Anak laki-laki itu berhenti di sisi jurang, bukan karena putus asa, ia masih sadar kalau hidup tak hanya sampai disini, setelah ia baru saja kehilangan, ia di sisi jurang itu hanya ingin tau seberapa dalam pandangannya kearah bawah, sekedar ingin teriak melonggarkan tenggorokan yang seakan tersendat oleh kenyataan pahit, bahwa dirinya tinggal sebatang kara, rupanya jurang itu terlalu gelap untuk di telusuri oleh mata, segelap langkahnya yang entah mau dia bawa kemana setelah ini,
Dalam tatapan kosong penuh kebencian itu, kebencian terhadap ayah nya, yang meninggalkan dia dengan ibunya dari usia dini, hingga sosok ibu yang jadi satu-satunya tumpuan hidup, harus berjuang keras membesarkan anak satu-satunya itu, hingga akhirnya ibunya wafat, dalam kelelahan, dalam ketidak berdayaan menangung penyakit yang terus menggerogoti tubuhnya, tanpa ada biaya untuk sekedar berobat.
“oh, aku menyesal ibu selama ini hanya bisa manja dan banyak menuntut, maafkan aku bu maaaaaf” matanya basah oleh penyesalan dan air mata marah.
Dia melihat seonggok rumput berbunga, disela-sela bebatuan, bunganya begitu mekar, tapi sayang bunga itu mekar di tempat yang tidak banyak orang bisa melihat, dia berasa beruntung jadi satu-satunya orang yang bisa melihat bunga mekar itu, seolah dapat energi baru, seketika dia berlari, menuju makam ibunya,
“ Bu, sudah tenang kan ibu disana, jangan cemas kan aku bu, aku akan baik-baik saja disini, aku bisa bu, bisa menjadi seonggok bunga yang tadi aku lihat di jurang sana, toh dia saja bisa hidup sendiri bu, tetap mekar dengan indahnya.. maafkan aku yah bu, aku sayang ibu, titip salam untuk ayah disana” menahan napas panjang, terjepit oleh pernyataan sendiri yang sebenarnya dirinya sendiri tidak yakin..
Dengan langkah gontai tak ada rasa semangat, ia bergegas menuju sebuah terminal, sampai di terminal itu, dia bingung harus kemana dan melakukan apa,
“ Bu, apa yang harus aku lakukan hufz.. “ terduduk di trotoar, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan menunduk, ingin rasanya dia menangis tapi rasanya tak pantas karena dia seorang lelaki..seperti kata ibunya, laki-laki ngga boleh cengeng..
“ Hai, mau minum ngga?? “ dia kaget ketika ada seseorang tiba-tiba menyodorkan aqua botol kearah nya..
“ Oh terima kasih “ dia ambil botol air itu dari sosok cewe agak sedikit tomboy, seperti dua tahun lebih muda dihadapannya, tak kalah lusuh dari nya, tapi cewe itu sangat ceria, sambil membawa jajakan barang dagangan,
“ Kamu mau kemana Ka, oia kenalin gw Edelweis, panggil aja gw Edel “ dengan senyum hangat, manis terlihat lesung pipit nya, meskipun tomboy,
” Gw, Dion, Dandelion, ngga tau gw mau kemana, makasih minumannya” senyum datar sambil megang perut, yang dari pagi belum terisi..
“ Bentar yah Ka, tunggu disini, jangan kemana-mana dulu ” seketika berlari menjauhi Dion, entah kemana.
Dion masih harus berpikir keras setelah ini mau kearah mana, memang sama sekali sudah ngga ada, sanak saudara yang bisa dikunjungi, bahkan untuk sekedar tempat singgah pun tidak ada, rumah kontrakan yang biasa di tempati dulu bersama ibunya sudah rata dengan tanah, karena pemiliknya akan membangun pertokoan, ditambah tidak ada tenaga karena perut yang tidak bersahabat.
“ Ini Ka, makan dulu, laper kan “ Edel datang membawa sebungkus gorengan, menawarkan kepada Dion, yang Edel tau cowo yang baru ia jumpai itu sedang kelaperan.. “ Ayo lah makan saja, pegang nih bungkusannya, aku harus cepat pergi harus ambil payung sebentar lagi pasti hujan,” lanjut Edel karena melihat reaksi sungkan dari Dion.
“ Te.. terima kasih “ hanya kata itu yang keluar dari mulut Dion, dia bingung harus berkata apalagi, lagian dia memang sudah sangat lapar.
“ Silahkan Ka, dihabiskan ya, aku pergi dulu sampai jumpa ”
Dion memperhatikan peri kecilnya semakin jauh, yang entah hendak kemana, peri kecil yang berhasil membuat Dion tidak merasa sendiri, meskipun hanya sesaat. “ Terima Kasih Edel “ lalu menghabiskan gorengan dengan lahapnya..
Hari semakin gelap, awan mendung semakin dekat ke kepala, ditambah senja memang sudah mau berakhir, tapi Dion masih bingung hendak kemana, malam ini untuk sekedar istirahat,
Rintik – rintik hujan sudah mulai turun, Dion meneduh di bawah jembatan penyebrangan, udaranya dingin, sedingin harapannya, sedingin hatinya yang sedih, dari kenyataan hidup yang harus dia terima, padahal rasanya baru kemarin, Dion masih berada di dekapan sang ibu, yang begitu menyayanginya, “ Oh, Ibu “ mendadak Dion Kangen sosok seorang Ibu, Dion menangis beriring hujan yang semakin lebat, “ Gw ngga boleh menangis, gw kan udah janji sama Ibu, dan gw itu laki-laki, Come on Dion “ menyemangati diri.
“ Ojeg payung pak, bu, Ojeg “
dari sini |
Sepertinya Dion pernah dengar suara itu, dan benar saja itu suara cewe tomboy tadi, ia dia Ebel, sedang bermain-main dengan hujan deras, membiarkan tubuhnya basah kuyup, berlari-lari kesana-kemari menawarkan sebuah payung kepada orang-orang yang kehujanan, ngga peduli lalu lalang kendaraan yang semakin liar, mungkin karena hujan, pada bergegas untuk sampai tujuan, lucu sekali anak itu, pikir Dion sambil tersenyum melihat tingkah gadis yang baru ia kenal belum genap sehari itu, Dion melamun mengingat dulu paling suka melihat hujan di balik jendela bersama ibunya, dan paling marah, ketika ibunya melihat dia main jan-ujanan,
“ Hei Kaka ko masih disini?? “ tiba-tiba Dion kaget di tepuk pundaknya, yang ternyata oleh Edel,
“ Iah, loe ngapain basah-basahan gitu?? Ngga dingin??” Dion sedikit kaget dengan kehadiran Edel yang tiba-tiba itu ketika dirinya sedang melamun nostalgia diwaktu kecil.
“ Dingin sih Ka, tapi aku emang paling suka dengan hujan, selain bisa tambah penghasilan, bisa bikin aku ngga malu ketika aku nangis, karena air mataku menyatu dengan air hujan, “
“ Ooh!”
“ Kaka mau coba?? asyik loh, ujan nya banyak nih !! ayooo “ tanpa menunggu jawaban Dion, Edel menarik tangan nya untuk sama-sama menyatu dengan hujan,
“ Gimana Ka, asyiik kaaaaan?? Ayo Ka kesana” kini keduanya sudah basah kuyup, berlarian mencari orang yang berminat memakai jasa payung mereka. “ payung-payung, ojeg payung “.
Ada kedamaian sendiri untuk Dion, ketika kepala yang sedang mumet itu terkena siraman langsung dari langit, dan setidaknya Dion sudah mulai sedikit tertawa bersama Edel, meski kini seluruh badannya benar-benar kuyup, dan ini pertama kalinya Dion bersentuhan langsung dengan hujan.
“ Istirahat dulu sini Ka, aku mau ngitung uang hasil ku hari ini “ ajak Edel, di bawah jembatan terminal.
“ loe udah ngelakuin ini sejak kapan Del?”, spontan pertanyaan itu keluar dari mulut Dion
“ Akhirnya, Kaka bersuara juga, kirain lupa dengan nama Aku, gitu dong Ka, jangan keliatan sedih terus, hidup itu ngga pernah bener-bener sendiri hehehe...” ledek Edel sambil ngitung uang hasil ojeg payung hari ini “ Aku udah terbiasa dari kecil, harus bantu nenek aku yang udah tua, dia yang udah besarin dan ngerawat aku sejak bayi, buat aku ketika menyatu dengan hujan aku tidak merasa sendiri, coba liat hujan itu kalau dateng ngga pernah sendirian kan??, Eh, kalau boleh tau Kaka dari mana dan tinggal dimana??“ lalu tersenyum manis..
“ Gw ngga punya tempat tinggal, dan gw ngga tau harus kemana, makanya gw masih berada disini, Ibu gw baru meninggal satu minggu yang lalu, dan gw sangat merasa kehilangan “ cerita Dion sambil berkaca-kaca teringat sosok ibunya.
“ Sabar yah Ka, maaf ngga maksud bikin Kaka tambah sedih, kaka masih jauh lebih beruntung daripada aku, setidaknya Kaka masih tau dan pernah ngerasain di peluk oleh seorang ibu, ngga kaya aku, yang aku kenal hanya seorang Nenek yang pernah nemuin aku di tempat Sampah itu “ Edel bercerita dan menunjuk tumpukan sampah yang menggunung di pinggir Terminal, “ Sampai saat ini aja aku ngga pernah tau tuh seperti apa hangat nya di peluk Ibu ku sendiri hehe... “
Dion terpaku mendengar cerita, yang lebih mengharukan dari kenyataan hidupnya, cerita dari seorang anak gadis sepuluh tahun, Dion kagum melihat Edel yang tetap ceria dan semangat, ngga seperti dirinya yang begitu rapuh,
“ Alhamdulillah lumayan hari ini dapet uangnya,"
"Udah jangan bengong, Kaka ikut aku aja, nanti aku kenalkan dengan nenek aku deh, dia baik banget loh, makanya aku sayang banget sama dia, “ Edel berdiri mengulurkan tangan nya kearah Dion. Ayo!! nanti aku buat kan mie rebus, kaka belum makan lagi kan?? “
"Udah jangan bengong, Kaka ikut aku aja, nanti aku kenalkan dengan nenek aku deh, dia baik banget loh, makanya aku sayang banget sama dia, “ Edel berdiri mengulurkan tangan nya kearah Dion. Ayo!! nanti aku buat kan mie rebus, kaka belum makan lagi kan?? “
Dion beranjak mengikuti ajakan Edel, lagi-lagi Dion merasa hidupnya memang tak pernah sendiri seperti kata teman yang baru ia ketahui latar belakangnya itu..
“ Del!! “ Edel nengok kearah Dion
“ Makasih “ sambil tertunduk dan sejenak mematung..
“ Udah ayo, nanti masuk angin belum ganti baju “
Keduanya melangkah menuju kediaman tempat Istirahat Edel dan Neneknya, udara semakin dingin, disekitar mereka, sudah sepi, tidak ada satu pun manusia yang berkeliaran, mungkin kareba faktor udara yang membuat orang-orang lebih nyaman berdiam diri dalam pelukan selimut, dan berkumpul dengan keluarga mereka tercinta, lain hal dengan dua anak yang hari ini di takdirkan untuk bertemu, tak ada selimut dan canda tawa keluarga, yang ada hanya penantian dan harapan agar hari esok mereka masih bisa bernapas lega, untuk tetap bertahan hidup, dari egoisnya sebuah kenyataan pahit yang sedang mereka perankan...
Keduanya melangkah menuju kediaman tempat Istirahat Edel dan Neneknya, udara semakin dingin, disekitar mereka, sudah sepi, tidak ada satu pun manusia yang berkeliaran, mungkin kareba faktor udara yang membuat orang-orang lebih nyaman berdiam diri dalam pelukan selimut, dan berkumpul dengan keluarga mereka tercinta, lain hal dengan dua anak yang hari ini di takdirkan untuk bertemu, tak ada selimut dan canda tawa keluarga, yang ada hanya penantian dan harapan agar hari esok mereka masih bisa bernapas lega, untuk tetap bertahan hidup, dari egoisnya sebuah kenyataan pahit yang sedang mereka perankan...
bersambung....
NB : Kisah hanya fiktip, tinggalkan kritik dan saran, baca dengan bijak, ambil jika ada yang baiknya, dan please jangan di copas kalau kita ingin selalu dihargai.. kita tak pernah tau seberapa berharganya sesuatu di mata orang lain yang kadang kita anggap hal sepele... makacii...
" Hidup tak akan pernah terasa sendiri saat kita mau terbuka dan berbagi dengan orang lain "
NB : Kisah hanya fiktip, tinggalkan kritik dan saran, baca dengan bijak, ambil jika ada yang baiknya, dan please jangan di copas kalau kita ingin selalu dihargai.. kita tak pernah tau seberapa berharganya sesuatu di mata orang lain yang kadang kita anggap hal sepele... makacii...
cerpen yang panjang dan menarik :D
BalasHapussedih gue bacanya,kenapa harus bikin nangis sore2 gini.... galau gue,tanggung jawab lo...hehehhe....
BalasHapusCerpen?
BalasHapusJadi gak galau lagi^o^ ni
bagus ich ide ceritanya... tapi jangan nyebutin merek atuh kang... ach biasa juga minum 3810... bukan 8084.... hehehe... good job bang....
BalasHapusZihny @ Thanks ya... mudah-mudahan beneran menarik hehe,..
BalasHapusRadio @ hahaha cup cup nak.. ngga ada balon kotak disini
Faizal @ galau apaan ya bang?? haha
Jony@ pake foto dong, biar keliatan penampakaan nya haha... biarin ah pake merk juga..#plaaaak
"hujan nggak pernah datang sendirian" emang iya sih yaa..
BalasHapusbagus loh ceritanya ^^
BalasHapusYeni @ kalau sendirian namanya bukan hujan tapi kuah lokal =D
BalasHapusMaksih Atha.. ^.^
ga terimaaaaaaaaaaaaaaaaa...................
BalasHapusCukup panjang dan memuaskan bang, aku suka! Terlebih backsoundnya ngena banget, pas! :) Aku langsung lanjut ke part berikutnya :D
BalasHapusbagus banget kalimatnya yang "Hidup tak akan pernah terasa sendiri saat kita mau terbuka dan berbagi" >,<.
BalasHapussalam kenal^0^v
wahh keren nih, terhanyut juga sama backsoundnya,
BalasHapus