Malam dengan sejuta kunang-kunang di dalam
pikiran.
Melodi jangkrik
sebagai alunan orkesta pembuka malam, di bawah langit dengan sorotan purnama
yang menawan. Aku terasa tersisih dari sepinya ruang semesta yang sedang
menggelar kebahagiaan. Hmm, aku tahu seharusnya suasana ini lebih dari sempurna
untuk mengundang keceriaan. Bukankah ada seseorang di sana yang pasti menanti
kehadiranku untuk menyempurnakan hari bahagianya.Tapi siapa yang tahu persis
apa yang sedang diinginkan sekeping hati. Bagaimana pun kamu pura-pura
tersenyum, jika hati sedang merajuk siapa yang bisa membujuknya.
Lingkaran waktu
sudah tepat berdetak di angka delapan malam, rupanya belum cukup waktu untukku
memilih, pergi atau tetap diam di sini sendiri. Aku menghela napas bersamaan
dengan seekor kunang-kunang yang hinggap di tepian bale bambu tempatku
terkurung dalam diam. Cahaya kuning berkedip-kedip. Melihat hewan 'lampu' itu,
langsung saja kenangan masa lalu mengambil alih dunia pikiranku.
Tepatnya terkenang
kisah sepuluh tahun lalu, di bale bambu yang sama, di suasana malam yang sama. Aku
masih ingat ia menggunakan pakaian kuning-kuning –warna favoritnya-. Aku dan
dia meributkan hal-hal sederhana. Tentang pemikiran anak kecil yang jauh dari
kata penting. Dia bersikukuh kalau sekumpulan kunang-kunang itu cahayanya lebih
terang dari bintang di langit. Jelas waktu itu aku tidak sependapat –tepatnya tidak
mau kalah-, toh aku tidak pernah melihat kunang-kunang bertamu ke rumah membawa
teman-temannya. Kunang-kunang selalu datang sendirian. Asumsiku saat itu cahaya
bintang sudah pasti menang.
Aku tersenyum mengingat hal itu, tentang
dua anak kecil yang bersahabat baik, sama-sama keras kepala meributkan teori
siapa yang paling benar.
Ketika aku menolak teorinya –sambil tertawa-
tiba-tiba saja ia menyeret tanganku, mengajak memecah gelap dengan sorotan
lampu senter menuju area sunyi perkuburan. Ia yakin sekali di sanalah tempat
perkumpulan kunang-kunang bersarang, seperti cerita-cerita orang tua yang kami
dengar, kata mereka kunang-kunang suka dengan sisa-sisa jasad orang yang sudah meninggal. Meskipun
pada akhirnya hasil pencarian kami nihil, tak ada satupun kunang-kunang yang
kami temui. Alih-alih kulit pada gatal disengat nyamuk kebun. Lagi-lagi aku
tersenyum mengingat hal itu.
Setengah jam berlalu, aku bangkit dari
lamunan. Bagaimanapun kebahagiaan ini harus dilengkapi malam ini. Seperti
halnya kebahagiaan kisah masa kecil bersamanya. Aku bergegas mengiring waktu
yang terus melaju, sambil berharap semoga kehadiranku tidak terlalu lambat
untuknya. Satu langkah pembuktian kalau aku turut bahagia atas pernikahannya. Atas
pilihan pendamping hidup sahabat kecilku yang aku kagumi diam-diam.
Aku menengadah, sorotan bulan begitu
sempurna. Bagaimanapun bintang itu
kunang-kunangnya angkasa. Kalau bulan anggap saja sorotan lampu senter
seseorang yang mencari kunang-kunang.
Anggap saja aku hanyalah bulan yang merindu kunang-kunangnya.
mas uzay masa kecilnya suka main kunang2 yah?
BalasHapuswah...klw saya suka main game. jauh yah? hahah
Eh? nggak udah belasan tahun nggak pernah liat kunang-kunang lagi, waktu kecil mainnya tajos sambil makan permen karet yosan haha
Hapusrumah Ika deket sawah dan masih banyak kunang-kunangnyaaaaa ;D
Hapustangkepin ka, goreng campurin sama belalang sawah,
Hapuslagi-lagi bermain dengan kenangan..
BalasHapusbegitulah, kenangan selalu menarik untuk ditulis ulang *alahpadahalinifiksi
Hapusbang, saya speechless bang :|
BalasHapusNah kan? kenapa mbak din? pernah ngalamin ya? hayooo??? *mendadakkepo
Hapusenggaaak.. mana ada saya ditinggal kawin bang *ehh :p
Hapusspeechless aja, bingung mau komen apa bang.. cuman membayangkan cerita ini terwujud dalam bentuk visual.. gitu.
Hehe kirain, ini juga fiksi toh nggak nyata cuma karangan liar aja :D
Hapusidih bang Ujay gebetannya diembat temen :p
BalasHapusfiksi kalieee
Hapus