Setelah shalat maghrib berjamaah dengan pak Ramlan, aku
beringsut keluar mencari Savana, kali ini ia tidak terdengar mengaji
seperti biasanya, jadi aku menebak kalau dia
sedang ada di taman obat-obatan yang ia rawat. Udara malam di
pegunungan lebih terasa menusuk kulit, meskipun sudah memakai mantel
yang cukup tebal, rasanya kali ini secangkir wedang jahe hangat belum
banyak membantu.
Ternyata dugaan ku benar, Savana sedang duduk di sebuah bangku
panjang terbuat dari rotan, di depannya terdapat beberapa pot bunga yang
sempat aku lihat pagi tadi. Tidak sepertiku yang menahan dingin, gadis
itu seperti tidak merasakan desiran angin yang bertiup di sekitarnya. Mungkin sudah terbiasa.
Aku berniat ingin mengajukan diri untuk lebih banyak
belajar tentang alam, terutama untuk menunjang tugas kuliahku. Semoga
saja dia bersedia membantu. Ia tampak serius mengamati tanaman-tanaman
di depannya. Aku harap kehadiran ku tidak terlalu mengejutkan dan
menggangu.
“Tanaman bunganya terawat yah, kalau mekar pasti lebih cantik.” Basa-basi ku. Lalu menyeruput wedang jahe.
“Oh..iya kak,” sejenak ia melihat ke arahku, “Lima menit
lagi pasti bunganya mekar.” Lalu ia kembali menatap lekat ke bunga itu,
seperti tidak ingin kehilangan moment berharga.
“Kok, kamu bisa tahu? Boleh aku duduk di sampingmu?” pintaku lebih hati-hati.
“Um...boleh kak silakan. Coba lihat saja, nanti alam yang
bekerja di bawah sinar rembulan ini. Dan aku sedang menunggu moment
itu.” Katanya sambil tersenyum simpul.
‘Bunga Bulan’ aku membaca tulisan di pot berukuran sedang
itu. Ku perhatikan sorot bulan di atas sana jatuh pas ke kelopak bunga
yang masih mengatup.
“Sudah saatnya kak, ayo kita perhatikan.” Savana
antusias, kini jaraknya dengan bunga dibuat lebih dekat. Aku ikut
penasaran. Subhanallah, sejenak kemudian sepucuk bunga
berwarna merah muda mulai mekar. Perlahan-lahan kelopak itu terbuka
hingga mahkotanya berbentuk sempurna. “Oh... yang ini jenis yang
berwarna merah muda ternyata.” Savana menyimpulkan.
“Kamu sedang meneliti bunga ini? Ini benar bunga Bulan?” tanyaku sambil jariku menunjuk nama yang tertera di pot.
“Nggak kak, aku penasaran saja dari kemarin malam satu pohon di pot ini tidak berkembang. Iya ini Ipomoea bisa
juga di sebut bunga Bulan. Karena ia akan mekar di bawah sinar bulan.
Untuk itu aku menantinya. Ketika mentari terbit dan sinarnya menyentuh
kelopak, mereka akan kembali kuncup. Biasanya selain merah muda, ia juga
berkelopak putih. Dan aku lebih suka warna kedua itu.” Kembali ia
menatap letak, benar-benar terlihat bahagia bisa menikmati proses bunga
itu sempurna. Savana mulai memperhatikan bunga-bunga di tempat lain.
“Kamu suka bunga ya?” aku ikut memperhatikan tumbuhan
lain. Meskipun terbilang rumah ini di kelilingi pohonan besar, entah
kenapa sinar rembulan bisa berperan menerangi sekelilingnya.
“Tepatnya mereka teman ku di saat sepi.” Jawabnya dan
kembali tersenyum. Rasanya jika aku melihat senyum yang mengembang itu,
aku teringat sosok gadis yang beberapa waktu lalu aku temui di mimpi. Ya
senyuman mereka mirip.
“Hei... kak jangan sentuh itu.” Aku tersentak. Tapi
terlambat tanganku sudah lebih dulu menyentuh bunga yang namanya belum
aku kenal. Aromanya menggoda, bunga itu berwarna kuning krim.
“Maaf.” Aku takut telah melakukan kebodohan lagi.
“Yang itu namanya Gladiol Tristis dan yang tadi
kakak sentuh, itu bagian pertahanan tubuhnya dari serangga, bisa
menyebabkan iritasi kulit dan alergi. Makanya aku bilang jangan di
sentuh.” Savana terkekeh.
“Habis aromanya menggoda Sav.” Walaupun aku tersenyum tapi ada rasa khawatir akan efek yang timbul setelahnya.
“Di situlah uniknya tumbuhan kak, mereka memiliki
keistimewaan tersendiri. Alam ikut menjaga mereka, bisa jadi sahabat
untuk manusia atau menjadi ancaman, tergantung cara kita
memperlakukannya. Makanya sebagai manusia kita tidak di perkenankan
sembarang memetik bahkan merusak.”
“Apa bunga-bunga ini juga bisa di jadikan obat Savana?” aku semakin tertarik mempelajarinya.
“Tentu saja, Allah menciptakan mahluknya memiliki
kegunaan. Selain menghasilkan bunga-bunga yang cantik dan sedap di
pandang. Seperti Oenothera biennis, aku menyebutnya bunga kipas
kuning, dari biji dan akarnya bisa di jadikan obat-obatan, tentu juga
bunga-bunga yang lain. Cuma manusia ilmunya masih terbatas.”
Masya Allah rasanya aku tidak salah pilih orang, aku berbisik.
“Kenapa kak?” rupanya Savana samar-samar mendengar.
“Nggak... boleh minta bantuannya?”sebelum ia menjawab, aku melanjutkan kata-kataku.
“Aku kan ke gunung ini dalam rangka tugas karya ilmiah,
kamu bisa bantu mempelajari alam lebih dalam? Ya dari pada aku terdampar
di sini dan pulang tidak membawa apa-apa. Tapi itu pun kamu tidak
keberatan. Gimana?” Pintaku.
“Boleh, besok kebetulan jadwal aku mengunjungi hutan.” Savana beranjak.
“Mengunjungi hutan?” tanyaku masih bingung.
“Iya, sampai besok kak, aku ke kamar dulu.” Savana meninggalkanku dengan penuh tanda tanya.
#Bagian dari naskah berjudul Lakaran Minda
Mohon maaf kalau banyak kata yang belum rapi tersusun.
Tadinya udah berniat untuk ga lompat2, tapi karena ini lakaran minda jadi ga jadi hoho
BalasHapussaya udah baca sekali. cuma belum konek banget. kalo yang sebelum ini, lebih greget bahasanya menurut saya, Bang Uz.
BalasHapusehm.. ud rapih ko. jalan ceritannya pun ud asik bang. :D
BalasHapusini lanjutan yg smarin jg kan ya....
BalasHapusMaasya Allah keren sekaliii.. tulisan kayak gini mestinya masuk materi Bahasa Indonesia di sekolah2 nih..
BalasHapusBang, udah kenal dengan yang ini belom?http://whentheheartchimes.blogspot.com
BalasHapus