Membicarakan orang dalam satu paket,
yakni sahabat dan.... Apa kamu tahu satu paket itu apa? Setidaknya ini kognitif yang
aku bangun untuk mendeskripsikan kamu yang tak semu. Meski terpisah jarak. Dia tak hanya membawa tawa ke dalam
harimu. Tapi juga datang bersama rindu, rindu yang kadang kamu tak pernah tahu.
Entah itu rindu ingin bertemu, sekedar ingin menyapa atau yang lainnya. Ada hati yang tanpa sadar menerimanya. Membukakan jalan
untuknya, masuk. Bersama rindu yang mulai bersemayam.
Bukan hanya bahagia yang kamu bawa
(sekarang), tapi juga bersama kata yang terpatri tanpa janji. Ia tulus tanpa
berkeinginan untuk mengakhiri. SAHABAT, ya kita saat ini menyebutnya
sahabat, apa itu juga akan berlaku nanti? Jika suatu waktu beralih ingin menjadi
lebih. Apa itu mungkin?
"Kenapa kita bisa kenal?" ragu-ragu aku
bertanya kepadamu.
"Sederhana!" imbuhmu singkat
dalam pesan itu.
Sejenak aku larut dalam perkataanmu yang singkat itu. Membuat
aku berpikir, siapa sosok kamu itu? Kita bercanda, lalu diam. Hening.
Aku merasakan kehilangan dalam jeda itu. Secepat itukah tawa itu berlalu?
Lalu aku kembali menganggumu dengan
tanya, hampir setiap waktu. Tak peduli itu akan mengusikmu, yang aku tahu aku hanya ingin
begitu.
Maaf jika kamu tidak menyukai sikapku
ini. Yang katamu aku ini aneh. Belum sampai seminggu kenal kamu, tapi aku sudah
merasa nyaman berbagi cerita denganmu. Mungkin ini maksud artian "Sederhana"
darimu. Dan kini aku mulai memahaminya. Lebih tepatnya menikmati. Maaf jika
aku salah arti. Itu yang kurasa setidaknya saat ini.
"Ada rasa
takut tentunya yang juga menghantui, terlebih jika kita (nanti) terjebak pada
suatu muara yang tak berujung." Ujarmu singkat, padat dan jelas di pesan yang kamu kirimkan itu.
Lengang sejenak. Lalu dengan candaan, aku menyambung ucapanmu itu, "Gak mungkin, kita kan jauh."
Lengang lagi. Aku menghela napas, seketika aku juga mulai merasakan ketakutan itu. Tentang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi nanti.
"Katanya nyaman itu sederhana!"
sergahmu. "Jauh? Itu lebih
menakutkan lagi."
"Kenapa?" cepat-cepat aku memotong.
"Suatu saat kamu akan mengerti,
bahwa kehilangan itu nyata. Dan yang nyata itu akan hilang. Kehilangan itu nggak
akan pernah tahu kapan datangnya. Bagaimana kalau saat itu sudah dibumbui dengan rasa?"
"Jangan bicara tentang
kehilangan!" sergahku cepat.
"Suatu
saat kamu akan tahu dan berada pada suatu waktu tanpa sadar tahu-tahu sudah kehilangan."
"Sahabat itu nggak akan hilang."
Nada bicaraku sudah berbeda. Ada intonasi untuk menguatkan hati sendiri. Dan tidak tahu mengapa, membaca pesan singkat itu ada perasaan yang
benar-benar aku takuti, karenamu.
"Ok! tetap pada zona sahabat
ya. Nggak boleh lebih!" katamu.
Aku tersenyum membaca itu. "Tapi, kalau
nanti........." aku tercekat tak ingin melanjuti.
"Apa?" sambungmu singkat.
"Nggak,.. nggak apa-apa!" upayaku
untuk mengalihkan pembicaraan.
"Kalau ada apa-apa bicarakan dari sekarang, biar
dicari solusi. Agar nanti kita nggak menyesalinya." kamu melanjuti.
"Seperti yang kamu bilang
di awal. Terjebak dalam muara yang tak berujung." lanjutku, sambil menelan ludah.
"Jujur hati! itu lebih bijak. Nggak ada yang tahu kapan rasa itu singgah dan kapan pergi. Iya kan ?" ucapmu.
"Iya, tapi aku takut jika suatu
saat aku yang merasakannya lebih dulu."
"Nggak apa-apa, seperti yang kamu
bilang rasa itu anugerah. Jadi nggak akan ada yang salah. Mungkin saja, kitalah
yang kurang belajar memahaminya. Dan mudah-mudahan jika itu memang terjadi, nggak
ada hati yang akan tersakiti." Kamu memberi jawaban yang menenangkan hati.
"Begitu cepat kita membicarakan
hal ini". Lanjutku tersadar.
"Harus, belajar mendewasakan
perasaan," katamu menutup perbincangan waktu itu.
Entah dari mana ini bermula. Kita
belum pernah bertemu. Lebih tepatnya genap seminggu obrolan ini. Obrolan
yang hanya sebatas dinding maya. Yang tak pernah bersuara, tapi iramanya seolah
dekat. Dan ada rasa nyaman yang ku dapat ketika aku berbagi denganmu.
Nyaman,
itu sudah cukup untuk mewakili itu semua. Maaf jika aku selalu hadir dalam
waktu yang tidak kamu inginkan. Soal muara yang tak berujung. Hmm.... Kita lihat nanti.
sesungguhnya sahabat itu adalah yang selalu hadir berbagi rasa dalam suka maupun duka, dan merasa nyaman saat bersama sahabat adalah sebuah langkah awal dalam perjalanan panjang yang seakan tak berujung...salam :-)
BalasHapusmantap komentarnya..ikut nyimak ajalah..
Hapusmas hari memang selalu sukses membuat sebuah kesimpulan..
Hapussahabatnya mau dijadikan kekasihnya ya mas....?
BalasHapusndak, ceritanya ini justru berharap nggak akan seperti itu.
Hapusbermula dari seorang sahabat,sahabat menjadi kekasih sudah banyak terjadi,itu memang nggak apa-apa ya mas.
BalasHapusNdak tau juga ya mas.. lagi-lagi ini soal pilihan.
HapusAssalamualaikum, salam dr malaysia
BalasHapussahabat ini tidak menenal erti rupa atau perbedaan bahasa, sesuatu perasaan akan hadir dari hati, jika benar kata hati maka benarlah....lagipun sahabat akan bersama dalam suka dan duka kan?
Wa'alaikum salam... salam dari indonesia mbak.
HapusTerima kasih sudah berkunjung silaturrahim ya..
muara pasti ada ujung'a, entah itu bahagia atau sengsara, tp itulah muara, lebih banyak mengambang bekas sisa makan daun bawang, hehehe
BalasHapusTapi lain hal dengan muara rasa, tak bertepi dan merasa cukup di satu titik saja biasanya,,,
HapusRasa yang terpisah jarak, & pastinya belum pernah ketemu. rasa dari hati.
BalasHapuspernah?
Hapuslet it flow..
BalasHapuskalau suatu hari ternyata jadi, why not?
:))
Cerpennya segar banget
enak dibaca ^^
Thanks Aul..
Hapusah, kau juga suka dengan mereka yang mencintai kesederhanaan ya uzay?
BalasHapussaya suka membaca mereka yang hatinya penuh dengan kesederhaaan.
Sepakat! sederhana yang tidak sederhana
Hapusceritanya sama kyk aku skrg bang :')
BalasHapusMasa? waaaaah, coba dituliskan kalau gitu :)
Hapusiya,hanya saja aku dan dia terjarak oleh tembok yang sangat besar. saling menyayangi tapi hanya mampu berbicara dalam hati :)
Hapus