“Kenapa? Kelihatannya resah banget?” Remi datang menghampiri Rena yang menatap kosong ke luar jendela. Simponi gerimis mengalun, tidak membuatnya nyaman di ujung senja ini. Rena hanya sekilas melirik Remi yang datang.
“Minum dulu… biar hangat.” Remi menyodorkan secangkir teh yang ia bawa. Rena menyambut dengan senyum yang di paksakan, lalu meneguknya dua kali, hangat itu yang ia rasakan. Remi tersenyum.
“Zandi barusan telpon. Seolah nggak ada beban kemarin-kemarin menghilang. Padahal… “ Rena menghela napas, “aku sudah berusaha keras diam. Tapi… lagi-lagi ia menarik ulur tanpa alasan. Hmmp.” Ia menuntaskan ceritanya.
“Oh… masih tentang cowok itu. Sudah ku tebak.” Remi berusaha menyembunyikan tawanya, menurut Remi seseorang yang sedang berusaha melawan masa lalu akan terlihat sangat lucu. “Memang dia bilang apalagi sampai-sampai resah gitu?”
“Cuma bilang di sana sedang hujan. Aku bilang di sini juga.” Lalu menangkupkan telapak tangannya ke dagu.
“Ya, kalau gitu anggap saja Zandi itu hujan. Datangnya nggak setiap hari, kadang kita nanti, tapi kadang pula kita tidak inginkan.”
“Maksudnya?”
“Ya, seperti mereka yang sedang berteduh di sana. Aku yakin dalam hati mereka berharap hujan akan segera reda, biar cepat sampai rumah.” Keduanya memperhatikan ke arah yang sama. Ada sekelompok orang yang resah, kesal perjalanannya harus terhenti. Apalah daya hujan sedang menyapa, “Tapi apapun alasan hujan itu datang, kita masih bisa menikmatinya bukan? Tinggal menunggu sebentar, dan pada akhirnya hujan pergi juga.”
“Tapi sikap Zandi membingungkan.” Kini Rena menunduk lesu. Ada rasa lelah dari hembusan napasnya itu. Ketidakpastian.
“Ya, seperti hujan, ia juga suka membingungkan. Kadang bisa membuat kita segar, kadang justru membuat kita sakit. Dan keduanya kerap kali membuat kita kebasahan.”
“Kadang membuat nyaman, tapi tidak jarang datang menakutkan.” Kilatan petir seketika membahana.
“Tepat sekali! tapi apapun itu, mau nggak mau kita juga merasakan. Jadi anggap saja dia itu sebatas hujan. Deal?“ Remi tersenyum.
“Deal! Datangnya hanya untuk di nikmati.” Perlahan kegundahan itu reda, bersamaan dengan hujan yang berganti pelangi.
“Dan tidak pernah bisa menebak kapan ia akan kembali.” Remi mengusap kepala Rena. Ia tahu persis apa yang di alami Rena, karena dia juga sedang merasakannya. Memang lucu melihat seseorang yang sedang terikat masa lalu. Remi tersenyum, hanya hati Remi yang tahu.
ya, anggap saja seperti hujan.
BalasHapustidak tahu pasti berapa lama ia akan menyapa, tapi nanti juga bakalan berhenti dengan sendirinya. Tanpa perlu di minta.
Terus teru terus gimana? ada lanjutannya gak?
BalasHapuskalo ini di dunia nyata nih ya, Bang Uzay sebagai Remi, apakah juga akan mengusap kepala Rena? sory iseng, hehe..
BalasHapusanggap saja hujan,datang dan pergi sesuka hati,hanya tuhan yang mentakdirkan,hari ini hujan atau tidak
BalasHapusini cerpen apa cerbung ya... masih gantung.. (anggap saja hujan) hehehehe
BalasHapusya anggap saja hujan, hujan itu menyenangkan kok, skrg sangat dibutuhkan hujan di Bdg,,panasnya euy ><
BalasHapus