Ketika bukan lagi
dedaunan yang diterbangkan angin, tetapi debu-debu berseliweran menghujam mata.
Ketika bukan lagi suara riang jangkrik-jangkrik malam, tetapi deru-deru
kendaraan memburu, membisingkan telinga. Ketika tidak ada lagi senyum ramah
tamah para tetua desa, tetapi wajah gusar kasar jiwa-jiwa lelah ibu kota.
Ketika tidak ada lagi sawah hijau membentang luas penyejuk mata, tetapi gedung-gedung tinggi menjulang mendongakan pejalan, memicingkan mata. Ketika tidak ada lagi napas-napas janji kehidupan lebih lama. Tetapi elegy-elegy kematian berdendang setiap saat menyesakkan dada. Ada satu wajah teduh di bawah langitnya. Jupran, Si jiwa perindu, rindu kampung halaman dan dekapan bunda.
Di depan etalase pertokoan paling besar di kota itu, Jupran duduk termangu. Memperhatikan orang-orang yang sibuk dengan dunianya sendiri. Berlalu lalang tanpa beban, tanpa kepedulian. Jupran bertanya-tanya dalam hati, siapa sebenarnya yang sedang terasing. Dirinya, atau mereka. Jelas-jelas kota ini adalah kampung halamannya (dulu). Tanah kelahirannya. Tempat ia bermain layang-layang, gundu, mencari belut, menjebak burung pemakan ikan. Berlarian di tepi petakan-petakan sawah, menggangu burung kutilang yang tengah berbinar-binar melihat padi yang mulai menguning.
Sebenarnya siapa yang sedang menumpang, dirinya atau mereka? Jupran tidak banyak mengerti. Dulu ia masih terlalu kecil untuk peduli, ketika orang-orang dari kota menawar petakan sawah bapaknya dengan iming-iming manis. Janji-janji kehidupan yang lebih baik. Lapangan kerja yang menjanjikan. Jupran belum banyak mendengar cerita kemegahan pembangunan kota yang hanya butuh waktu sekejab. Meski pada waktunya penduduk desa tidak kebagian apa-apa atas pembangunan itu, kecuali kehilangan tanahnya. Kehilangan kampung halamannya. Kehilangan mata pencahariaannya. Lihat saja gedung-gedung tinggi, pertokoan-pertokoan tak ada yang sudi mempekerjakan pemuda-pemuda desa yang kurang belajar di bangku sekolah. Sedangkan penduduk asli desa satu persatu merantau, mencari kehidupan yang lebih baik.
Di depan etalase pertokoan paling besar di kota itu, Jupran duduk termangu. Memperhatikan orang-orang yang sibuk dengan dunianya sendiri. Berlalu lalang tanpa beban, tanpa kepedulian. Jupran bertanya-tanya dalam hati, siapa sebenarnya yang sedang terasing. Dirinya, atau mereka. Jelas-jelas kota ini adalah kampung halamannya (dulu). Tanah kelahirannya. Tempat ia bermain layang-layang, gundu, mencari belut, menjebak burung pemakan ikan. Berlarian di tepi petakan-petakan sawah, menggangu burung kutilang yang tengah berbinar-binar melihat padi yang mulai menguning.
Sebenarnya siapa yang sedang menumpang, dirinya atau mereka? Jupran tidak banyak mengerti. Dulu ia masih terlalu kecil untuk peduli, ketika orang-orang dari kota menawar petakan sawah bapaknya dengan iming-iming manis. Janji-janji kehidupan yang lebih baik. Lapangan kerja yang menjanjikan. Jupran belum banyak mendengar cerita kemegahan pembangunan kota yang hanya butuh waktu sekejab. Meski pada waktunya penduduk desa tidak kebagian apa-apa atas pembangunan itu, kecuali kehilangan tanahnya. Kehilangan kampung halamannya. Kehilangan mata pencahariaannya. Lihat saja gedung-gedung tinggi, pertokoan-pertokoan tak ada yang sudi mempekerjakan pemuda-pemuda desa yang kurang belajar di bangku sekolah. Sedangkan penduduk asli desa satu persatu merantau, mencari kehidupan yang lebih baik.
Hanya satu nasihat bundanya yang masih Jupran gigit kuat-kuat. Di suatu hari yang terik ibunda Jupran berkata di depan pertokoan tempat ia tengah termangu sekarang.Pertokoan yang memiliki kaca besar sebagai dindingnya.
"Tak usah kau bersedih. Jadilah anak yang berpengetahuan luas, jangan seperti kami yang terlanjur tidak banyak mengerti. Coba perhatikan cermin besar itu. Ketika kamu memandangnya, sejauh mata bisa melihat, sejauh itulah titik masa depanmu. Tentu saja yang nampak jelas adalah sosok dirimu sendiri, karena masa depanmu tergantung bagaimana cara kamu memandangnya. Bagaimana cara kamu mengusahakannya agar tetap terlihat. Gapailah, sampai kamu bisa melihat jelas bayanganmu sendiri.
"Dan coba balikan badanmu. Kini cermin itu bagaikan masa lalumu, masa lalu yang tertinggal di belakangmu. Ingatlah satu hal, sekuat apapun usahamu tuk melihatnya, niscaya kamu tidak akan pernah bisa melihat masa lalumu secara utuh."
"Tak usah kau bersedih. Jadilah anak yang berpengetahuan luas, jangan seperti kami yang terlanjur tidak banyak mengerti. Coba perhatikan cermin besar itu. Ketika kamu memandangnya, sejauh mata bisa melihat, sejauh itulah titik masa depanmu. Tentu saja yang nampak jelas adalah sosok dirimu sendiri, karena masa depanmu tergantung bagaimana cara kamu memandangnya. Bagaimana cara kamu mengusahakannya agar tetap terlihat. Gapailah, sampai kamu bisa melihat jelas bayanganmu sendiri.
"Dan coba balikan badanmu. Kini cermin itu bagaikan masa lalumu, masa lalu yang tertinggal di belakangmu. Ingatlah satu hal, sekuat apapun usahamu tuk melihatnya, niscaya kamu tidak akan pernah bisa melihat masa lalumu secara utuh."
owalah jupraaan jupran, nasib tinggal di kota...
BalasHapushahaha....
Hapuskeren!
BalasHapusmenggambarkan desa demi desa yang mulai terkikis habis oleh kemodern-an jaman ini.
jupran, adalah salah satu dari sejuta jiwa anak desa..
Bisa jadi lebih dari segitu ya Sa :D
Hapusiya, bener mas. sedih ya..
Hapus:)
Hapusmantap tinggal dijadikan novel nih
BalasHapuswaaah udah gada lanjutannya hehe...
Hapusujung aspal pondok gue... kini tinggal kenangan... :)
BalasHapusnah jangan jangan loe si jupran ya??
Hapusjupran namanya lucu hhahaha
BalasHapusmasih ada lanjutanya gak ne masih ngambang, padahal bahasanya keren.
hehe udah abis Ky, lanjutin sendiri di imajinasi hihi
Hapus*kemudian ambil cermin*
BalasHapuskyaaa, sungguh keren! beneran, ga bisa dilihat utuh, kecuali pake cermin yang banyak sih bang..
*brb nambah cermin lagi biar keliatan semua*
Hehe itu bukan lagi masa depan atau masa lalu mbak din, tapi keburukan diri ya kalau banyak cerminnya.
Hapussemoga kampung ika ini nggak diapa-apain :(
BalasHapusHARUS!
Hapuszay aku takut sama kucing item di kanan. taruh ke pinggir dikit dong huhuhu
BalasHapusItu imut imut tau, biarin aja ya dia anteng disitu :D
HapusKenyataan yg tak seindah harapan. Kalo ada kontraktor yg pengen membangun desa tempat tinggalku jadi kota, mungkin warga desa juga bakal setuju. Berbekal 'iming-iming' desanya dijadikan KOTA yang BARU, padahal belum tahu efek jangka panjang yg akan muncul...
BalasHapusTiba-tiba jadi pengen desaku tetap seperti ini apa adanya... Semoga aku tidak menjadi Jupran =___="
Kalau pembangunannya menjadikan lebih baik gpp En, penduduknya masih dirangkul. Sawah-sawah masih terpelihara. Kan enak ya.
Hapussaya pun menjadi merindukan masa lalu saya yang di sekitar hamparan menghijau. sekarang tak ada lagi, meski banyak tersisa membuat saya masih bisa menerawang tentang sisa-sisa itu.
BalasHapuskemudian saya bekerja di sebuah tempat yang..(seperti para 1 di atas), dan membuat saya mencari rumah di tempat yang saya tinggali sekarang: masih hijau seperti lingkungan kanak2 saya dulu.
Udah beda semua ya bang, dari sudut sudutnya, dari persimpangannya, dari suara alamnya, dari penduduknya, dari kesibukannya.
HapusSelalu senang singgah ke sini.
BalasHapusUdah gak singgah kemari ^^
#soksibuk
Nice...
Terima kasih yaaa :)
Hapus