Aku
benci waktu pagi, entah terakhir kali kapan aku tersenyum saat pagi itu
tiba. Selebihnya aku hanya menangis, menjerit, merengut, memaki,
ketakutan, dan tersudut di sela-sela bongkahan bangunan rumahku. Ingin
rasanya aku mendengarkan lagu-lagu kesukaanku semasa kecil. Saat suara
merdu ibu memandikanku di pagi hari. Atau saat beliau mulai
mendongengkan cerita sebelum aku tertidur. Tapi sayangnya semua itu kini
hanya terkubur dalam kenangan.
Berbeda dengan lagu pagi hari yang sering aku dengar sekarang. Begitu memecahkan gendang telinga. Sumpah serapah, kata-kata kotor, umpatan, hujatan, dan rintihan doa-doa yang teraniaya. Tak jarang deretan peluru meluncur ke udara, memporak porandakan tembok-tembok yang berdiri kekar. Tidak bisa aku bayangkan jika peluru itu mengenai batok kepala.
Semua memang berbeda setelah kedatangan mereka. Iyah mereka datang bagaikan malaikat kematian, oh tidak lebih tepat bagai serigala lapar. Yang siap memangsa domba-domba ketakutan. Karena sudah tentu malaikat kematian, bisa saja datang lebih manis dan jauh lebih sopan. Tidak seperti mereka yang tidak berperikemanusiaan. Dan nyatanya akulah salah satu domba ketakutan itu.
Coba lihat mereka? lihat adik-adik kecil yang masih berserakan di trotoar. Apakah kalian lihat, mereka belum sempat di makamkan karena sang ibu yang lebih dulu tiada. Dan coba lihat itu. Iyah itu yang seperti kobangan. Itu bukan air hujan saja, tapi air hujan yang sudah bercampur dengan darah segar. Makanya berwarna coklat agak kemerah-merahan. Mewangi harum karena darah itu tumpah tidak sia-sia. Darah korban dari keserakahan manusia. Darah yang tumpah karena ulah mereka yang angkuh, yang merasa paling benar, paling berkuasa.
Sempat aku berpikir, Oh Tuhan! segitu murahnya kah nyawa kami Tuhan?, apakah kami hanya dianggap tumpukan dedaunan yang gugur di bawah pohon rindang?. Tak kenal itu daun muda ataukah daun yang memang sudah tua. Semua di sapu bersih oleh angin yang berseliweran. Bahkan ada yang tersudut di tong sampah.
Apakah mereka yang terlihat sangat gagah itu, mereka yang berkokang senjata sudah benar-benar tidak takut kepada-Mu Tuhan? Atau kah ini memang cara yang paling manis untuk bertemu dengan-Mu T? jika memang ia tentunya aku akan tersenyum untuk menantinya. Karena tak ada tempat yang paling indah untuk kembali selain kepada-Mu.
Entah itu siang atau malam, rasanya semua waktu sama saja, tak ada waktu untuk sekedar menikmatinya. Atau sekedar bercengkrama dengan keluarga. Yang ada hanyalah menunggu giliran peluru itu bersarang di tubuhku, menunggu giliran dentuman bom itu merobek telingaku. Menunggu dan melihat kematian. Bahkan mungkin akan segera merasakan kematian itu lebih cepat.
Dentuman juga menyeramkan, kami selalu ketakutan saat ia berbicara, dentuman yang kusaksikan membuyarkan impian, dentuman yang kudengar memekikan kematian.
***
Dan apa ini? rasanya ada sesuatu yang kental mengalir di pelipis kiriku, sakiiiiiiit!. Aku rasakan sangat sakit. Meski tak sesakit di hantui ketakutan itu, tapi ini benar-benar sakit. Penglihatanku sudah mulai kabuuur. Lemas, rasanya cairan itu sudah mulai banyak yang keluar.
Tapi aku tersenyum, ko aku malah tersenyum? rasanya aku senang. Apa semua ketakutan itu akan segera berakhir? Apa ini adalah waktunya Tuhan?, waktunya aku kembali kepada-Mu?. Aku biarkan pertanyaan-pertanyaan itu menggantung. Sampai ada seseorang yang datang, melihat nasibku dan meneruskan cerita ini.
***
“Ya Tuhan kasihan banget ya kalau melihat konflik di sana Bud?” ketika ada breaking news disalah satu stasiun televisi swasta.
“Memang ada berita apa Dik?, coba geser gw juga mau nonton berita!” sambil menyeruput teh hangat.
“Itu anak kecil seumuran anak pertamamu ditemukan tewas di samping bak sampah semalam!”
“Aduuuuh! Ke tembak ya? Kepalanya sampai kaya gitu. Merinding gw melihatnya.” Budi sampai gemetar sendiri.
“Sampai kapan yah nasib mereka seperti itu. Kasihan banyak yang masih kecil sudah jadi korban.” Lanjut Dika prihatin.
“Entahlah! Gw pribadi berharap akan segera berakhir.” Kata budi sambil meneruskan baca koran paginya
Untuk Mereka Di Negeri Konflik
Bangkai busuk darah mengering
Tak ada hati tak ada iba
Napas bebas kemana jua
Rona ketakutan meronta ronta
Aku di sini hanyalah saksi
Tentang konflik semakin pelik
Sedikit saja aku berlengah
Napas ini akan terengah
Pandangan mata selalu menganga
Tembusan peluru di depan raga
Sesak isak semakin serak
Tangisan rintih teriak teriak
Oh tuhan boleh aku sekedar meminta
Semua ini berganti segera.
^nyawa yang hilang akan berseri T.T
Berbeda dengan lagu pagi hari yang sering aku dengar sekarang. Begitu memecahkan gendang telinga. Sumpah serapah, kata-kata kotor, umpatan, hujatan, dan rintihan doa-doa yang teraniaya. Tak jarang deretan peluru meluncur ke udara, memporak porandakan tembok-tembok yang berdiri kekar. Tidak bisa aku bayangkan jika peluru itu mengenai batok kepala.
Semua memang berbeda setelah kedatangan mereka. Iyah mereka datang bagaikan malaikat kematian, oh tidak lebih tepat bagai serigala lapar. Yang siap memangsa domba-domba ketakutan. Karena sudah tentu malaikat kematian, bisa saja datang lebih manis dan jauh lebih sopan. Tidak seperti mereka yang tidak berperikemanusiaan. Dan nyatanya akulah salah satu domba ketakutan itu.
Coba lihat mereka? lihat adik-adik kecil yang masih berserakan di trotoar. Apakah kalian lihat, mereka belum sempat di makamkan karena sang ibu yang lebih dulu tiada. Dan coba lihat itu. Iyah itu yang seperti kobangan. Itu bukan air hujan saja, tapi air hujan yang sudah bercampur dengan darah segar. Makanya berwarna coklat agak kemerah-merahan. Mewangi harum karena darah itu tumpah tidak sia-sia. Darah korban dari keserakahan manusia. Darah yang tumpah karena ulah mereka yang angkuh, yang merasa paling benar, paling berkuasa.
Sempat aku berpikir, Oh Tuhan! segitu murahnya kah nyawa kami Tuhan?, apakah kami hanya dianggap tumpukan dedaunan yang gugur di bawah pohon rindang?. Tak kenal itu daun muda ataukah daun yang memang sudah tua. Semua di sapu bersih oleh angin yang berseliweran. Bahkan ada yang tersudut di tong sampah.
Apakah mereka yang terlihat sangat gagah itu, mereka yang berkokang senjata sudah benar-benar tidak takut kepada-Mu Tuhan? Atau kah ini memang cara yang paling manis untuk bertemu dengan-Mu T? jika memang ia tentunya aku akan tersenyum untuk menantinya. Karena tak ada tempat yang paling indah untuk kembali selain kepada-Mu.
Entah itu siang atau malam, rasanya semua waktu sama saja, tak ada waktu untuk sekedar menikmatinya. Atau sekedar bercengkrama dengan keluarga. Yang ada hanyalah menunggu giliran peluru itu bersarang di tubuhku, menunggu giliran dentuman bom itu merobek telingaku. Menunggu dan melihat kematian. Bahkan mungkin akan segera merasakan kematian itu lebih cepat.
Dentuman juga menyeramkan, kami selalu ketakutan saat ia berbicara, dentuman yang kusaksikan membuyarkan impian, dentuman yang kudengar memekikan kematian.
***
Dan apa ini? rasanya ada sesuatu yang kental mengalir di pelipis kiriku, sakiiiiiiit!. Aku rasakan sangat sakit. Meski tak sesakit di hantui ketakutan itu, tapi ini benar-benar sakit. Penglihatanku sudah mulai kabuuur. Lemas, rasanya cairan itu sudah mulai banyak yang keluar.
Tapi aku tersenyum, ko aku malah tersenyum? rasanya aku senang. Apa semua ketakutan itu akan segera berakhir? Apa ini adalah waktunya Tuhan?, waktunya aku kembali kepada-Mu?. Aku biarkan pertanyaan-pertanyaan itu menggantung. Sampai ada seseorang yang datang, melihat nasibku dan meneruskan cerita ini.
***
“Ya Tuhan kasihan banget ya kalau melihat konflik di sana Bud?” ketika ada breaking news disalah satu stasiun televisi swasta.
“Memang ada berita apa Dik?, coba geser gw juga mau nonton berita!” sambil menyeruput teh hangat.
“Itu anak kecil seumuran anak pertamamu ditemukan tewas di samping bak sampah semalam!”
“Aduuuuh! Ke tembak ya? Kepalanya sampai kaya gitu. Merinding gw melihatnya.” Budi sampai gemetar sendiri.
“Sampai kapan yah nasib mereka seperti itu. Kasihan banyak yang masih kecil sudah jadi korban.” Lanjut Dika prihatin.
“Entahlah! Gw pribadi berharap akan segera berakhir.” Kata budi sambil meneruskan baca koran paginya
Untuk Mereka Di Negeri Konflik
Bangkai busuk darah mengering
Tak ada hati tak ada iba
Napas bebas kemana jua
Rona ketakutan meronta ronta
Aku di sini hanyalah saksi
Tentang konflik semakin pelik
Sedikit saja aku berlengah
Napas ini akan terengah
Pandangan mata selalu menganga
Tembusan peluru di depan raga
Sesak isak semakin serak
Tangisan rintih teriak teriak
Oh tuhan boleh aku sekedar meminta
Semua ini berganti segera.
^nyawa yang hilang akan berseri T.T
semoga semua akan berganti kebahagiaan yaa , zay..
BalasHapuslama tak berkunjung.. apa kabarmu???
gaza
BalasHapus