski tujuan kami tidak lain untuk menghadiri pernikahan seorang perempuan yang pernah diam-diam ia suka. Beberapa bulan lalu ia memutuskan untuk melepas perempuan itu untuk sahabat kami yang lain. Menurut pengakuannya perempuan itu bukan jawaban dari shalat istikharahnya.
Sungguh aku bangga dengan keyakinannya, ia telah memenangkan diri memisahkan antara rasa kagum kepada lawan jenis dengan jawaban terbaik dari Allah yang dititipkan lewat mimpi. Setelah menunaikan shalat istikharah.
Sungguh aku bangga dengan keyakinannya, ia telah memenangkan diri memisahkan antara rasa kagum kepada lawan jenis dengan jawaban terbaik dari Allah yang dititipkan lewat mimpi. Setelah menunaikan shalat istikharah.
diam - diam? ah diam-diam selalu jadi pembenaran :p
BalasHapusKarena diam-diam juga tetap nyata toh :D
Hapuswoooow... mengena sekali kata-katanya #sedikit terhibur#
BalasHapusAlhamdulillah kalau memang begitu. :)
HapusIni bukan cerpen ya bang? Berati beneran ya? aih lapang dada sekali :"
BalasHapusKasih tau nggak yaaaaa hahahaha *lebay
Hapus