"Puncaknya memiliki adalah melepaskan."
Aku hampir terlonjak
ketika sebuah tangan menepuk bahuku dengan lembut. Bersamaan dengan
kudengar kalimat itu.Ternyata kakek tua yang sedari tadi memperhatikan
aku melamun di peron salah satu stasiun. Sungguh kabar bahagia itu
membuatku luka.
Aku mengangguk pelan untuk menghargai ucapannya. Meski belum sepenuhnya mengerti.
Aku pernah berbincang-bincang dengannya, bisa dibilang sudah cukup akrab
sekarang. Meski ia tidak pernah memberitahukan namanya. Orang-orang memanggilnya Pak Tua, atau Pak Bijaksana. Ia bertugas
menjaga WC umum stasiun, mengaku sudah bertahun-tahun menjalani tugas itu. Dan
aku salah satu pelanggan setianya ketika kebelet sewaktu menunggu
keberangkatan kereta.
Wajahnya selalu menyenangkan, seperti tidak pernah mengeluh meski digerogoti usia. Satu hal yang aku saluti, beliau seperti bisa membaca pikiran orang lain. Selalu tahu problema orang yang sedang termangu sendirian. Kalau sudah begitu dengan sukarela beliau mengucapkan kata-kata bijak. Yang kadang tidak mudah dimengerti lawan bicaranya. Aku menyebutnya 'kata-kata teka-teki'. Atau jika sudah terlalu sulit dicerna aku menyebutnya 'kalimat orang tua'.
Seperti hari ini, tepat sekali beliau menebak pikiranku.
"Melepaskan adalah syarat mutlak untuk memiliki."
Aku tidak mengerti nasihat kakek tua itu, melipat dahi. Omong kosong, tidak masuk diakal.
Aku merenungi kalimat itu dengan memikirkan banyak hal. Mencoba mencari
benang merah antara dua perkara yang jika dipisahkan teramat sangat
bertolak belakang. Apa yang dimiliki jika harus sedia melepaskan? Apa
perlu melepaskan ketika begitu ingin memilikinya dengan keutuhan?
Aku memijat kepala, benar-benar tidak paham maksudnya. Menoleh ke wajah kakek tua, ia hanya menyeringai.
"Manusia sering lupa sebenarnya dirinya tidak pernah memiliki apa-apa. Bahkan memiliki diri sendiri. Tapi merasa pernah memiliki sesuatu, atau justru bersikukuh memiliki sesuatu."
Aku terdiam. Kepalaku senut-senut.
"Jangan banyak melamun anak muda." Kembali menepuk bahuku. Tertawa riang. Kemudian berlalu.
***
Waktu
terus melesat. Melibas kesibukan-kesibukan. Baru aku paham maksud
potongan 'kata-kata teka-teki' kakek tua itu, ketika melihat langsung
wajah bahagiamu hari ini. Bercahaya suka cita. Aku seperti menyaksikan ribuan
peri menaburkan kelopak-kelopak bunga di musim semi. Seperti jutaan lampion yang dilepas ke langit malam. Di atas permadani
tempatmu melangsungkan pernikahan. Kamu resmi menjadi ratu cantiknya.
Meski sama sekali aku tidak pedulikan dia yang menjadi rajanya.
Awalnya
aku tidak berniat menghadirinya. Untuk apa? jelas itu bukan bagian dari
rencanaku. Tapi semenjak kakek tua itu menasehati dengan 'kalimat orang tua'nya, 'puncaknya memiliki adalah melepaskan'. Kata-kata teka-teki
itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. Aku berpikir mungkin itulah
solusi untuk masalahku. Ketidakterimaan, pemberontakan hati.
Ternyata
kakek tua itu benar. Aku memang tidak pernah memiliki apa-apa
sebelumnya, tetapi setelah bersuka cita melihat kebahagiaanmu hari ini
aku punya satu hal yang bisa aku genggam. Apapun caranya, bagaimana pun
akhir ceritanya, kamu memang layak untuk bahagia. Dan aku jauh lebih
bahagia atasnya.
Dengan kata lain, dengan
melepasmu aku mendapati bahagiamu secara utuh. Tanpa ada lagi sepotong hati yang
diberatkan. Bahagiamu yang dulu pernah aku rencanakan.
Aku ingin segera menemui kakek tua itu, meminta ia mengucap 'kata-kata teka-teki' lainnya. Dan untuk kamu, selamat berbahagia.
cerpen kan ya ini, kak? :)
BalasHapusini, mengingatkan pada tere liye... kau, akuu dan sepucuk angpau merah. Di sana juga kan ada Pak Tua yang menjadi supir speed.
Labelnya si masih cerpen Pit, dan sejauh ini belum pernah mengalami hal seperti si tokoh.
HapusWaaah jadi pengen baca bang borno lagi nih diingatkan dengan pak tua itu hehe... tapi lebih seru 'yang berwajah menyenangkan' dalam kisah Ray :)