Suara jangkrik sudah mendominasi malam. Dingin mulai menelisik masuk ke sela-sela daun pintu yang sudah usang. Ada celah-celah bolong dibadannya, mungkin karena sering di salami terpaan hujan. Dua rumah berdampingan, masih terdengar adanya kehidupan dari balik pintunya.
Di balik pintu satu terdengar suara parau ibu menahan kantuk, ia sedang hamil tua mungkin kelelahan sehingga tertidur lebih awal, dan lupa memastikan anaknya sudah tidur atau belum. Ia menyuruh anaknya yang masih asyik nonton televisi untuk segera tidur berselimutkan malam yang larut. Sang anak pun menurut dan lekas menuju pembaringan di sisi ibunya.
Di rumah satunya terdengar langkah pelan seorang ayah yang akan dinas malam, ia menutup pintu dengan sangat hati-hati takut sang anak dan istinya terbangun. Kemudian lekas menuju tempatnya bertugas. Udara malam benar-benar sedang tidak bersahabat. Berapa kali ia harus mengeluarkan dahak batuk karena kedinginan.
Dua rumah itu merupakan gambaran rutinitas kehidupan, ada yang terlelap ketika orang lain harus terbangun. Ada yang terbangun ketika keluarganya sudah terlelap. Mungkin di esok hari pun akan terdengar suara bayi yang baru lahir, dan suara kematian di sisi lainnya. Siapa yang tahu kalau selalu ada dua sisi yang terus berputar, terus bertukar posisi.
***
Malam mulai pekat, tapi langkah Alif masih jejak menapak kehidupan. Suaranya masih mendengung riang bersahutan dengan ukulelenya. Dengan perut keroncongan Alif menghibur mereka yang sedang lahap makan disebuah rumah makan ditepi jalan.
"Kok dibuang sih Dek?" Nada sumbang itu begitu memanas telinga alif. Sepotong tempe mendoan tergeletak bebas di dekat kaki, membasahi tenggorokannya dengan telanan ludah.
"Nggak enak Yah tempenya." Nada polos itu sungguh menggemaskan.
"Ya tapi jangan dibuang Dek, kamu ini. Ya sudah makan nasinya." Sang Ayah memberi nasihat. Lalu memberikan dua keping lima ratusan kepada pengamen itu. Alif berlalu.
*Apa yang disia-siakan mungkin saja itu menggantung harapan besar untuk orang lain.
"Kakinya jangan gitu Ben, nanti kesandung."
Beni tetap saja menendang-nendang kaleng bekas minuman, tidak
menghiraukan nasihat ibunya. Hatinya masih mendekal karena tidak
diperbolehkan membeli mainan oleh sang Ibu. Dari arah yang berlawaan
seorang kakek tua sedang mengayunkan gancunya, matanya melirik ke sana
kemari mencari sesuatu. Sambil memanggil karung kecil yang sudah
setengah penuh oleh barang.
"BENI, jalannya licin nanti kamu jatuh." Sekuat tenaga Beni menendang kaleng itu hingga melesat jauh ke sebuah parit. Ia kesal sejadi-jadinya. Tak selang lama kakek tua itu sedang bersusah payah mendapatkan sebuah kaleng minuman yang ditendang oleh Beni tadi.
"Kok dibuang sih Dek?" Nada sumbang itu begitu memanas telinga alif. Sepotong tempe mendoan tergeletak bebas di dekat kaki, membasahi tenggorokannya dengan telanan ludah.
"Nggak enak Yah tempenya." Nada polos itu sungguh menggemaskan.
"Ya tapi jangan dibuang Dek, kamu ini. Ya sudah makan nasinya." Sang Ayah memberi nasihat. Lalu memberikan dua keping lima ratusan kepada pengamen itu. Alif berlalu.
*Apa yang disia-siakan mungkin saja itu menggantung harapan besar untuk orang lain.
***
"BENI, jalannya licin nanti kamu jatuh." Sekuat tenaga Beni menendang kaleng itu hingga melesat jauh ke sebuah parit. Ia kesal sejadi-jadinya. Tak selang lama kakek tua itu sedang bersusah payah mendapatkan sebuah kaleng minuman yang ditendang oleh Beni tadi.
*Apa kita seakan
lupa, hal yang sesederhana itu betapa berharga, menjadi tumpuan hidup
seorang jiwa yang berusaha menyambung nyawanya.