by @pipitsunny |
Ah, aku selalu suka melakukan itu. Meski ya itu, hanya menemani, tidak perlu ada percakapan apa-apa.
Ada semacam perjanjian rumit beberapa waktu lalu, setelah aku resmi berkenalan dengannya. Katanya, ketika mood bacanya sedang datang, aku harus sabar menunggu ia membaca sampai selesai. Kapanpun dan di manapun. Selepas itu, baru waktu senggang yang ia miliki bisa dibagi denganku. Meski tidak mengapa kalau aku memilih untuk pergi. Itu semacam syarat yang me-legalkan aku untuk bisa mengenal lebih jauh lagi tentangnya. Alih-alih bisa mendapatkan hatinya.
Mungkin bagi orang lain rutinitas diam-menunggu ini teramat membosankan. Tapi bagiku tidak. Sepanjang ada kesempatan bersamanya, bagiku itu waktu yang berharga.
*"Ketika kamu bersedia menjadi 'bodoh' untuk seseorang, mungkin itu cinta." Katanya, tanpa merasa perlu menoleh ke arahku. Mungkin itu kesimpulan yang ia dapat dari kisah novel yang baru saja selesai dibaca.
"Begitukah?" Aku antusias menanggapi. Menyeringai senang. Barangkali waktu diam-menunggu ku sudah hampir selesai.
"Aku kan hanya bilang mungkin." Sambil menghela napas, ia menutup halaman akhir novel dan menyimpannya ke dalam tas.
"Boleh jadi hanya sekedar kepolosan rasa. Yang selalu siap sedia diapakan saja." Aku coba memberi pendapat. Semoga saja bisa membuat ia antusias menanggapinya. Untuk bahan percakapan-percakapan yang berharga.
"Pernah mengalaminya?" Ada nada sungguh-sungguh dipertanyaanya itu.
Benar perkiraanku, waktu diam-menunggu ku sudah selesai. Ini waktu yang pas untuk mengenalnya lebih dalam lagi. Seketika aku memikirkan banyak sekali bahan perbincangan yang menarik.
"Umm... aku kira tidak. Rasa itu sebisa mungkin kudidik agar lebih berpendirian. Tetap bisa berdiri sendiri, sekalipun nanti harus ditinggal pergi."
Ia mengangguk pelan. Aku sendiri tidak yakin dengan jawabanku barusan. Ah, semoga saja begitu.
"Selanjutnya mau ke mana?" Aku bertanya basa-basi. Buyar sudah bahan obrolan yang tadi terlintas setelah melihat senyumnya lebih hidup. Senyum ke arahku bukan ke arah buku.
"Bagaimana kalau ke toko buku?"
Aku mengangguk ragu-ragu.
*cerpen ini terinspirasi dari twit @fira_nurfitra beberapa waktu lalu.
Ia mengangguk pelan. Aku sendiri tidak yakin dengan jawabanku barusan. Ah, semoga saja begitu.
"Selanjutnya mau ke mana?" Aku bertanya basa-basi. Buyar sudah bahan obrolan yang tadi terlintas setelah melihat senyumnya lebih hidup. Senyum ke arahku bukan ke arah buku.
"Bagaimana kalau ke toko buku?"
Aku mengangguk ragu-ragu.
*cerpen ini terinspirasi dari twit @fira_nurfitra beberapa waktu lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)