Kadang waktu begitu baik memberikan kesempatan kepada seseorang, dengan menjadwalkan pertemuan yang tidak sengaja, di tempat dan suasana yang tak terduga. Seperti halnya hari ini.
Sinaran mentari masih setinggi tombak. Dua orang sama-sama terkejut, ketika berpapasan setelah sama-sama menyambar buku di rak yang berbeda. Perpustakaan terbesar di kota lah tempat perjumpaan itu sedang digelar.
"Eh, hai, sudah lama?" Lelaki berkacamata memulai menyapa seorang perempuan berkerudung merah marun yang beberapa menit lalu mengejutkannya. Rambutnya agak berantakan, bekas helm.
"Belum terlalu lama sih. Lagi cari buku apa?" Si perempuan menjawab dengan nada senormal mungkin menutupi keterkejutannya juga. Si lelaki itu menunjukkan cover buku yang hendak mau dibaca. Salah satu judul novel dari penulis best seller.
Mereka sudah saling kenal. Cukup lama. Dan rahasia kecilnya, sama-sama pernah menyimpan rasa yang sama. Meski saling diam-diam. Keduanya sama-sama paham, rasa yang belum seharusnya berkembang ke jenjang yang lebih serius sebaiknya dididik dengan lebih dewasa. Rupanya keduanya memelihara rasa yang mendesir itu. Meski tidak saling memberi tahu. Terlihat dari cara mereka saling menyapa ketika bertemu. Canggung, terkesan malu-malu tapi akrab.
Semenit kemudian keduanya sudah tenggelam ke bacaan masing-masing. Mengambil posisi tidak terlalu jauh. Tentu saja perpustakan terbesar ini sedang banyak pengunjungnya. Suasana tampak lengang. Sibuk dengan bukunya masing-masing.
Sesekali si lelaki mencuri pandang ke arah perempuan yang tidak terlalu jauh di hadapannya. Geregetan sekali ia ingin mengajak bicara, atau sekedar bertanya kabar. Tapi ia urung, kakinya terlalu gemetaran, takut suaranya pun ikut bergetar. Pun sama halnya dengan si lelaki, si perempuan ini pun sebenarnya tidak sepenuhnya terpusat ke buku yang ia baca. Hatinya pun gelisah, salah tingkah merasa ada yang memperhatikan. Ia tidak nyaman, bukan merasa terganggu, tetapi lebih ke malu. Meski sama gemasnya ingin menyapa lebih dulu.
Sejenak suasana semakin lengang. Hingga hembusan napas pun bisa terdengar jelas.
"Kamu masih hobi saja ya baca yang bahasannya berat-berat." Si lelaki membulatkan tekad, bertanya. Sembari membalik halaman buku. Pura-pura membaca lagi.
"Eh? nggak berat kok." Si perempuan melihat sejenak ke arah yang berbicara, takut salah dengar. Alih-alih bukan dia yang sedang diajak bicara. "Kamu juga masih hobi membaca novel." Ia membalik halaman, pura-pura serius membaca lagi.
"Karena aku suka quote-quote dalam kisahnya. Banyak pesan-pesan baik yang bisa aku dapat." Si lelaki merasa sedikit terganggu dengan bahasan novel tadi.
"Semua buku pengetahuan pun penting. Karena masa depan nanti akan selalu jadi misteri." Si perempuan tidak kalah memberi pendapat.
"Tentu." Si lelaki mengangguk pelan.
Sejenak lengang kembali. Terdengar suara kertas yang dibalik halamannya. Ketegangan di antara keduanya sudah sedikit mencair.
"Boleh aku mengganggu bacaanmu dengan bertanya satu hal?" Si lelaki bersuara lagi. Nadanya lebih teratur. Matanya memandang lurus ke arah si perempuan menanti tanggapan.
"Sejak kapan orang bertanya itu dilarang?" Si perempuan melirik sebentar, kembali pura-pura membaca.
"Umm... seumpama kamu menikah nanti.... apa... apa masih tetap bekerja?"
Si Perempuan mengerutkan dahi, berpikir sejenak. "Tergantung, jika imamku mengizinkan untuk bekerja. Aku membantunya. Kalau nggak, aku tetap di rumah. Bukannya Rasulullah pun bilang seorang perempuan lebih baik di dalam rumah. Dan sebaik-baiknya seorang istri yang taat kepada suaminya. Selagi masih dibenarkan dalam syariat."
"Oooh begitu. Terima kasih sudah menjawabnya." Si lelaki mengangguk mengerti. "Semoga kamu mendapat suami yang demikian, yang paling baik pengetahuan agamanya, yang bijaksana memimpinnya. Menjadi panutan keluarganya."
Si perempuan tersenyum mendengar doa baik itu. Mengaminkan dalam hati. Kenapa tidak dengan kamu saja? "Kamu sendiri gimana? membolehkan istrimu nanti beraktivitas di luar rumah, bekerja?" Si perempuan menandai halaman. Barangkali percakapan ini jauh lebih menarik bahasannya.
"Aku sih berharap ia memilih di rumah saja. Menjaga harta dan keluargaku selama aku di luar rumah. Lagipula peran dia sebagai pendidik pertama anak-anakku nanti sangat besar. Membentuk generasi-generasi dengan pemahaman yang soleh dan solehah itu lebih penting bagiku. Lagipula biarlah suami saja yang berusaha mencukupi kebutuhan keluarga." Si Lelaki sudah menutup bukunya.
"Jika ia tetap ingin bekerja, kamu tetap mengizinkannya?" Si perempuan bertanya antusias.
"Boleh, aku tidak akan mengekangnya. Tapi dengan satu permintaan. Hanya menjadi seorang guru saja kalau bisa. Dan rehat ketika ia sedang mengandung." Si Lelaki menjawab mantap.
"Cukup bijaksana." Si Perempuan kembali tersenyum. "Semoga kamu dapati istri yang sesuai harapanmu. Menjadi guru terbaik bagi buah hatinya. Ibu yang tangguh dan penuh perhatian kepada keluarganya." Si Perempuan kembali membuka bukunya, melanjutkan membaca.
Si Lelaki mengamini dalam hati doa itu. Kenapa tidak dengan kamu saja? Ikut membuka lagi buku yang belum sama sekali ia baca. Karena sibuk menguatkan hati untuk menyapa lebih dulu perempuan di depannya.
Suasana kembali lengang. Satu dua pengunjung lain sudah mulai beranjak mengembalikan buku ke raknya semula. Ada yang keluar perpustakaan, ada pula yang mengambil buku baru dan duduk di tempat semula.
Aku yang sengaja mencuri dengar percakapan dua orang itu melirik jarum jam. Memastikan waktu makan siang. Siap-siap berganti shift dengan petugas perpustakaan yang lain. Kembali melirik sejenak si lelaki berkacamata dan si perempuan berkerudung merah marun sekali lagi. Ah, semoga di waktu lain, kesempatan pertemuan itu sudah lebih dari dua orang yang bercakap-cakap tentang rencana masa depan seperti tadi. Ada anak kecil di antara mereka berdua. Semoga semesta memang menjodohkan mereka.
Hai bang Uzay lama nggak main ke blogmu.tau2 blognya udah baru aja hihi
BalasHapusApa kabar?
Ceritamu semakin dewasa bang :)
Waaah Deb, ternyata masih ingat sama blog ini :D Baik, kamu sendiri apakabar tulisannya?
HapusBegitukah? :D
Aamiin........
BalasHapusNah bener kata mbak De, bang Ujay ceritanya makin dewasa, untung ika juga udah dewasa B)
Kalau ika mau baca tulisan yang masih kanak-kanak ada juga kok. Cari aja. Daripada maksain diri baca yang tulisan udah gede? :D
Hapus