Bait-bait
aksara membumi dalam kertas hatiku. Dengan juraian rasa pena yang menuliskan
rindu. Semua sempurna terbaca bahagia. Terbentuk dari tinta emas kalam
pertemuan. Membawa kisah haru dalam sejuta kenangan. Tentang kita. Hari lalu,
kisah ini dan masa depan.
Dulu kita pernah duduk berdua, memandang
langit senja di ujung temaram. Tak jemu kamu berkata, ini senja kita dengan
pesonanya, senja itu selalu berbagi rasa yang sama. Kulihat matamu berbinar
setiap mengatakan itu. Burung-burung sarawiti berseliweran di atas kepala.
Senja yang mulai meng-orange menjadi
pemandangan favorit kita. Aku tersenyum
sembari merapikan anak rambutmu yang menjuntai di dahi.
Bangku ini akan selalu kosong, karena aku hanya memandangnya dari jauh. |
Aku memandangmu lamat-lamat, tak ingin
kehilangan binar matamu dari sela-sela wajah pucat pasi itu. Hatiku berbisik
lembut, satu harap yang membuncah kuat di sana. Hanya hatiku yang tahu. Sunset akan selalu tepat waktu terbit dan
tenggelamnya, begitu juga kesembuhanmu. Harapan itu yang aku percaya dan
kugantungkan setiap hari di atas langit-langit doa.
“Kenapa? Kok melihatnya seperti itu?”
Aku menggeleng lemah. Kemudian kembali
memandang senja sampai sempurna tenggelam. Tak ada yang lebih menyesakkan dari
rasa khawatir yang tertahan di dada. Dan tak ada yang lebih menenangkan melihat
ketegaranmu itu. Ketegaran yang bahkan tidak aku miliki. Seperti itulah ceriamu
tergambar jelas di langit-langit senja sepuluh tahun yang lalu.
Rintik gerimis turun membelah langit
remang-remang. Aku masih termangu menikmati rindu di antara aksara-aksara kata
yang dulu pernah kamu tulis dalam kisahku. Dulu kamu juga pernah berkata, dan
mengajarkan satu hal yang luar biasa. Tentang sebuah pengorbanan dan kerelaan.
Katamu,
“Kamu tahu nggak, tanah itu selalu tabah menadah ribuan butir hujan. Membiarkan air mata
langit meresap dan diserap akar-akar pohon
kehidupan. Menjadi kekuatan untuk bumi agar tetap tegar dan tumbuh.”
Sesaat katamu terhenti disela oleh gemelutuk
batuk. Aku menuangkan segelas air hangat untuk melegakan tenggorokanmu. Tak selang
lama kamu masih riang melanjutkan katamu,
“Kamu bisa
lihat sendiri kan langit dan bumi tengah bekerja sama. Saling
memberi dan menerima mengikuti ketentuan Tuhannya. Tanah
akan setia menampung air mata langit
hingga usai. Langit yang sedang bermata sendu itu penuh
harap dan terima kasih kepada buminya. Lihat tanah begitu peduli ketika langit
membutuhkannya.”
Aku merapatkan kepalamu ke tubuhku, merangkul
dan memeluknya hangat. Ingin menyembunyikan setetes air yang sedari tadi
menggantung di mata. Aku belum bisa menjadi seperti tanah itu untukmu. Aku
lebih banyak membiarkan langit matamu terurai sia-sia.
“Tapi semua itu belum selesai, ada masa ketika langit membutuhkan sentuhan
air. Bumi dengan sukarela
memberi tampungan air dari tubuhnya. Melalui mentari, air itu
sedikit demi sedikit menguap membentuk gumpalan awan. Bahkan kadang sampai
kulit bumi itu retak dan kering. Hanya untuk meneduhkan
langit. Romantis ya mereka, saling membutuhkan dan saling berkorban satu sama
lain.”
Aku hanya mengangguk lembut mencoba melukiskan
senyum di bibirku sendiri, meski tidak terlalu paham dengan kalimat terakhirmu
itu. Yang aku tahu, selama bersamamu, kamu lah langit itu. Langit yang
memberikan air mata penyejuk kehidupanku. Langit yang memayungi hamparan harapan
bumiku. Bumi yang pernah mengharapkanmu lebih lama berada di sini.
Langit senja yang mengantarkan butiran-butiran
hujan, yang membawa rinduku pulang.
kalo baca cerpen elu, gue selalu bingung mo komen gimana, karna gue gak bisa bikin yang kayak gini! gue bilang "yes"..
BalasHapusAsyiiik dah udah dapet YES satu *masukin kantong ;D
Hapusane ikutan si eksak bilang yess ajah.
Hapusbacanya sukses bikin emosi adem ayem
*siap ngantongin Yes lagi*
HapusAlhamdulillah dapet 3 hihi...
Terima kasih kakak :)
Wooww ...
BalasHapusWoow juga, tapi kok wow?
Hapuslakaran mindha itu apa ya ?
BalasHapussip aku juga bingng artinya pa?
Hapusoia akhi cerpenmu itu selalu saja bagus. kata2nya sweet banget ngalir gtu aja hehe
Nanti ya ada bahasannya, Insya Allah :)
HapusAlhamdulillah kalau ada yang bagus :D
isha juga bilang YES ah ;p
BalasHapuskeren banget kata-katanya.. lemes bacanya juga ;p
kapan bisa nulis yang kaya gini ya? *kapan-kapan kalo bisa* hihii
mas, aslinya tinggal dimana sih? *edisipenasaran*
Asyiik *masukin kantong lagi* :P
HapusAsli bogor.
makin mantep. suka tulisannya ada unsur hujan di dalamnya :D
BalasHapuslama banget yak gak mampir di sini..
banyak yang berubah. apa lagi tampilan blognya bang :) tulisannya juga makin mantepp
Hehe TOS sesama penyuka hujan :D
HapusIya lagi diperbaiki tampilannya. Ini juga masih ada perubahan sepertinya.
sedap banget kata-kata yang terangkum, membacanya jadi ikutan terhanyut...langit senja yang mengantarkan butiran-butiran hujan, yang membawa rinduku pulang....luarbiasa :)
BalasHapusAlhamdulillah bang :) Terima kasih saya jadiin motivasi untuk lebih baik,
HapusAmpun deh., pasangan bumi dan langit yang saling melengkapi ibarat simbiosis mutualisme. Saling menyerap kemanfaatan satu sama lain, karena pengorbanan yang dilakukannya akan tergantikan dengan sisi kebaikan... Like this one out very much (^_^)/
BalasHapusNah lho? kenapa minta ampun? :D
HapusAlhamdulillah bang :) Terima kasih saya jadiin motivasi untuk lebih baik,
Masya Allah baru sadar kok abang, ukhti maaf ya :D
Hapusmereka berbeda loh.. dan itu yang membuat mereka bersatu
BalasHapusNah! benar kan perbedaan juga yang membuat mereka bersatu.
Hapusmmmm... selalu suka dengan gaya tulisanmu... rumahnya design baru lagi niih bagus :)
BalasHapusAlhamdulillah ;3
HapusIya masih ada kemungkinan untuk berubah lagi. Lagi proses refarasi :D
suka ama pilihan diksinya ^^
BalasHapusAlhamdulillah terima kasih :D
HapusBang Uzay dilawaan.. hehe
HapusMana berani saya bang haha...
Hapusperbedaan bisa membuat indah :)
BalasHapusYahaaaaa itulah perbedaan :D
Hapusmantap postnya cuma gambrnya mohon di tambh.nampak tenang aja
BalasHapusDitambah apa ya?
Hapus*meleleh*
BalasHapusAduh jangan lah mbak din, nanti jadi gelap *dikiralilin
Hapusemang lilin koq
Hapuslilin buat ulang tahun yak yang warna warni itu :D
Hapussaya sampe lupa, nnati klo udah di posting ttg lakaran minda langsung kabar2 yah ke blogku hahai penasaran akh. :)
BalasHapusiya Insya Allah lagi mereka-mereka bentuk penyampaiannya seperti apa.
Hapuskomen dulu aaah, trus baru baca :p :D
BalasHapushehe iyaaa ;)
Hapusmakin mantap.. bahasa nya indah, tapi ga' bisa komen seindah bahasa ini. gapapa kan?
BalasHapusini komen loh bang? :D
Hapusmau nanya nih Bang Uz..
BalasHapusemang boleh ya kalo Bang Uzay merapatkan kepalanya Mbak Ajeng ke badan, lalu merangkul dan memeluknya hangat? huhuii... sorry pertanyaan nakal.. boleh nggak sih ?? hihi..
Ahai inikan fiksi bang, tokoh salah satu di atas kan sudah nggak ada dan yang satunya sedang mengenang. (sebenarnya menggambarkan perjalanan yang sudah menikah ;D)
HapusKalau Ajeng Alhamdulillah sehat, ya nggak berani saya melakukan itu :D
bagus cerpennya, tadi sempet bingung ini cerpen atau lagi curhat masalah pribadi heheh
BalasHapusMampir kesini ya, salam kenal Peta Indonesia Karya Anak Negeri
Ini fiksi tenang saja haha...
HapusYak, fiksi nya bagus Zay..
BalasHapusKuat di kata-kata dan majas"nya .. hhe
Thanks bang EY.
Hapuswah adem ayem ya baca fiksi iniii...
BalasHapuskarena settingan nya hujan dan pake gambar bangku di taman :')
Suka hujan juga kah? :D
HapusKeren banget ...tatanan kalimat yg sangat indah utk dinikmati. :)
BalasHapusAlhamdulillah, terima kasih :)
Hapussedih, yang satunya ceritanya sakit ya bang? :'(
BalasHapustapi bagus ceritanya (y)
Iya udah nggak ada ceritanya..
Hapus