"Aku selalu jatuh cinta melihat air yang mengalir apa adanya." Katamu memecah nyanyian rintik-rintik hujan yang hampir mereda. Aku mengangguk, ikut memperhatikan aliran air hujan yang membawa ranting-ranting pohon dan beberapa plastik bekas minuman.
"Bau tanah yang emmmm..... benar-benar aku rindukan." Terdengar beberapa kali kamu menarik napas lebih dalam demi menikmati sensasi semerbak wangi tanah sehabis hujan. Sambil memejamkan mata. Aku tersenyum melihat raut wajahmu yang sungguh-sungguh melakukannya, terlihat lucu dan begitu menggemaskan. Ya, ini hujan pertama semenjak musim panas yang cukup panjang.
"Menurutmu wujud tanah yang sebenarnya seperti apa?" Aku menuliskan kata tanah di salah satu jendela yang berembun, tidak jauh dari tempatku bersandar.
Seketika kamu menoleh, mengerutkan dahi mendengar pertanyaanku. Kamu menggeleng pelan, entah karena memang tidak tahu atau tidak begitu tertarik dengan percakapan ini dan lebih memilih menikmati suasana sehabis hujan. Aku mengusap belakang kepala.
"Bukannya tanah itu aslinya berupa bubuk-bubuk halus ya? seperti serbuk susu formula." Aku menjawab santai pertanyaanku dengan pertanyaan pancingan.
"Terus?" Nah kan nada tanggapanmu jadi lebih antusias.
"Coba saja kalau lagi musim kemarau, serbuk-serbuk tanah ikut beterbangan bersama angin yang berhembus. Menjadi debu." Aku memperhatikan raut wajahmu yang terlihat sedang ikut berpikir. "Kalau kamu mengaku selalu jatuh cinta dengan air yang mengalir apa adanya. Aku selalu salut dengan ketabahan tanah yang sedia diapakan saja. Ia bisa menjelma menjadi tanah yang gembur, keras hampir menyerupai lapukan batu, bahkan menjadi sepekat lumpur."
"Karena pengaruh serapan air."
"Tepat sekali. Tanah menjadi penadah setia air yang meresap. Dan aku lebih suka menyebut kandungan air itu dengan cinta." Kamu menatap wajahku dengan lebih serius. "Sekarang diibaratkan saja tanah itu adalah hati yang selalu siap sedia menyambut cinta. Dan selanjutnya kita akan paham nasib hati itu akan seperti apa. Tentu tergantung seberapa besar basuhan cinta yang meresap ke dalamnya." Aku mengangguk-angguk sendiri atas teoriku.
"Bisa jadi debu-debu yang beterbangan, lembut menyuburkan, menjadi begitu keras, bahkan sekelam nasib lumpur jika dibiarkan menampung berlebihan. Ummm.... perumpamaanmu masuk akal juga." Kamu tersenyum sambil ikut menuliskan kata cinta di samping tulisan tanahku yang hampir pudar.
"Bagaimanapun tanah adalah ladang yang sempurna untuk tempat pertumbuhan. Tempat yang tepat untuk berpijak, bahkan menjadi tempat akhir untuk kembali pulang. Tanah akan selalu butuh air, setia akan posisinya menyimpan air. Selalu tabah menanti basuhan air." Aku tersenyum penuh arti. Memandang bola matamu yang berbinar-binar.
"Dan hati akan selalu membutuhkan cinta." Kamu tersenyum lebih berseri.
Aku melukis setengah lingkaran menyerupai bentuk hati di bagian jendela lain yang berembun, dan kamu menyempurnakan belahannya. Hati.