“Seperti biasa, titip motornya ya
Bang.” Basa-basinya sambil mengeluarkan sebatang rokok dari saku.
“Siap Mas Faza. Beres. Pokoknya
soal motor mah aman.” Jawabku sambil mengembalikan uang kembalian ke Indri yang
membeli minuman dingin. “Kembaliannya Neng.
“Terima kasih Bang.” Indri
berlalu. Dari arah langkahnya, rupanya ia yang akan mengalah kali ini. Tapi
tidak lama Faza terlihat mensejajari langkahnya.
“Kenapa kita tidak berbagi senja
bersama saja? Sesekali boleh kan?” Faza menawarkan ramah, sambil membenahi
letak ransel yang dibawanya.
Indri enggan menjawab. Ia memutar
arah, setuju dengan usul lelaki yang mengajak bicaranya itu. Menutup hidungnya dengan
ujung pangkal jari, menghalau asap rokok. Merasa terganggu.
“Oh, maaf-maaf.” Faza menjatuhkan
rokok yang baru terisap beberapa kali, lalu melumatnya dengan sepatu.
Tanpa merasa perlu saling memperkenalkan diri, keduanya sudah
berbagi senja di tempat yang sama. Melakukan rutinitas masing-masing seperti
biasanya. Menatap senja satu jam ke depan dalam kesunyian petang.
Lihat, betapa langit senja
benar-benar berkawan dengan mereka. Benar-benar cerah tanpa kabut yang
menggangu pemandangan. Sejujurnya aku merasa iri dengan kedekatan mereka.
Keakraban senja dengan keduanya.
“Apa yang membuat kamu berteman
dengan dia?” Tanpa harus menoleh Faza menunjuk langit, dengan menitik beratnya
nada ketika menyebut ‘dia’.
Indri menghela napas, “aku tidak
berteman dengannya. Tidak pernah benar-benar berteman baik. Aku justru ke sini
ingin menuntut sesuatu darinya, seseorang dan kenangan yang dulu dibawa lari
olehnya. Belum sempat benar-benar aku miliki, ketika hampir aku genggam mereka
sudah lebih dulu disembunyikan senja. Dan sekarang entah berada di mana.”
“Sampai kapan?”
“Sampai senja berhenti pura-pura
baik kepadaku. Lihat, betapa tololnya dia memasang wajah penuh dusta seperti
itu.” Indri berusaha menghembuskan napasnya. Seperti ada yang menyumbal setelah
mengatakan itu.
Ada jeda sejenak di antara
mereka. Angin mendesir seolah menghibur Indri, memainkan anak rambut.
“Kamu sendiri, apa yang membuatmu
‘betah’ di sini?”
“Aku?.... menunggu mati.”
“MATI? .... konyol.” Indri
menyeringai.
“Ya, aku menunggu kematian. Menunggu
harapan ini sekarat di depan mataku. Dulu yang menitipkan harapan ini senja.
Katanya dari seseorang yang jauh di sana. Seseorang yang sekalipun tak pernah
aku temui. Harapan yang indah. Aku di anak emaskan olehnya. Melambung tinggi,
sampai aku lepas kendali dan terjatuh. Bodohnya
aku, sampai saat ini aku tak tahu siapa sebenarnya si pemberi harapan itu. Aku
minta senja membunuh harapan itu, dan mengembalikan ke asalnya.”
Kembali ada kekosongan di antara
percakapan mereka. Faza mengeluarkan sebatang rokok lagi.
“Maaf, aku sudah harus pergi.
Terima kasih sudah berbagi senja di bukit ini.” Faza membetulkan letak
ranselnya. Indri hanya menoleh sejenak.
“Senja yang indah. Aku harap,
jika bertemu lagi nanti senja sudah tak lagi berpura-pura baik dengan kita.”
Hingga langit benar-benar
temaram, dan keduanya sudah berlalu. Aku masih menyeringai geli mendengar kisah
mereka berdua. Ironis sekali bukan, menatap senja berbulan-bulan di bukit ini
hanya untuk memarahinya. Menggelikan sekali.
Sama halnya aku geli dengan kehidupanku sendiri. Masih
menjadi penghuni tetap bukit ilalang ini, hanya untuk membuktikan kepada senja.
Aku bisa tegar, tetap akan tegar dipemainkan olehnya. Di bukit ilalang itulah
letak pusara seseorang yang pernah hidup bersamaku. Seseorang yang pernah dipertemukan
senja denganku.
aaaaak pada gagal mup on ternyata huu~
BalasHapus