Kalian tahu apa yang biasanya aku
lakukan ketika merasa jenuh dan pikiran agak menyemut?
‘Makhluk’ yang sering kita sebut
bernama jenuh memang kerap kali datang menggelayuti rutinitas kita sehari-hari.
Apalagi yang monoton, yang kegiatan sehari-harinya seperti menyetel kaset rekaman.
Nah, ketika ‘makhluk’ jenuh itu
mulai menggangu, biasanya aku usir dengan menyisir jalanan. Sedikit usil dengan
penghuni-penghuni yang tersebar di beberapa sudut pinggir jalan. Apa yang aku
lakukan? Hanya mengajak mereka ngobrol.
Bertanya apa saja yang menurut aku bakalan menarik jawabannya.
Misalnya, di lain waktu aku
sengaja menepikan kendaraan persis di depan penjual gorengan. Tentu saja
misinya bukan sekedar untuk mengisi perut, aku mewawancarai mereka. Minimal
bertanya tempat tinggal atau bertanya biasanya mereka tutup jam berapa.
Takut dibilang orang yang selalu kepingin tahu? Semoga tidak, toh
bertanyanya hanya sekali di setiap perjalanan. Justru mereka merasa senang ada
teman berbincang meskipun sebentar. Bukankah ‘makhluk’ jenuh tidak kenal tempat
setiap menjalankan operasinya? Termasuk pinggir jalan raya yang intensitas
emosinya jauh lebih tinggi.
Tapi intisari tulisan ini bukan
hal itu. Ada point menarik yang bisa dicatat. Menyisir jalan ini selain upaya
untuk mengusir jenuh, Kalau aku beruntung dan sedikit jeli, lebih lebar
memasang telinga hati, aku akan mendapatkan sesuatu yang teramat berharga.
Pelajaran hidup dari perjalanan dan pengalaman orang lain. Itu yang membuat
rasa jenuh seketika sirna. Lepas semua tidak menempel lagi ke kulit badan.
Point itulah yang ingin aku sampaikan
kali ini.
Suatu hari, ketika aku
benar-benar merasa jenuh dan diserang rasa kantuk yang terlalu. Aku memilih
menepikan kendaraan sebentar, menyuplai udara yang lebih segar ke otak. Ketika
itulah aku bertemu dengan seorang supir taksi yang sedang menepi juga, menunggu
penumpang. Sebut saja namanya Bapak Rudy. Kami berbincang banyak hal, dan ia sudi menceritakan
perjalanan hidupnya.
“Mas sudah menikah?”
Aku menyengir, kemudian
menggelengkan kepala mewakili jawaban.
“Segeralah menikah Mas. Jangan
seperti saya, bisa dibilang menikahnya telat.”
"Insya Allah Pak." Aku tersenyum untuk
menghargainya. Dan ia pun mulai cerita banyak hal.
Ia mengaku baru genap satu tahun
berkeluarga. Menikah diusia 35 tahun. Bukan karena belum mampu dan cukup untuk menghidupi
orang lain. Di usia hampir 30-an, Ia pernah kecewa, karena calon istrinya
ternyata kabur dan memilih laki-laki yang dipilihkan orang tuanya. Semenjak
kejadian itu ia lebih memilih sibuk bekerja. Tidak berniat mencari calon istri
lagi.
“Saya sudah pasrah Mas saat itu,
sudah menyerahkan semuanya kepada yang Kuasa. Sambil terus berdoa, masa iya
saya nggak punya pasangan di dunia ini.” Bapak Rudy membenarkan posisi
duduknya. Aku mendengarkan ceritanya sambil sesekali melihat jarum jam.
“Nah, pas saya lagi istirahat
seperti sekarang ini, tiba-tiba ada perempuan masih muda yang menghampiri taksi
saya. Saya kira minta diantar, tahunya dia malah bertanya. ‘Mas sudah menikah?’ Saya kan jadi bingung sendiri, tiba-tiba ada
orang asing yang tanya seperti itu. Perempuan lagi.”
“Mungkin karena melihat saya
kebingungan, perempuan itu langsung bilang gini, ‘Nggak tahu kenapa waktu tadi
melihat wajah Mas, wajah Mas kelihatannya menyenangkan sekali. Maksud saya
kalau memang Mas belum menikah, saya punya Kakak yang sedang mencari jodoh.
Siapa tahu Mas bersedia.’ Lah saya jadi makin nggak ngerti.”
Aku tertawa kecil mendengar
cerita Bapak Rudy. Ia pandai bercerita, tidak membosankan bagi siapa yang
mendengar. Intonasi nadanya disesuaikan dengan percakapan yang pernah ia alami
dengan perempuan dalam ceritanya itu.
Singkat cerita, Bapak Rudy
akhirnya menerima undangan perempuan muda itu. Dua hari kemudian Bapak Rudy
ditemani temannya mencari alamat rumah yang dimaksud. Rupanya benar, kakak si
perempuan muda itu memang sedang mencari jodoh.
“Nah Mas waktu pertama kali saya
melihat wajah kakaknya itu, rasanya hati ini adeeeem sekali. Langsung terasa
mantap saja. Saya diam saja waktu itu, teman saya yang banyak bertanya.
Termasuk meminta izin kepada bapak si perempuan kalau saya bersedia melamar putrinya.”
Bapak Rudy tertawa renyah mengingat masanya itu.
“Alhamdulillah, bapaknya menyerahkan sepenuhnya kepada putrinya. Masya Allah, Mas waktu perempuan itu
bilang bersedia saya bahagia sekali. Wajahnya benar-benar adem. Meskipun maaf-maaf
ya kalau dari penampilan bisa dibilang perempuan yang sekarang menjadi istri
saya itu... maaf, jelek. Tapi benar-benar adem dipandang.”
Aku tersenyum demi melihat wajah
berbinar Bapak Rudy ketika menceritakan istrinya.
“Dan yang membuat saya bersyukur
lagi Mas. Ketika teman saya menanyakan mau minta mas kawin apa. Dia menjawab
singkat tapi membuat hati saya seketika lapang. ‘Semampunya Mas saja’. Teman saya malah langsung teriak Allahu Akbar kencang sekali Mas.”
Aku ikut tersentuh, dan hati
merasa buncah oleh sesuatu. Entah itu perasaan apa.
“Waktu saya pulang. Teman saya
bilang, ‘kalau ada perempuan yang sampai
bilang mas kawinnya seperti tadi Rud, kamu beruntung. Keluargamu bakalan
tentram bahagia nantinya, percayalah.’ Saya langsung mengucap syukur
berkali-kali demi mendengar itu. Sekarang kami sedang menunggu kelahiran anak Mas.
Doakan saya ya.”
“Aamiin Pak. Semoga dimudahkan. Istri bapak dan calon anaknya
selamat.”
Aku benar-benar beruntung malam
itu bisa bertemu dengan Bapak Rudy, si supir taksi berwajah menyenangkan. Sedikit
banyak ada bahan pikiran yang positif karena ceritanya itu. Setidaknya aku
melanjutkan perjalanan pulang dengan hati yang lebih lapang. Hati yang membawa
harapan.
Hmmm.... perempuan berwajah adem. Cukup lama aku menyimpulkan senyum.
Hmmm.... perempuan berwajah adem. Cukup lama aku menyimpulkan senyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)