Gunung Mindaru tampak begitu hijau. Meskipun saat ini ada
beberapa bagian yang gundul, berwarna ‘coklat’ karena sudah tidak ditumbuhi pepohonan besar. Tapi tetap tidak mengurangi megahnya raksasa
hijau itu. Dari kejauhan kera-kera hutan sedang bergelayutan dari dahan
pohon satu ke dahan lain. Mulutnya tidak lepas mengunyah biji-bijian
atau buah yang tumbuh sebagai kekayaan alam.
Setelah sarapan dengan singkong rebus, sebagai ciri khas penduduk yang rata-rata hidup dengan bertani. Damar beranjak ikut abah Sarif ke sawah. Sedangkan emak Neni sedang menampi beras, memisahkan gabah dari butiran padi sebelum menanaknya. Terlihat Syifa berpamitan dengan emak untuk ke sekolah. Satu lagi kekurangan desa ini, belum adanya tempat pendidikan yang menunjang. Anak-anak harus berjalan jauh ke kabupaten untuk menimba ilmu.
Di pematang tampak para petani sudah mulai sibuk memanen, ada juga yang sedang menyebar benih, memberikan makan untuk ikan-ikan di empang, menyiangi rumput untuk makanan hewan ternak mereka. Anak-anak kecil yang belum sekolah terlihat asyik menangkap belalang, digoda oleh burung-burung yang ikut hilir mudik menikmati nuansa pagi di desa Cipulaya.
“Waah... Den Damar sedang liburan?” Tampak tidak jauh dari Damar, seseorang sedang memanggul karung berisi mentimun. Rupanya ladang mentimun yang kemarin dilihat Damar sudah dipanen pagi ini. Orang itu memakai topi kerucut yang terbuat dari anyaman bambu... yang biasa disebut camping, di pinggangnya tersoren sebuah golok. Damar menerka-nerka, “Kang Udin Den, masa sudah lupa sama saya?” Ia menurunkan panggulannya yang terlihat berat itu. Lalu mengusap keringat dari pelipis dengan handuk kecil.
“Oh iya, Kang Udiiiiiiin, pangling saya Kang, waah makin sehat saja nih sepertinya.” Damar baru ingat, Udin ini adalah pembantu abah Sarif dalam mengurus sawah-sawahnya. Dulu mereka suka ke hutan untuk berburu ayam atau kelinci, lalu dipanggang bersama. “Iya, Kang. Umm... mau dibawa ke mana mentimunnya Kang?”
“Harus sehat atuh Den, buat bantu-bantu Abah. Iya nggak Bah?” Udin minta persetujuan abah Sarif perihal pernyataannya itu. Abah Sarif hanya mengangguk, terlihat serius sedang membaca keterangan dibungkus pupuk urea. Sesekali membetulkan letak kacamatanya.
“Ah... si Abah serius banget. Oh ini mau dibawa ke pasar Den. Saya tinggal dulu ya Den Damar, mari Bah.” Kembali Udin memanggung karung itu dan abah hanya melempar senyum. Sudah bertahun-tahun Udin mengabdi kepada keluarga abah Sarif.
“Iya Kang, kapan-kapan boleh atuh kita ke hutan lagi,” pinta Damar, yang hanya dibalas dengan acungan jempol. Kini perhatian Damar beralih, memperhatikan abah yang sedang menakar pupuk. “Bah, takarannya harus sesuai banget ya Bah?” Damar kagum begitu telitinya abah, padahal kondisi matanya sudah kabur karena faktor usia.
“Iya... A kita itu tidak boleh dzalim sama sesama, sekalipun sama makhluk lain. Agar hidup selalu seimbang, dan bermanfaat,” katanya sambil mulai keliling pematang dan menabur pupuk.
“Maksud Abah? Kan hanya pupuk Bah.” Damar menerka-nerka.
“Semua makhluk kan memiliki hak dan kewajibannya A. Seperti pohon padi, hak dia ya... pupuk ini, tidak kurang ataupun lebih. Saat tidak sesuai berarti kita sudah dzalim. Nanti pada waktunya gantian dia yang memberi hak kita, berupa beras untuk kita olah menjadi makanan.”
“Bah... tapi kenapa padi justru meminta haknya lebih dulu? Baru menyelesaikan kewajibannya?”
“Bukan meminta A, itu memang sudah tugas kita sebagai makhluk yang lebih kuat, bukannya kita juga yang lebih membutuhkan? Makanya abah suka lucu kalau melihat yang kuat menindas yang lemah. Padahal tanpa mereka kita tidak memiliki kekuatan apa-apa. Itulah siklus kehidupan yang seimbang.”
Semilir angin begitu menyejukan. “Haduuuh... kita istirahat dulu di sini.” Ketika sampai disebuah gubug di tengah-tengah pematang. Damar merebahkan tubuhnya di atas tikar sebagai alas gubug. Damar mulai mengerti, ia dapat pelajaran baru lagi hari ini. Selama ini manusia terlalu banyak menuntut tanpa menyempurnakan kewajibannya terlebih dulu. Padahal Allah selalu memberi yang dibutuhkan mahluknya.
#diambil dari naskah berjudul lakaran Minda.
Maaf kalau masih ada yang berantakan.
Setelah sarapan dengan singkong rebus, sebagai ciri khas penduduk yang rata-rata hidup dengan bertani. Damar beranjak ikut abah Sarif ke sawah. Sedangkan emak Neni sedang menampi beras, memisahkan gabah dari butiran padi sebelum menanaknya. Terlihat Syifa berpamitan dengan emak untuk ke sekolah. Satu lagi kekurangan desa ini, belum adanya tempat pendidikan yang menunjang. Anak-anak harus berjalan jauh ke kabupaten untuk menimba ilmu.
Di pematang tampak para petani sudah mulai sibuk memanen, ada juga yang sedang menyebar benih, memberikan makan untuk ikan-ikan di empang, menyiangi rumput untuk makanan hewan ternak mereka. Anak-anak kecil yang belum sekolah terlihat asyik menangkap belalang, digoda oleh burung-burung yang ikut hilir mudik menikmati nuansa pagi di desa Cipulaya.
“Waah... Den Damar sedang liburan?” Tampak tidak jauh dari Damar, seseorang sedang memanggul karung berisi mentimun. Rupanya ladang mentimun yang kemarin dilihat Damar sudah dipanen pagi ini. Orang itu memakai topi kerucut yang terbuat dari anyaman bambu... yang biasa disebut camping, di pinggangnya tersoren sebuah golok. Damar menerka-nerka, “Kang Udin Den, masa sudah lupa sama saya?” Ia menurunkan panggulannya yang terlihat berat itu. Lalu mengusap keringat dari pelipis dengan handuk kecil.
“Oh iya, Kang Udiiiiiiin, pangling saya Kang, waah makin sehat saja nih sepertinya.” Damar baru ingat, Udin ini adalah pembantu abah Sarif dalam mengurus sawah-sawahnya. Dulu mereka suka ke hutan untuk berburu ayam atau kelinci, lalu dipanggang bersama. “Iya, Kang. Umm... mau dibawa ke mana mentimunnya Kang?”
“Harus sehat atuh Den, buat bantu-bantu Abah. Iya nggak Bah?” Udin minta persetujuan abah Sarif perihal pernyataannya itu. Abah Sarif hanya mengangguk, terlihat serius sedang membaca keterangan dibungkus pupuk urea. Sesekali membetulkan letak kacamatanya.
“Ah... si Abah serius banget. Oh ini mau dibawa ke pasar Den. Saya tinggal dulu ya Den Damar, mari Bah.” Kembali Udin memanggung karung itu dan abah hanya melempar senyum. Sudah bertahun-tahun Udin mengabdi kepada keluarga abah Sarif.
“Iya Kang, kapan-kapan boleh atuh kita ke hutan lagi,” pinta Damar, yang hanya dibalas dengan acungan jempol. Kini perhatian Damar beralih, memperhatikan abah yang sedang menakar pupuk. “Bah, takarannya harus sesuai banget ya Bah?” Damar kagum begitu telitinya abah, padahal kondisi matanya sudah kabur karena faktor usia.
“Iya... A kita itu tidak boleh dzalim sama sesama, sekalipun sama makhluk lain. Agar hidup selalu seimbang, dan bermanfaat,” katanya sambil mulai keliling pematang dan menabur pupuk.
“Maksud Abah? Kan hanya pupuk Bah.” Damar menerka-nerka.
“Semua makhluk kan memiliki hak dan kewajibannya A. Seperti pohon padi, hak dia ya... pupuk ini, tidak kurang ataupun lebih. Saat tidak sesuai berarti kita sudah dzalim. Nanti pada waktunya gantian dia yang memberi hak kita, berupa beras untuk kita olah menjadi makanan.”
“Bah... tapi kenapa padi justru meminta haknya lebih dulu? Baru menyelesaikan kewajibannya?”
“Bukan meminta A, itu memang sudah tugas kita sebagai makhluk yang lebih kuat, bukannya kita juga yang lebih membutuhkan? Makanya abah suka lucu kalau melihat yang kuat menindas yang lemah. Padahal tanpa mereka kita tidak memiliki kekuatan apa-apa. Itulah siklus kehidupan yang seimbang.”
Semilir angin begitu menyejukan. “Haduuuh... kita istirahat dulu di sini.” Ketika sampai disebuah gubug di tengah-tengah pematang. Damar merebahkan tubuhnya di atas tikar sebagai alas gubug. Damar mulai mengerti, ia dapat pelajaran baru lagi hari ini. Selama ini manusia terlalu banyak menuntut tanpa menyempurnakan kewajibannya terlebih dulu. Padahal Allah selalu memberi yang dibutuhkan mahluknya.
#diambil dari naskah berjudul lakaran Minda.
Maaf kalau masih ada yang berantakan.
Bagus euy cerpennya, penuh dengan makna :)
BalasHapuswiiih, mantap! selalu dalem pesan tiap cerpen yang ada di sini.
BalasHapusntar saya baca nih agak maleman lagi.
BalasHapusCerpen yang bagus sobat..saya malahan tidak bisa nulis cerpen
BalasHapusCerpen nya, mantappp
BalasHapusLakaran Minda oh Lakaran Minda, sayang sekali dikau ditelantarkan oleh dirinya, semoga suatu saat nanti dikau kembali menyapaku *OOT, ga baca, eh udah baca deng dulu banget
BalasHapusAgar hidup seimbang dan bermanfaat, harus saling memberi dan menerima.
BalasHapusAlam memberikan yang terbaik, kita harus menjaga dan tidak merusak. Tak usah ikutan kancil curi mentimun, hehehe
BalasHapusSalam Kenal UZAY
belum dibaca saya simpen dulu di draft hehe,,, mataku sudah meleleh eh.. menguap kok.. hehe
BalasHapusyg pasti ini bagus, baru baca awalnya sih.
Untuk Uzay,
BalasHapusTerima kasih emailnya :) tiba-tiba saja jadi merasa termotivasi. Masya Allah janji sudah tertepati. Semoga bisa cepat kelar menjadi buku. Aku masih membacanya dikit demi dikit ^^ tiap kalimatnya butuh getaran, great works zy!
Jleb.
BalasHapusMemang, manusia selalu meminta haknya, padahal belum mendatangkan kewajibannya...
jazaakallohu khoiro, Uzay,
sudah diingatkan lagi...