Hutan rimba yang lebih angker itu jalan raya, banyak kendaraan-kendaraan buasnya. Aku bergumam sendiri sepanjang jalan. Tersungut-sungut sebal, bagaimana tidak sudah berapa kali bunyi klakson usil meneriaki pejalan kaki -trotoarnya itu sudah penuh pedagang. Banyak orang terburu-buru tanpa peduli lagi keselamatan diri apalagi orang lain. Prihatin.
Sepanjang jalan ciputat raya tak pernah lengang. Ada antrian mesin-mesin peminum bensin di jalan, panjang mengular. Aku menggerutu pada kemacetan yang kadang entah apa penyebabnya, tidakkah kalian lelah berkeliaran di jalan raya? Aku tertawa membayangkan bagaimana kalau masuk dalam antrian panjang itu. Sudah pasti bosan, kalau jalan kaki begini toh siapa yang peduli kalau mau berhenti sembarangan.
Sementara surya mulai tinggi, panas terasa membakar ujung kepala. Aku menyeka dahi, ada peluh menggantung di sana. Menepi sejenak, mendengar cerita siang dari jalan raya dan sekitarnya, tentang kebisingan dan teriakan perut lapar penghuninya. Termasuk perutku sudah berlipat-lipat laparnya. Penghasilanku hari ini belum lah banyak, jadi masih harus berjalan lagi berkilo-kilo meter. Kau tahu ini profesi paling menyenangkan bagiku, hanya bermodalkan tongkat besi panjang yang di ujung bawahnya aku beri lempengan magnet. Hanya perlu berjalan sambil mengayunkan ujung besi ke sana kemari. Jika ada serpihan-serpihan yang berbentuk logam, besi, paku-paku kecil dan sebagainya sudah pasti menempel manis di sana. Jika ujung besi sudah agak berat aku pindahkan serpihan-serpihan itu ke kantung yang aku panggul ini. Lumayan penghasilannya, kalau sedang beruntung bisa melebihi hasil profesiku dulu selama dua hari, pemulung sampah.
Ya hidup semakin hari memang semakin keras, ada saja keluhan-keluhan panjang yang menguap ke udara. Kebutuhan-kebutuhan sehari-hari yang membumbung tinggi, itu keluhan yang tak sengaja aku dengar dari karyawan-karyawan toko yang sedang mengopi sambil mengobrol. Aku menelan ludah ketika mendengarnya, mereka saja yang memiliki penghasilan lebih tetap masih sibuk mengeluh, bagaimana dengan nasib keluargaku? Aku menyeringai, mereka yang tidak pandai bersyukur atau aku yang terlalu pede kalau aku masih jauh lebih baik dari mereka dari cara kelapangan mencari penghasilaan. Ah, sudahlah persoalan ini terlalu rumit jika dipikirkan. Toh aku menjalani profesi ini dengan lapang dada, sambil terus berpikir untuk mencari perubahan yang lebih baik untuk memperjuangkan istri dan kedua anakku yang kini sedang menunggu aku pulang membawa makanan.
Aku melanjutkan perjalanan, rasanya betis-betisku sudah mulai mengeras. Tak terasa perjalanan hari ini sudah lumayan panjang. Tiba di lampu merah gaplek aku menyeringai. Ada pemandangan menggelitik di sana. Siapa lagi kalau bukan kawan lamaku Anto, sejak berpuluh-puluh tahun aku mengenalnya masih saja bertahan menjadi seorang pengemis. Mengulurkan tangannya sambil mulut sibuk mengisap rokok. Oi, semua orang tahu kalau fisik dia lebih kuat daripada penampilannya sekarang. Lihat masih saja pede mengetuk kaca pintu mobil mewah dengan kaki yang sempurna berdiri dan dua tangan yang sibuk tadi -satu mengulurkan tangan, satu memegang puntung rokok. Sayangnya nasib dia jarang mujur, tak banyak orang yang bersimpati. Prihatin.
Tak jauh dari sana ada sekelompok anak-anak muda yang dekil, mereka mengakunya sih anak funk. Sibuk mengamen dari pintu angkutan umum yang berhenti. Hanya mengandalkan tepukan tangan. Amboi, mana ada yang mau memberi koin, melihat tampilan mereka yang urakan saja sudah begidig ngeri, apalagi mengamen hanya dengan musik dan lagu seadanya. Aku yakin ibu-ibu yang berada di angkot itu sepemikiran denganku, mereka lebih enak dibilang meminta bukan mengamen. Mau jadi apa bangsa ini jika anak mudanya masih banyak yang seperti itu. Prihatin.
Dan satu lagi yang membuat hatiku lebih salut, anak kecil seumuran dengan anakku yang pertama tengah sibuk menawarkan barang dagangannya. Ia cekatan sekali berlari ke sana kemari menghampiri orang-orang berduit yang hendak membeli sesuatu. Kembali berlari mencari kembalian yang kurang, menukarnya di toko-toko pinggir jalan terdekat. Aku rasa jika ia seperinsip denganku, harus selalu ada perubahan meskipun kecil, nasibnya akan jauh lebih baik dari Anto, anak-anak muda tadi atau bahkan lebih dariku. Kelak ia menjadi seseorang yang hebat. Semoga.
Aku bergegas kembali, terlalu lama menikmati pemandangan yang menggelitik ini. Sekali lagi melihat anak itu menawarkan makanan, aku teringat anak-anakku di rumah. Aku bertekad, jangan sampai mereka bernasib hal yang sama denganku. Hanya pemungut serpihan besi-besi karat sepanjang jalan. Itu janjiku.
Jika dunia terus menerus melakukan perubahan, nasibku pun sudah pasti harus ikut berubah.
postingan sebelumnya {CERPEN} : Berasumsi dengan perasaan
postingan sebelumnya {CERPEN} : Berasumsi dengan perasaan
Jadi siapa yg sebenarnya hrs melakukan perubahan ?
BalasHapusya kita semua laaah. Sindirannya nggak berhasil kah dicerita di atas?
Hapuskasihan mas sama nasib mereka....mudah2an kita mampu meribah keadaan utk yg lebih baik
BalasHapuskita bisa bercermin dalam kisah ini, karena perubahan itu sendiri adalah kewajiban kita semua bukan?
Hapusbener, tanggung jawab kita bersama.
HapusIya bang pastinya ini.
HapusPerubahan demi perubahan untuk menjadi yang lebih baik lagi perlu kita lakuakn. Salam hangat
BalasHapusSepakaaaat.... salam hangat juga mas
Hapussemoga generasi tokoh utama cerita di atas akan mengalami nasib gemilang yang berbeda dari pendahulunya. kita pun demikian, semoga anak cucu kita kelak, lebih berjaya daripada kita.
BalasHapusSaya mengaminkan bang.
HapusPerubahan memang sulit dilakukan oleh siapa saja!Namun dengan perubahan yang posistif akan membuat orang lebih bijaksana dalam mengatasi segala hal.
BalasHapusSepakat, perubahan sekecil apapun akan berdampak dalam rangkaian kejadian,
Hapusmari berubah, sedikit demi sedikit :)
BalasHapusMari dimulai dari diri sendiri.
Hapus