Aku menengadah, melipat kedua
tangan sebagai alternatif alas kepala. Sejauh mata memandang, bulan siaga penuh.
Purnama tepat pandang-pandangan dengan kedua bola mata. Angin berdesir mengipas
kulit. Masuk angin? Ah itu urusan belakangan. Yang pasti malam ini aku biarkan
selentingan rindu memainkan peranannya. Perkara rasa yang akan mempengaruhi sedikit
banyak kepolosan hati. Hati yang selalu sedia menampung apa saja, tanpa
keberatan akan berduka. Hati yang selalu setia menyerap rasa apa saja, meski
kadang tidak peduli ada kehilangan yang begitu nyata.
Memang selalu begitu, padahal aku
hanya telat beberapa menit saja untuk memalingkan mata. Selalu seperti itu,
ketika terlambat menyadari kalau aku tidak boleh memandang purnama lebih dari
sepuluh menit. Terpukau dengan benda bercahaya yang menggantung di langit sana.
Benda di luar jangkauan. Yang menghipnotis dan sekaligus pengalih pandangan
yang ajaib.
Karena keteledoranku malam ini,
jadilah aku di sini. Terebah di atas hamparan rerumput basah, sisa-sisa hujan
yang masih mengendap. Membiarkan selentingan rindu itu semakin mengerlipkan
manik-manik kenangan dalam ingatan. Tentangmu, tentang masa kecil kita dan
purnama yang selalu kamu banggakan. Kamu dambakan. Meski entah sedang di mana
kamu sekarang memandang rembulan yang sama.
Aku tersenyum renyah mengingat
itu. Teringat betapa kamu begitu sungguh-sungguh ingin menjadi rembulan untuk
orang lain. Rembulan yang membanggakan. Memesona dan dapat memberi kehangatan ketika
siapa saja melihatnya.
“Ah, siapa bilang purnama
secantik yang kau bilang? Kalau dilihat lebih dekat banyak bekas jerawatnya
itu. Bopeng-bopeng. Hiiiih.” Aku
menyeringai, sengaja benar menggangumu dengan menunjuk jerawat di pipimu yang
sedang merekah matang.
“Ah kamu ganggu orang lagi
menghayal deh.” Melihat wajahmu yang merajuk, aku malah ingin tertawa. Mengelak
sekilat mungkin agar kepal tanganmu tidak mulus mendarat di kepala.
“Yeee... itulah cantiknya sang
rembulan, orang lain akan melihatnya sebagai sosok yang istimewa. Soal
kekurangan yang ia miliki, ia akan berusaha agar tidak terlalu nampak.
Sekalipun terlihat, mereka akan memakluminya bukan?” Matamu lekat memandang
lurus purnama di atas wajah kita. Aku lihat bibirmu merekahkan senyum penuh harapan.
Mengingat percakapan itu, kini
aku hanya bisa tersenyum tipis. Nyatanya kamu benar, rembulan itu memang pandai
sekali membuat pesona. Begitu terang benderang cahayanya, begitu menjalarkan
kehangatan yang berada di bawahnya. Tapi kamu melupakan satu hal. Untuk orang
yang hanya bisa memandangnya diam-diam, mengaguminya sepanjang malam. Rembulan
itu jauh sekali untuk terjangkau tangan. Rembulan itu hanya mampu ia idamkan
dari kejauhan.
Seperti itulah kamu saat ini.
Kamu yang berhasil menjadi ‘sang rembulan’ untuk hidupmu dan orang-orang di
sekitarmu. Berhasil menghangatkan kebahagiaan mereka. Tanpa kamu sadari, keberhasilanmu
itu semakin membentangkan jangkauan. Atau aku saja yang terlalu pengecut untuk
menawarkan diri menjadi bintang kecil di sampingmu?
Aku terduduk. Menghela napas
panjang, sembari menepuk-nepuk ujung celana dari rumput yang menempel. Beranjak
berdiri, memandang rembulan sekali lagi.
Kalau masih berguna kejujuran
ini, kamu sudah lama menjadi rembulan di langitku. Langit hati yang menatapmu kini
menjauh pergi.
Bukankah yang memang ditakdirkan
menggantung di langit itu sulit dijangkau?
untuk itu-lah kita menggunakan hati untuk menjangkau yang tak terjangkau.. bukankah hati mampu melakukannya?
BalasHapusbenar, selalu begitu.
Hapushati2 dgn hati...
BalasHapusjgn juga biarkan ia lepas kendali...menyerap sana sini tanpa memikirkan konsekuensi...
Tentang kendali rasa :D
Hapusrembulan sealu tahu, apa suasana hati yang sedang memandang dirinya,
BalasHapussemua memang tergantung tekad & kerja keras, tak ada yang tak mungkin, selagi doa & usaha berjalan selaras :)
Kerja keras bisa mengalahkan bakat :)
Hapus